Ada dua bocah sedang berlarian di halaman rumahku. Aku jadi teringat di masa lalu. Aku dan Mas Sehun berlarian saling mengejar tanpa mengerti apa yang sedang kami mainkan. Biasanya Mas Sehun dan aku akan bermain sampai tak ingat waktu. Bahkan aku pernah jatuh sakit saking asiknya hujan-hujanan dengan Mas.Pernah ada sebuah peristiwa yang merubah keadaan di kehidupan Mas Sehun. Mas Sehun yang dulu sangat ceria berubah menjadi pendiam. Saat itu usiaku masih empat tahun sedangkan Mas Sehun sebelas tahun. Memang jarak usia yang sangat jauh. Walaupun saat itu Mas Sehun tergolong sudah mengerti keadaan, sudah bisa mandiri untuk pulang ke kampung halaman dan tinggal bersama keluarganya. Ia tidak bisa melakukan itu, ia tidak punya paspor ataupun alamat rumah di kampung halamannya. Mas Sehun terlambat. Terlambat menanyakan tentang keluarga dan semuanya yang perlu ia tahu. Kedua orang tuanya di jemput sang maut terlebih dahulu dan tak membiarkan Mas Sehun untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal .
Jika Mas Sehun bukan tetangga kami mungkin sekarang Mas Sehun sudah menjadi gelandangan. Benar, orang tuanya meninggalkan hutang yang tak mungkin dapat ditanggung oleh seorang bocah berusia sebelas tahun. Rumah dan seluruh aset di dalamnya disita oleh bank.Hingga akhirnya Ayahku menghadiahkanku seorang saudara baru, Sehun.
"Sampai kapan Mas Sehun akan menjadi saudaraku?" tanyaku yang masih sangat polos saat itu.
"Tentu saja selamanya, Lita," Ucapnya sambil mendudukanku di pahanya.
"Benarkah? Jadi Mas Sehun selamanya akan menemaniku? Mas Sehun tidak akan pergi kemanapun dan meninggalkanku? Apakah selamanya juga Mas Sehun akan selalu memelukku kalo aku lagi nangis?" tanyaku beruntun tanpa jeda.
"Benar, Iya, iya, dan iya." Mas Sehun tersenyum padaku, aku memeluknya erat. Seperti mendapatkan boneka baru, aku tak ingin melepaskan pelukanku.
Ayah mengangkat Sehun sebagai anak karena ayah sangat menginginkan anak lelaki untuk melanjutkan usahanya.
Saat aku duduk di bangku sekolah dasar, Mas Sehun sudah menggunakan seragam putih abu-abu. Aku sangat mengaguminya, entah ini cinta atau bukan. Yang aku tahu, semua yang Mas Sehun lakukan terlihat begitu indah. Ia sangat cerdas dan tak jarang Mas Sehun membantuku mempelajari pelajaran yang sulit. Aku sangat bahagia pada masa itu.
Lalu pada saat Mas Sehun akan memasuki perguruan tinggi. Ayah memberikan kesempatan pada Mas Sehun untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Mas Sehun ingin melanjutkan pendidikannya di kampung halamannya. Walaupun ia tak mengenal siapapun disana, tapi setidaknya ia ingin merasakan rasanya kembali ke tanah airnya yang sesungguhnya.
Aku sedih sekaligus senang saat mendengar berita bahwa Mas Sehun diterima menjadi mahasiswa di Universitas Nasional Seoul di jurusan bisnis. Tak mudah menembus dan duduk di bangku universitas tersebut. Ayah dan Ibu pun menjadi sering memberi nasihat.
"Jika kakakmu bahagia maka kamu juga harus ikut berbahagia akan kebahagiaannya. Kecuali hal yang membuat kakakmu bahagia itu hal yang buruk, baru kamu boleh ikut melarangnya." Ibu selalu mengatakan itu bila aku bertanya haruskah aku senang dengan apa yang Mas Sehun capai.
Akupun menjalani hidupku dengan terus bersekolah dan mendukung Mas Sehun yang jauh di sana. Sekitar 4 tahun lamanya Mas Sehun kuliah di Korea Selatan.
Saat Mas Sehun pulang, tak ada seorangpun yang memberitahuku kapan jelasnya Mas Sehun akan pulang. Saat itu aku baru saja melangkahkan kakiku yang berlapis rok abu-abu untuk pulang ke rumah. Ada seseorang yang di kerumuni siswi.
Para siswi berteriak, "Oppa!!"
Mereka memang berlebihan. Tidak mungkin ada orang korea yang datang menjemput murid SMA Negeri. Yang benar saja. Sepertinya mereka pusing setelah ujian akhir semester tadi sehingga tak bisa membedakan mana orang indonesia berkulit putih dan mana orang korea sesungguhnya.
"Lita!" Suara seseorang yang sepertinya tak asing bagiku. Namun ada yang aneh, kenapa saat suara tak asing itu memanggilku semua sorak sorai para siswi berhenti?
