Chapter 06
"Biar aku aja yang bawa, ih!"
"Raya aja!"
"Aku aja!" Bintang menarik karung goni tersebut. "Aku kan cowok!"
"Raya yang lebih tua."
Fix. Bintang mendadak kesal mendengar alasan Raya yang tidak ada hubungannya sama sekali. Bintang tidak suka saja mendengar fakta bahwa Raya memang lebih tua dua bulan dari nya.
Raya tertawa melihat Bintang yang diam saja. Jelas Bintang bungkam, karena merasa terpojok. "Becanda, lebih tua dua bulan."
"Sini aku bawain aja!" Sungut Bintang ketus. "Kakak.."
Bintang memanggul karung goni yang sudah penuh separuh ke punggungnya, berjalan memdahului Raya yang masih tertawa keras.
Kemudian suara tawa Raya meredup, lalu menghilang.
"Bintang! Bintang!"
Bintang tidak menyahut, pura-pura marah saja supaya Raya menjadi merasa bersalah lalu mengejarnya. Itu pasti akan lebih seru.
"Bintaang!"
Senyuman tercetak jelas dibibir Bintang, anak laki-laki itu lalu menoleh kebelakang untuk menghadap kearah Raya yang dari tadi meneriaki nama nya.
Deg
Dada Bintang berdegup kencang, nafas nya naik-turun dengan bibir bergetar. ".. Raya?"
Mata nya mengerjap, lalu memandang ke sekelilingnya untuk mencari keberadaan Raya. Perasaan nya menjadi kelabu, gelisah tidak tahu apa sebab nya. Membayangkan bagaimana ia harus hidup sendiri tanpa Raya, Bintang semakin cemas.
Tetapi tetap saja, Raya menghilang. Ia tidak bisa menemukan gadis kecil itu dipandangannya.
Bahkan Bintang tidak bisa menggerakkan langkahnya. Ia terlalu takut untuk mengambil arah tanpa seorang teman, Raya.
".. Ray--"
"HUA!"
Bintang terlonjak ditempatnya, bahkan karung goni dipunggung nya terjatuh. Para pejalan kaki yang berlalu lalang sedikit menoleh singkat kearah Raya dan Bintang, lalu kembali acuh.
Bintang memang tidak menjerit atau berteriak, dia hanya menahan napas karena kaget.
Nafas Bintang kembali normal, ia menatap kearah Raya kesal. "Raya!"
Raya menutup mulutnya, menahan tawa yang berlebihan. "Nyariin Raya, ciye!"
Baru saja Bintang ingin menyanggah, Raya sudah berlari menjauh sambil tertawa-tawa lepas meninggalkan Bintang yang sudah kesal setengah mati.
"Rayaa!"
•••
"Nah, ini dia kesayangan Juragan.." Juragan Faisal menyambut kedatangan Raya yang ikut tersenyum, sedangkan Bintang sedikit membungkuk tampak kesusahan sambil memikul karung goni yang sudah penuh. Bintang berjalan mengekori Raya yang sudah berhenti didepannya.
Bintang meletakkan sekarung sampah yang bisa didaur ulang kembali ke tanah seraya menyeka peluh di pelipisnya. Bintang menjepit pangkal hidung runcing nya dengan kedua jemari, enggan mencium aroma busuk disekitar sini.
"Anak kesayangan Juragan, yang belakang mah bukan." Juragan Faisal melirik geli kearah Bintang. "Kenapa? Baunya ndak enak?"
"Iya, busuk banget." keluh Bintang. Kayak muka Om.
"Juragan, dipangil sama nyonya pertama dirumah!" Lapor Amir yang baru saja tergopoh sampai, sesekali mengatur nafas.
"Urang?" tanya Juragan Faisal dengan wajah memucat. "Waduh, kumaha ini teh?"
"Om, mana upah nya?" tanya Bintang tidak sabar.
"Juragan kenapa, sih?" tanya Raya penasaran.
"Ndak, isteri Juragan teh lagi Bunting. Jadi rada rewel.." Jawab Juragan Faisal. "Ini uang nya, Hatur Nuhun nyak.."
Raya menenggadahkan tangannya, lalu menghitung upahnya.
"Kok lima belas ribu, Om?" tanya Bintang sarkastik.
"Itungannya gitu," Kata Juragan Faisal. "Udah bener atuh."
"Gimana?"
Juragan Faisal menggelengkan kepalanya, merasa dipojokkan. Lalu ia memberikan uang tambahan, "Nih, lima ribu."
"Makasih, Juragan. Maaf," Raya nyengir lalu menatap Bintang kesal.
•••
"Kamu jangan gitu lagi, ya?"
Bintang menendang kerikil dijalanan, lalu menoleh kearah Raya. "Gitu gimana?"
"Tadi, Juragan Faisal. Dia itu baik banget, loh."
"Ngeselin aja muka nya, kayak ikan lele kumisnya." Celetuk Bintang asal.
Raya tertawa lebar, "jahat ih."
"Jadi mau ikan Lele," Bintang terlihat memikirkan sesuatu. "kita beli yuk!"
"Kalo kita beli ikan Lele dua bungkus, yang ada nanti uang kita habis."
Bintang menunduk lesu, ia menggenggam erat uang receh dua puluh ribu di tangannya.
Raya menyentuh bahu Bintang, lalu tersenyum semangat. "Yaudah, yuk beli!"
"Enggak, deh." Bintang menggeleng, lalu merangkul bahu Raya erat. "Aku mau ikan tempe aja sama tahu."
Raya tertegun. Menatap dalam-dalam wajah Bintang. Ia tahu, Bintang ingin sekali ikan lele, tapi ia mencoba untuk menahan keinginannya. Karena Bintang tidak mau merepotkan Raya.
"Kita beli satu aja lele nya," Usul Raya, yang disambut dengan mata berbinar oleh Bintang.
"Wah, iya! Kayak kemarin. Iya kan?"
"Iya," Raya mengangguk singkat. "Yang sampe duluan menang!!" teriak Raya saat ia sudah menjauh beberapa langkah.
"Ish, CURAAANG!"
•••
Brak.
Raya terpental saat dia menoleh kebelakang untuk melihat Bintang yang masih berlari mengejarnya. Raya memang ceroboh, ia sampai tidak tahu kalau didepannya ada seorang pria yang sedang menelpon.
Akibatnya handphone pria itu jatuh, dengan layar retak. Berantakan.
Raya membulatkan mata, kaget.
"Raya? Kamu nggak papa?" Bintang berjongkok, sembari menyentuh bahu Raya dari belakang.
Raya meringis lalu menggeleng, mendongak menatap Bintang yang terlihat khawatir.
"Bin--tang?"
Deg.
Bukan hanya Bintang yang mendongak untuk menatap pria didepannya. Raya juga ikut memdongak, entah kenapa perasaan Raya mulai cemas.
Rasa Kehilangan itu berjalan semakin dekat kearahnya.
Bintang berdiri, lalu tersenyum merekah. Bocah itu menjerit sambil memeluk pria itu erat. "Papaa!"
Raya setengah terkejut. Pria bersetelan jas dan pemilik sepatu mengkilap itu adalah Papa Bintang. Berarti benar, Bintang memang anak dari orang-orang kalangan atas.
"Sayang, kamu tuh kemana aja selama ini? Terus kamu ngapain aja? Papa cariin kamu terus. Maafin Papa, ya? Udah ngasih pilihan Mama yang salah buat kamu." Pria yang disebut Papa oleh Bintang berjongkok untuk menyamai tingginya. Lalu kedua matanya beralih kearah Raya yang masih terduduj diposisi jatuhnya. "Terus.. Ini siapa?"
Bintang membalikkan badan, lalu membantu Raya berdiri. "Dia Raya, temen nya aku."
"Temen kamu?" tanya nya.
"Iya, Pa. Aku ikut dia selama ini." Jelas Bintang. "Pa, Mama ninggalin aku gitu aja disini. Bahkan aku sampe jatuh ke selokan berjam-jam, untung aja ada Raya."
Raya tersenyum manis, "Raya temennya Bintang, Pak."
"Ah, iya. Terima kasih ya, Nak. Kamu udah nolongin anak saya," Ucap Pramana, Papa Bintang. "Orang tua kamu kemana?"
Raya menatap Bintang yang juga menatapnya, lalu menunduk. "Mama.. Meninggal, Papa.. Nggak tau."
Pramana menaikan alisnya, tidak percaya. "Yakin kamu? Kamu tinggal sendirian?"
"Enggak," Raya menggeleng singkat. "Raya tinggal sama Bintang."
Bintang tersenyum lebar, lalu merangkul Raya erat. Begitupun dengan Raya, ia merangkul pinggang Bintang. Feeling nya tidak enak, rasanya sesuatu yang buruk akan terjadi saat ini.
Tapi Raya tahu, selama ada Bintang, semua pasti bakal baik-baik saja. Bintang sudah bisa diandalkan.
Ah, andai dari awal Raya tahu. Seharusnya ia tidak mengajak lomba lari tadi. Seharusnya Raya tahu, malam ini adalah terakhir kali ia melihat sosok Bintang. Malam ini, cerita antara dia dan Bintang harus berakhir sampai disini.
"Sayang, ayo kita pulang." Pramana menegakkan tubuhnya setelah meraih ponselnya diatas aspal. "Kita anterin temen kamu pulang dulu, ya.."
Raya mengatur napas nya, perasaan kehilangan itu sudah tiba. Dan Raya sama sekali belum siap untuk sendiri lagi. Kedua mata Raya memanas, lehernya sakit. Bintang menatap Raya yang sudah menahan air matanya, Bintang tahu semua akan berakhir seperti ini.
"Pa, Raya tinggal sendirian. Aku mau ajak Raya tinggal sama-sama, boleh?"
Bintang menggenggam tangan kanan Pramana, pria itu menaikan alis tidak mengerti lalu tertawa kecil sambil mengacak rambut putera nya.
Tapi Raya tahu, itu bukan jawaban yang baik.
"Nggak bisa, sayang." Tolak Pramana halus.
"Kenapa enggak bisa?"
"Nggak semudah itu, ngajak Raya tinggal bareng kita. Apa kata publik nanti? Mereka pasti bakal memuat kabar hal buruk tentang Papa dengan hadirnya Raya," jelas Pramana.
Bintang menggeleng tegas, "Kita hidup bukan buat mereka terkesan, Pa. Aku mau sama Raya,"
"Bintang---"
"Aku mau tinggal sama Raya, Pa!"
Cukup sudah, Pembelaan Bintang atas nama nya sudah cukup.
"Bintang nggak mau Raya sendirian lagi," Ucap Bintang seraya menekankan tiap kata nya.
Pramana menghela napas panjang, lalu beralih menatap Raya yang sedang menunduk.
Bintang terlihat keukeuh mempertahankan Raya, padahal sebelum nya Bintang tidak pernah perduli dengan orang lain.
Prmana bukannya jahat, tapi ia harus menjaga image nya didepan publik. Perusahaan pusat nya yang ada di jakarta juga sedang membutuhkan dana bantuan, ia tidak mau menghambat ada nya dana bantuan tersebut bila ada kabar aneh-aneh yang memuat dirinya.
Pramana ingin masa depan Bintang lebih terjamin. Itu adalah satu-satunya cita-cita seorang Ayah.
"Oke, kalau itu maunya kamu." Pramana tersenyum singkat.
Bintang tersenyum lebar, lalu memeluk Pramana. Kemudian merangkul Raya senang, sangat erat bahkan ia lupa kalau ditangannya kini masih tergenggam uang receh dua puluh ribuan.
Tentu saja Raya senang, tapi perasaan nya masih belum stabil. Perasaan kehilangan itu masih bertahan dan tidak pergi, ia hanya mundur beberapa langkah.
Raya tahu, keputusan Pramana akan membawanya jauh dengan Bintang.
Raya memutuskan untuk merangkul Bintang lebih erat, tanpa senyuman lebar bahagia. Ia malah menangis, Raya begitu yakin bahwa setelah ini ia tidak akan melihat Bintang lagi.
•••
Kondisi mobil malam ini sangat sunyi, karena tokoh yang dari tadi membuat keriuhan sudah terlelap tidur. Bintang nyenyak tidur dikursi depan samping Pramana.
Kini hanya tinggal Raya yang ada dijok belakang, gadis kecil itu merasa risih saat Pramana meliriknya lewat kaca depan. Tapu wajar saja, mungkin Pramana lebih risih saat tahu seorang gembel duduk diatas mobil mahal nya. Bahkan dirinya terlihat begitu mencolok disini, terlalu kotor untuk berada dimobil ini.
Terlihat Raya meremas ujung kaus kusutnya, jelas saja gadis itu sangat kaku dan gugup.
"Saya nggak akan membiarkan kamu hidup sendirian, Raya." ucap Pramana yang memecah keheningan. "Karena saya sudah berjanji kepada Bintang."
Dada Raya naik turun, saat Pramana mengajaknya berbicara. "I-iya, terima kasih."
Seharusnya Raya lega ketika mendengar itu, tapi entahlah. Perasaan kehilangan itu, mulai maju perlahan untuk meraihnya. Siap membawa nya pergi dari Bintang.
"Semoga kamu betah, ya.." Pramana menghentikan mobilnya, lalu mematikan mesin mobilnya.
Raya memandangi sekitar luar mobil, tempat yang cukup asing baginya.
Melihat Pramana keluar dari mobil, Raya tertegun. Apalagi ketika Pramana membuka pintu belakang, tersenyum manis sambil menyodorkan tangannya.
"Ayo keluar," Ajak Pramana lembut.
Awalnya ragu, ia sangat takut bila pergi tanpa Bintang. Raya bahkan sempat berharap kalau Bintang bisa bangun dari tidurnya, lalu meyakinkan Raya bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi semua itu tidak terjadi.
Raya menerima uluran tangan Pramana, lalu keluar dari mobil.
"Kamu akan tinggal disana, nggak akan sendirian." Pramana menunjuk sebuah bangunan yang cukup tua, dengan papan bertuliskan sebuah Panti Asuhan Muara Kasih yang ditempel besar-besar.
Hati Raya teriris, Gadis itu menatap Pramana dengan raut muka kecewa. Raya ingin sekali menolak, tetapi ia tidak punya cukup keberanian.
Pramana menariknya lembut ke arah bangunan itu. Raya malah menoleh kebelakang, tepatnya kearah mobil Pramana. Disana masih ada Bintang, yang tidur dengan tenang.
"Maafin saya, tapi saya terpaksa."Sesal Pramana. "Seenggaknya disini, kehidupan kamu akan lebih terjamin."
Raya tidak berkata apa-apa, air matanya jatuh bergulir lebih cepat. Sebagai jawaban, betapa ia sangat kecewa dengan keputusan Pramana.
Air matanya turun lebih deras. Setelah ini tidak akan lagi ada Bintang dihidupnya. Raya mencoba mengendalikan napasnya, dada nya вenar-вenar sesak.
"Nak, saya tahu kamu anak baik. Saya harap kamu mengerti." kata Pramana lembut.
"Tapi.. Raya mau sama Bintang," Suara Raya memgecil, bergetar hebat.
"Iya, Sebulan sekali saya pasti mengajak Bintang kemari. Saya Janji,"
Raya tidak diberikan kesempatan untuk memilih. Gadis itu mengangguk pelan, sambil menangis tanpa suara. Pramana mengacak rambut Raya, "Bintang beruntung mengenal kamu,"
Bahkan ketika Pramana mengetuk pintu dan bercakap-cakap dengan Bunda Mutia, pemilik yayasan panti asuhan itu, kedua mata Raya fokus menatap kearah mobil Pramana.
Bintang masih disana, dan ia sudah berjanji tidak akan meninggalkannya. Tapi Bintang sudah menepati janji nya meskipun gagal, Bintang sudah berusaha mempertahankan Raya meski Pramana melarangnya.
Kini, Raya bimbang. Akan kah ia harus percaya dengan janji Pramana? Untuk kali ini, Raya berharap Pramana tidak berbohong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar