Minggu, 14 Juni 2020

BERSAMA BINTANG - Devi AMELIA

 Chapter 1






_Dari banyaknya Bintang dilangit, tuhan pasti punya alasan yang menarik kenapa ia hanya mengizinkan beberapa yang boleh bersinar paling terang._

-Raya.

•••

Mainkan sekarang-Bersama Bintang-DrivešŸŽ¶

•••

"Mama udah laper, belum?" tanya Raya seraya meletakkan sebuah karung bekas beras ke tumpukan barang kusam lainnya seperti; Sisa kain, beberapa kertas dan kardus. Bocah perempuan yang masih menginjak usia lima tahun itu mendekati sebuah keran air yang besi nya sudah berkarat, lalu menghidupkan nya sesekali menggosok kedua telapak tangan nya yang kotor untuk membersihkannya.

Jangan heran, rumah rotan itu bahkan masih tidak layak dipanggil dengan sebutan rumah. Didalam rumah tersebut tidak menggunakan keramik untuk alas, bukan pula marmer kuat dan kokoh. Tapi sebagai gantinya menggunakan tanah kecokelatan yang keras. Jadi bukan masalah besar kalau Raya membuka keran tanpa bak mandi yang ada didalam rumah itu, guyuran air yang keluar dari lubang keran berkarat itu meresap ke tanah dengan cepat.

Kondisi rumah itu cukup buruk. Bahkan bila hujan turun, penghuni kecil itu hanya bisa meringkuk diatas dipan kayu yang untungnya masih memiliki sebuah kasur tipis berbahan kapuk. Sesekali ia berlarian kesana-kemari hanya untuk berusaha mencari baskom usang, tempat menampung air hujan yang masuk dari celah lubang atap rumah.

"Mama, tunggu ya. Aku mau ke warung dulu mau beli beras, sebentar aja kok." Bibir mungil Raya berceloteh tanpa menengok kearah lawan bicara, kini Raya sibuk mencuci kaki nya yang masih terpasang sandal jepit kotor yang terlihat kebesaran untuk sepasang kaki mungilnya.

Raya mengambil salah satu kain diatas tumpukan 'harta' nya, lalu mengusapkan ke tangan dan kakinya yang basah.

Setelah kering, Raya mendekati dipan kayu yang menjadi tempat satu-satu nya paling layak untuknya. Tangan mungilnya terulur menyentuh lengan wanita dewasa yang tengah berbaring diatas kasur kapuk, lalu mengusapnya perlahan.

Rumah itu hanya berdiri dengan satu ruangan saja. Dan satu ruangan itu dipakai untuk apa saja oleh penghuninya, kamar, dapur dan ruangan lumrah lainnya. 

"Mama sabar, ya.. Kalo hujan nya udah reda, nanti aku kewarung buat beli berasnya." Kepala Raya menunduk, memeluk lengan putih tersebut dengan pandangan sedih.

Kemudian tidak lama, ia merasakan perutnya berbunyi tanda lapar. Raya masih ingat, terakhir kali makanan singgah dimulutnya adalah kemarin sore. Setelah itu, Raya tidak makan apapun selain minum air putih. Sedari pagi Raya sibuk bekerja, mencari sesuatu yang bisa ia jual dan tukar dari tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Alih-alih, Raya berlari kecil mendekati jendela tanpa kaca dirumahnya. Jendela berbentuk persegi yang dibuat dengan rotan rapuh, tanpa kaca. Hanya ditutup dengan secarik kain bekas yang kotor tapi cukup tebal. Kain itu dilapisi dengan plastik, mungkin guna plastik itu untuk menahan air hujan.

Kedua mata bulat Raya menatap kesekliling luar rumah, hujan masih turun dengan deras. Bahkan cipratan air hujan sesekali menampar permukaan wajah Raya.

Raya melenguh, lalu berbalik badan memandangi isi rumahnya yang gelap. Hanya disinari dengan lampu minyak, dan itupun hanya satu yang menempel didekat dipan kamar. Raya mengusap perut nya yang kempis, lalu menatap siluet bayangan tubuh yang masih berbaring diatas dipan kamar.

Jangan-jangan Mama kelaperan, Raya menatap sekali lagi kearah jendela. Berharap-harap hujan akan segera berhenti. Tetapi harapannya tidak terkabul, langit seolah masih ingin mencurahkan kepedihannya. Sebuah kepedihan yang diatas namakan oleh Raya.

Nekat, Raya mendekati pintu yang terbuat dari rotan dan tripleks lalu menariknya pelan. Ia menatap sedetik kearah dipan kamar, lalu menghela napas panjang.

"... Ini demi Mama,"

Akhirnya Raya berlari menembus hujan setelah menutup pintu rapat-rapat dengan kaus kotor yang kebesaran, menutupi sampai lututnya. Sesekali langkah Raya terhenti saat didepannya ada genangan air bercampur lumpur. Uang receh dan uang kertas seribuan yang ada dikantung celana nya ikut tergoyang, menghasilkan suara denting dari uang receh yang saling berhantaman kecil.

Sepanjang jalan menuju warung, Raya memgharap cemas semoga Mama nya yang ada dirumah bisa menunggu.

•••

"Bu, tolong ya.. Mama belum makan dari kemarin. Tolong layani Raya, ya. Raya nggak ngutang lagi, Raya bawa uang kok!"

"Dibilangin nggak bisa, bandel amat kamu!"

Wanita muda yang menggenakan daster motif bunga-bunga dengan warna dominan hijau itu berkacak pinggang, suaranya keras untuk menyamakan suara hujan yang turun semakin deras. Ibu pemilik warung itu mendengus, lalu mendekati Raya dan mendorong kecil dada Raya.

"Udah, sana! Jangan kesini lagi!" Usirnya tanpa hati.

Raya tetap tegar, berdiri disana lalu menggeleng kuat-kuat. "Raya mau beli beras, Bu!"

"Kamu dibilangin ngeyel terus!" Sentak Ibu pemilik warung. "Utang kamu udah banyak, ya! Saya bisa rugi kalo terus-terusan kasian sama kamu! Anak saya juga butuh makan, butuh sekolah!"

"Tapi kali ini Raya bawa uang, Bu." Raya merogoh saku celana nya, menunjukkan lembaran uang receh yang kusut ditangan nya.

Ibu pemilik warung itu menghembuskan napas panjang, "Ini nggak cukup buat beli beras bahkan seperempat kilo pun!"

"Tolong, Bu. Mama belum makan,"

"Raya, udah Ibu bilang kalo kamu nggak punya Mama! Kamu sebatang kara disini, jangan aneh-aneh!"

Raya melotot, lalu menggelengkan kepalanya. "ENGGAK! RAYA PUNYA MAMA!"

Ibu pemilik warung itu setengah terkejut melihat Raya yang berteriak keras, tangan nya mengepal.

"Raya, jangan bikin Ibu kasian sama kamu. Sadar, yang ada dirumah kamu itu cuma boneka kayu buat model baju."

Kedua mata Raya memanas, airmata nya bergulir cepat. Orang-orang selalu mengatakan hal itu, dan Raya tidak mau percaya. Itu adalah Mama nya, bukan sebuah boneka kayu.

"Itu Mama! Itu Mama!" Raya menarik sebuah baskom berisi bungkusan roti seribuan lalu melemparnya kearah pemilik Ibu warung tersebut.

Tentu saja hal itu membuat beliau kaget dan marah, ia berusaha menangkap bungkusan roti yang dilempar Raya. "Berhenti! Dasar anak Gila!!"

"Itu Mamaa!"

"Pergi kamu cepet!!"

"Enggak!"

Teriakan itu mengundang perhatian, berduyung-duyung semua penduduk yang rumahnya berdempetan dan orang yang berlalu lalang mendekati warung sederhana itu untuk melihat apa yang terjadi.

Mereka langsung menarik Raya kasar dari sana, sesekali memaki Raya.

Lihatlah, Gadis kecil itu kebingungan dan ketakutan. Kemarahannya meredup, begitu melihat kerumunan orang dewasa yang menariknya.

"Heh, Edan! Cepet pergi!"

"Cah stres kayak kowe, mending Minggat!"

Raya menutup kedua telinganya, lalu memberontak. "Raya punya Mama!!"

Badan kecil Raya ditambah keadaannya yang melemas karena kelaparan membuat gadis kecil itu terpaksa menurut saat beberapa laki-laki dewasa menariknya jauh dari warung sederhana itu, Raya tidak lagi memberontak. Gadis itu ditarik kasar sampai kaus yang kebesaran di tubuhnya makin basah dibawah guyuran hujan.

Raya mendongak, menatap tiga laki-laki dewasa yang tadi menariknya paksa dengan tatapan pilu. Raya tidak mengerti, mengapa ia diperlakukan seperti ini. Bahkan Raya tidak merasa ia melakukan kesalahan, tetapi rasanya wajar saja bila orang kecil seperti dia diperlakukan seenaknya seperti ini.

"Jangan tarik-tarik Raya seenaknya!" Protes Raya keras.

Ketiga laki-laki dewasa didepannya tergelak hebat, "Kenapa? Ora seneng? Minggat aja sana!"

Kedua mata bulat Rea menyipit, menahan buliran air hujan yang bergulir cepat mengganggu pengelihatannya. Bibir Raya bergetar, menggigil kedinginan.

"Raya.. Mau beli.. Beras, Cuma mau.. Beli beras." Ungkap Raya terbata.

Ketiga laki-laki dewasa yang ikut kehujanan itu menaikan alis, sama-sama melempar tatapan bingung satu sama lain.

Akhirnya salah satu diantara mereka menggelengkan kepalanya, garis wajahnya mengeras. "Nggak ada buat anak stres kayak kamu! Udah sana, pergi! Cepet pulang, nanti masuk angin terus mati." katanya tanpa beban.

"Hahaha!"

Dua laki-laki temannya mau tidak mau tergelak, menanggapi bentakan orang tadi.

Raya masih tidak mengerti. Tetapi gadis bermata bulat itu bisa menyimpulkan sesuatu, bahwa ketiga orang didepan nya ini sedang menghina nya.

Dengan marah, Raya menatap kesekeliling. Matanya tertuju kearah sebuah batu yang cukup besar. Raya membungkuk, meraih sebuah batu itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi seolah menunjukkan nya kepada mereka.

"Jangan ketawain Raya!!" Raya memekik keras, air mata nya bergulir cepat dan menyatu dengan guliran air hujan yang turun semakin deras.

Kata orang, Air hujan memang bisa menyamarkan air mata seseorang. Mungkin terdengar hebat. Tetapi tetap saja, air hujan tidak akan mampu membuat penyebab hadirnya air mata tersebut hilang atau tersamar. Sebab bekas kesedihan dihati seseorang tidak akan pernah pudar dengan mudah, bahkan sederas apapun air hujan yang datang ke bumi.

Raya tahu, ia bukan lah siapa-siapa. Raya hanya seorang anak kecil kumuh yang dianggap gila oleh semua orang. Tetapi tetap saja, Raya ingin diperlakukan dengan adil seperti orang lainnya. Bahkan sekalipun Raya hanyalah seorang anak gila yang telah menganggap sebuah boneka kayu bekas model baju sebagai 'Mama' nya. Dunia memang tidak pernah adil untuk orang seperti dirinya. Raya tahu itu.

"JATUHKAN BATU ITU!"

Raya sudah terlanjur marah, ia tidak menggubris bentakan bercampur perintah itu. Raya malah menggenggam erat batu ditangannya, siap untuk dilemparkan kesasaran.

Raya tahu, ia akan mendapatkan masalah besar setelah ini. Tetapi ia tidak perduli. Kenapa dia harus diam saja saat dicap sebagai orang gila padahal Raya merasa bahwa dirinya tidak seperti apa yang dituduhkan? Raya harus membela diri. Bahkan kalaupun pembelaanya tidak diterima, biar saja dia melempari ketiga laki-laki didepannya itu biar mati sekalian.

Mereka bilang Raya gila, akan lebih baik kalau Raya benar-benar menjadi gila dengan melempari mereka batu. Pikir Raya.

Dan tanpa ragu, batu besar ditangannya melambung kearah salah satu dari laki-laki didepannya dengan cepat.

"ALLAHU AKBAR!"

Raya langsung berlari begitu orang-orang menatapnya kaget, didepannya seorang laki-laki dewasa dengan kepala bocor terkapar ditanah yang becek karena hujan.

Sekujur tubuh Raya melemas, ia menangis sesenggukan. Ada yang ngilu dihatinya. Raya merasa, semua belum berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Light Me Up (part 4)- Roselyn NorthGod

Matahari pagi Paris menyorot memaksa masuk ke dalam kamar hotel yang Sehun tumpangi untuk seminggu. Walaupun kenyataannya Mas Sehun tidak ta...