"Aku di sebelah sini Lita!" Suara pria itu benar-benar tak asing. Aku menengok ke sumber suara.
Betapa terkejutnya aku saat semua siswi yang berkerumun itu melihatku dengan tatapan sinis. Tapi yang lebih mengejutkan adalah ada seseorang yang sangat tampan bak dewa yunani berkulit putih pucat. Itu siapa?
"Ayo kita pulang." Pria itu menarikku menuju mobil yang familiar denganku. Ini mobil Mas Sehun saat masih SMA. Kenapa orang ini membawanya. Tapi orang ini sangat mirip Mas Sehun. Apakah benar ia Mas Sehun? Jika ia benar Mas Sehun artinya ia mengalami pubertas yang terlambat? Ya, perubahan fisik pada Mas Sehun terjadi saat dia kuliah sedangkan lelaki umumnya mengalami perubahan fisik saat SMA. Tapi itu tidak masalah, yang terpenting Mas Sehun sudah pulang.
"Aku tampan ya? Sampai kamu tidak bisa mengeluarkan kata-kata." Ia begitu percaya diri. Walaupun memang benar tapi setidaknya jangan mengatakan dengan jelas.
"Yayaya terserah." Ia terbahak-bahak.
"Disana Mas operasi plastik ya?" godaku
"Tentu saja tidak, yang benar saja."
Selama aku berseragam putih abu-abu, aku sering memperhatikannya. Entah itu di ruang Tv, meja makan, bahkan aku pernah menguntitnya saat ia tidur. Pernah sekali aku ketahuan sedang memperhatikannya.
"Butuh bantuan?" tanyanya yang berhasil membuat fokusku pada mahakarya Tuhan itu buyar.
"Enggak kok." Aku kembali menaruh fokusku pada buku yang penuh akan tragedi dimasa lalu.
"Lalu kenapa kamu melihati Mas terus dari tadi? Sampai tidak berkedip." Ia mendekati yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
"Gapapa, cuma lagi mikir aja kok." Ia tersenyum, jangan-jangan ia tahu bahwa selama ini aku sering memperhatikannya.
"Mas tahu kok, jangan berbohong."
"Tau apa?" jantungku hampir copot. Sepertinya benar ia tahu semuanya yang pernah aku lakukan sejak ia pulang dari korea. Ia terkekeh, ini bukan waktunya untuk terkekeh.
"Tahu kalau kamu kesulitan mengerjakan tugas sejarah peminatan." Aku membawa bukuku kembali ke kamar. Mas Sehun sangat menjengkelkan. Hanya bisa meremehkan. Hampir saja jantungku terjatuh dari tempatnya.
Semua berjalan begitu indah, masa-masa SMA memang masa yang indah. Bukan kenangan di sekolah tetapi di rumah. Mas Sehun yang kembali dari korea selalu menyempatkan diri untuk sekedar menjemputku atau membantuku mengerjakan tugas. Sahabatku pun sering datang ke rumahku sekedar untuk mencuci mata. Ya walaupun terkadang Mas Sehun sudah pergi ke kantor Ayah.
Hingga saat aku memasuki bangku perguruan tinggi. Semua berubah. Mas Sehun kedatangan teman saat dia kuliah di korea. Ah, sepertinya salah. Yang benar adalah kekasihnya saat di korea. Berjalan sembilan bulan mereka menjalin kasih di indonesia, mereka pun memutuskan menikah. Sejak kedatangan Irene aku sudah mendapatkan firasat tidak baik. Tante Heti pun pernah berkata bahwa aku dan keluargaku harus berhati-hati dengan kedatangan wanita itu. Tapi ayah tidak peduli akan perkataan Tante Heti.
Satu bulan mereka menikah, Ayah dan Ibu meninggal terancuni sarapan yang di buat oleh Irene. Untung saja saat itu aku dan Mas Sehun tidak memakannya. Mas Sehun sempat marah besar kepada Irene. Tapi sebuah rayuan telah membuai Mas Sehun. Semua terasa baik-baik saja. Saat itu aku sudah membenci Irene. Irene meminta dengan sangat memaksa kepada Mas Sehun untuk di belikan tas seharga mobil untuk hadiah ulang tahunnya. Mas Sehun menolak karena masih banyak yang harus diprioritaskan dibandingkan membeli sebuah tas mewah. Mas Sehun di tampar di hadapan teman-teman Irene yang datang jauh dari korea. Betapa malunya aku dan Mas Sehun. Harga diri kami di injak-injak oleh wanita tak tahu diri itu.
Banyak sekali kejadian yang menjatuhkan harga diri Mas Sehun sebagai seorang lelaki sekaligus suami. Hingga aku tak tahan olehnya dan pergi menemui Tante Heti. Satu-satunya orang tua yang tersisa dari keluargaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar