Chapter 07
_*20 Tahun Kemudian.*_
Seorang gadis cantik keluar dari kereta yang telah membawa nya pulang ke Jakarta. Penampilannya cukup sederhana, dengam make up natural yang tidak terlalu kentara. Gadis itu dari tadi menjadi pusat perhatian, dia memang cantik dan manis.
Sweater merah muda coral yang dipadukan dengan celana jins putih dan sepatu flat berwarna senada dengan jaket hijau lumut nya tampak membuat gadis itu semakin sempurna. Koper yang ia bawa tidak berat, hanya berisi pakaian nya saja.
"Itu yang masuk berita itukan?"
"Mana? Eh, dia kan pengacara yang masuk koran kemarin?"
"Udah keliatan kalo dia jenius."
Gadis dengan rambut lurus terurai itu menoleh kearah sumber suara, lalu tersenyum tipis menanggapi mereka. Bahkan di stasiun saja, Semua orang sudah membicarakan nya ini-itu. Mereka semua menganggap bahwa hidup Gadis itu selalu sempurna, sehingga koran terbitan yang memuat masa lalu seorang pengacara lulusan Australia itu terbongkar dan sekarang menjadi buah bibir masyarakat.
Di Australia, nama nya juga bersinar seperti bintang. Ia sudah banyak memenangkan kasus dalam bidang apapun. Dan uniknya, Gadis ini tidak menargetkan upah yang harus klien bayar setelah memenangkan kasus. Bahkan beberapa kali ia membantu permasalahan dengan cuma-cuma.
Bahkan di siaran televisi, nama Gadis itu selalu muncul menghiasi layar televisi. Mereka semua terlihat mendukung sang pengacara itu begitu tahu bagaimana suram masa lalu nya. Sampai sekarang nama nya masih bertahan menjadi high rank, apalagi ketika siaran televisi mengusulkan akan membuat inspiration film yang menceritakan jalan kehidupan nya.
"Bunda Mutia!" Gadis berumur 26 tahun itu berseru, ketika melihat seorang wanita berumur sekitar setengah abad tampak menyapu pandangan, mungkin bermaksud mencarinya.
Bunda Mutia, wanita yang sudah berjuang keras untuknya itu tampak menyipitkan mata sembari berlari kecil mendekati seseorang yang tadi menyerukan namanya.
"Raya.."
Kedua nya berpelukan erat, mengundang banyak orang untuk tertarik menjadikan kedua nya pusat perhatian. Sesekali mereka memotret momen seorang pengacara terkenal yang sedang melepas rindu.
Ananda Maharaya, gadis yang sukses dengan bantuan beasiswa dari pemerintah itu terlihat sukacita memeluk erat Bunda Mutia. "Ya allah, Bunda.. Raya kangen banget, Kangen berat sama Bunda."
Bunda Mutia terkekeh, lalu melepaskan pelukannya. Kedua tangannya terulur, menyentuh wajah Raya lembut. "Aduh, gelieus pisan puteri nya Bunda teh.."
Raya menangkap kedua tangan Bunda Mutia yang masih mengusap wajahnya. Bunda Mutia tertegun sejenak saat Raya menarik tangan nya perlahan mendekatkan kearah bibir Raya, gadis itu mencium lama punggung tangan kanan dan kiri Bunda Mutia.
Alih-alih, Wanita yang mulai mengeriput itu menahan napasnya untuk mencegah isakan dan air matanya. Ia merasa, sangat beruntung memiliki anak asuh seperti Raya.
Dari dulu, Raya tidak berubah. Masih menjadi gadis kecil yang berkemauan keras. Bahkan ketika Bunda Mutia mendaftarkan Raya ke sekolah dasar, Raya tidak keberatan membantu Bunda Mutia untuk berjualan disekolah sekedar meringankan ekonomi panti asuhan. Saat itu donatur tidak lagi memberikan bantuan banyak, keinginam Raya untuk terus bekerja sambil sekolah muncul menggebu. Dan hasilnya, Raya berhasil menjadi Raya yang sekarang.
"Makasih, ya. Bunda udah nemenin Raya hidup beberapa tahun lalu supaya Raya nggak sendirian. Saat itu Bunda harus tahu, betapa Raya nggak ingin merasa kehilangan untuk yang kesekian kalinya."
Bunda Mutia menggeleng, "Bunda sangat beruntung punya kamu, sayang."
"Bunda, nanti temenin Raya liat rumah ya?"
Raya menarik koper nya, mengajak Bunda Mutia untuk berjalan beriringan keluar dari stasiun.
Bunda Mutia tersenyum tipis, menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Kamu hebat, udah punya rumah sendiri. Nanti Bunda kesepian lagi, deh.."
"Ih, Bunda.." Raya memanyunkan bibirnya. "Raya kan beli rumah sendiri supaya nggak ngerepotin Bunda terus. Bunda juga bisa ngajak anak-anak panti kerumah setiap hari, pintu rumah Raya selalu terbuka buat Bunda sama anak-anak panti."
Bunda Mutia tersenyum, "Oh iya, selamat ya.. Kamu udah berhasil bikin Mama kamu bangga disana. Selamat karena udah berhasil membuktikan kasus Mama kamu itu salah, Selamat karena udah membersihkan nama Mama kamu. Berita tentang kamu yang mengungkit kasus dua puluh tahun yang lalu atas Mama kamu menjadi pembicaraan dimana-mana, banyak banget dukungan buat kamu."
Raya menoleh kearah Bunda Mutia, merasakan kedua matanya benar-benar memanas. Kemudian satu persatu air mata dipipinya jatuh, tetapi Raya enggan untuk menyeka nya.
"Kok jadi nangis, sih?" Tanya Bunda Mutia.
"Kali ini bukan air mata karena sedih, Bunda. Ini air mata bahagia, aku nggak mau menghapus nya."
•••
"Assalamualaikum, Juragan Faisal!" Sapa Raya semangat, ketika langkahnya baru terhenti disebuah bangunan yang baru dibangun dengan megahnya.
Aroma cat baru menyeruak masuk kedalam penciuman Raya, bahkan aroma sisa kardus-kardus basah karena hujan berserakan. Aroma ini mengingatkan keadaan dua puluh tahun lalu.
Juragan Faisal dengan heboh menyalami Raya ketika tahu siapa yang berkunjung. Laki-laki yang dulu selalu berdiri dengan bahu kokoh itu mulai sedikit membungkuk, dimakan usia. Tapi Raya bisa melihat jiwa muda Juragan Faisal masih menggebu, mengalahkan fakta bahwa usia Juragan Faisal kini sudah mencapai 57 tahun.
"Wa'alaikum salam." Juragan Faisal menatap Raya tidak percaya, berdecak kagum. "Duh, gusti.. Raya yang dulu udah jadi Raya yang hebat!"
"Juragan Faisal gimana kabarnya?" tanya Raya, mengalihkan pembicaraan.
"Alhamdulillah, atuh. Saya baik-baik aja." Jawab Juragan Faisal. "Eh, tapi udah atuh, jangan panggil Juragan-juragan lagi. Saya ini bukan Juragan kamu lagi, gelieus.."
Raya tertawa lebar, "Udah biasa, Juragan.."
"Saya teh jadi ndak enak, gimana kalo dipanggil Abah aja?"
"Iya, Abah."
Juragan Faisal tersenyum puas, kemudian mempersilahkan Tamu istimewa nya masuk kedalam.
Bangunan ini masih belum dilapisi cat sepenuhnya. Dan belum dibersihkan, Raya menatap ke sekelilingnya.
"Sok atuh, duduk disini. Punten, nyak. Masih kotor," Juragan Faisal berbasa-basi. "Mau minum apa?"
"Enggak, Bah. Raya kesini cuma mau main aja, nggak ganggu Abah kan?"
Abah menggeleng cepat, "Ya ndak atuh, gimana sih.. Semua yang ada disini juga punya Neng Gelieus."
"Abah, ih. Ini tuh punya Abah, Raya kan cuma bantu aja. Abah inget nggak sama janji Raya dulu?"
Juragan Faisal tersenyum. Demi apapun, janji seorang anak kecil seperti Raya saat itu terdengar mustahil. Dan Juragan Faisal menanggapi janji Raya hanya sebatas motivasi. Ia tidak mengira kalau Raya sungguh-sungguh dengan janji nya.
Andai ia tahu, kalau hidup Raya sangat berpengaruh baginya. Juragan Faisal pasti akan langsung memenuhi segala kebutuhan Raya, tidak harus bekerja untuk mendapatkan upah.
"Abah, ngelamun aja." Sahut Raya.
"Neng, Abah pasti inget sama janji Eneng teh. Bahkan karena Neng Raya, nama Abah jadi piral masuk koran. Meskipun cuma jadi juragan sampah doang, sih."
"Raya nggak ngerti kenapa bisa jadi Viral, Bah."
"Kok ndak ngerti? Ya soalnya Neng Raya itu terkenal. Apa namanya, Pemes."
Raya terkekeh mendengar Juragan Faisal kesulitan mengatakan kata terakhirnya.
"Raya bukan orang penting, Bah. Raya masih sama seperti yang Abah kenal." Ucap Raya merendah.
"Eh, kamu tau nggak? Warga disini jadi gempar, setelah tahu keadaan kamu sekarang. Mereka bilang nyesel udah jahatin kamu, tapi yaudah.. Jangan dimaafin. Abah juga kesel sama mereka, sadarnya udah eks--ekspayet."
Expired, mungkin itu maksud Abah.
"Enggak papa, Bah. Justru karena mereka, Raya bisa jadi kayak gini. Cacian mereka yang bilang kalo Raya anak stres, bikin Raya kebal dan mendorong Raya buat buktiin ke mereka kalo tuduhan mereka itu salah." Jelas Raya.
"MEREKA PERNAH HINA KAMU KAYAK ANAK STRES?!"
Juragan Faisal melotot, tidak terima.
Raya menarik napasnya, lalu tersenyum singkat. "Dulu, bah. Udah nggak usah dipikirin. Yang penting mereka udah sadar dan mau mengakui kesalahanya."
"Kowe itu, ndak berubah. Baik banget sama orang," Kata Juragan Faisal, lirih.
"Kalo kita baik sama mereka, mereka juga pasti bakal baik sama kita." Ucap Raya menanggapi perkataan Juragan Faisal.
Gadis itu lalu melirik arlojinya, lalu melotot. "Yah, Bah." Sesalnya kemudian.
"Ana apa, toh?"
"Raya harus buru-buru pulang, ada urusan. Kapan-kapan Raya kesini ya, Bah."
"Oalah, nduk. Ndak apa-apa, orang penting mah suka sibuk. Hati-hati, ya?"
Raya tersenyum tipis, berdiri dari duduknya.
"Iya, hatur nuhun."
•••
"Jalan Kelapa Sawit.." Raya menepuk bahu ojek online didepannya, untuk meminta nya berhenti.
"Kenapa, mbak?" tanya nya.
"Udah, saya turun disini aja. Ini uangnya,"
Bergegas Raya memberikan selembar uang lima puluh ribu kearah laki-laki ojek online yang baru saja ia pakai jasa nya, tersenyum tipis.
"Yah, mbak.. Aku nggak ada kembalian. Ada uang pas nggak, mbak?" tanya nya seraya merogoh dompetnya untuk memastikan.
"Enggak, Mas. Nggak papa, ambil aja."
"Eh? Seriusan mbak nya? Makasih, mbak."
Raya mundur beberapa langkah saat sepeda motor ojek tadi melaju pergi, menyisakan kepulan asap abu-abu yang bau nya tidak enak. Gadis itu menghela napas, lalu mengecek Iphone nya dari saku jaket tebalnya.
Ia menekan app Email, lalu mencari roomchat nya bersama seseorang.
"Jalan kelapa sawit, didepan rumah makan.." Gumam nya, ia mengedarkan pandangannya guna memastikan. "Iya, nih. Jalannya bener."
Kemudian Raya memutuskan untuk menunggu salah satu klien nya yang tadi malam mengirim email kepada Raya. Klien nya satu ini tidak menyebutkan nama, hanya saja ia menjelaskan kasus yang menjadi masalahnya kepada Raya agar gadis itu bisa mempelajari lebih lanjut.
Kasus yang memang sering Raya dapatkan disini, korupsi atau penggelapan uang.
Demi menghabiskan rasa jenuhnya, Raya kemudian melihat app galeri. Iseng saja sebenarnya, ia melihat foto demi foto yang ada di Iphone nya. Sesekali ia tersenyum, saat melihat fotonya bersama seorang laki-laki muda sedang berdiri menghadap kamera sambil tersenyum. Raya masih ingat, Ia diminta foto bersama dengan Daniel, pengacara internasional berasal dari Australia sebagai ucapan selamat atas kemenangan kasus pertama Raya yang telah membersihkan nama Mama nya. Dan sekarang hubungan antara ia dan Daniel sudah semakin dekat, meskipun jarak memisahkan kedua nya. Daniel kini sedang mengikuti langkah Raya, ia pergi ke sebuah negara dengan kasus terbanyak. Daniel bekerja tanpa menargetkan upah, ia tertarik dengan cara Raya bekerja.
Kebahagiaan Raya semakin memuncak ketika Daniel berniat untuk menikahi nya tahun depan, setelah lebaran.
Jari Raya menggeser foto nya dan Daniel kesamping, memperlihatkan foto selanjutnya. Kali ini ia tidak tersenyum, wajah nya berubah mendung melihat hasil Screenshoot yang ia ambil dari internet. Sebuah muatan koran yang terbit dan menjadi pembicaraan.
Artikel dengan judul; Berhasil memenangkan kasus atas naa Sang Ibu, Pengacara muda akui masa lalu nya yang suram.
Raya menghembuskan napas nya panjang, lalu memutuskan untuk mematikan Iphone nya dan menyimpannya di saku jaket. Hari ini, Raya akan memfokuskan diri untuk kasus yang satu ini.
"Hei,"
Entah karena melamun atau apa, seorang laki-laki muda dengan kemeja hitam sepertiga tahu-tahu sudah ada disampingnya. Ia menaiki sepeda motor scoopy berwarna hitam mengkilap.
Raya menoleh, lalu tersenyum. Dugaan pertamanya, Pasti laki-laki itu adalah klien yang memgirim email tadi malam.
Laki-laki tegap dan tinggi itu masih berdiri, kulitnya putih dengan bibir cenderung merah alami. Hidung nya runcing, alis tebal nya menambah kesan ganteng nya.
Tapi mendadak, kepalanya berdenyut pelan. Garis-garis bayangan dan wajah laki-laki itu terlihat begitu familiar dan tidak asing lagi. Tapi Raya tidak ingat apapun. Tentu saja, mungkin karena ia sudah meninggalkan Indonesia 6 tahun lama nya setelah ia berhasil mendapatkan beasiswa ke Australia di Sekolah Menengah Atasnya.
Raya memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya, "Selamat Siang."
"Selamat Siang juga, maaf membuat Anda menunggu. Tapi lebih baik kita mencari tempat untuk membicarakan permasalahan saya, bisa?" tanya laki-laki itu sopan.
"Iya, baik. Tapi maaf, sebelumnya.. Bolehkah saya tahu nama anda? Tadi malam, anda tidak memberikan data yang lengkap."
"Oh, iya. Nama saya.. Galaksi."
•••
Keadaan rumah makan bergaya tradisional itu membuat mata Raya mengerjap beberapa kali, ia begitu takjub. Sudah lama sekali ia terjebak disebuah ruangan minimalis dan modern di Australia. Tidak bisa pungkiri, Raya juga pasti merindukan kampung halamannya.
Seorang pegawai laki-laki dengan seragam batik cokelat terang dengan Blangkon yang senada tahu-tahu sudah berdiri dimeja Raya dan Galaksi, meletakkan nampan yang berisi dua piring makanan sederhana dan dua gelas teh madu.
"Terima kasih, Kang." Ucap Galaksi singkat.
Pegawai rumah makan itu mengangguk seraya menebarkan senyuman tipis, berlalu melangkah menjauh.
Sedangkan Raya tercengang, ketika melihat makanan yang Galaksi pesan. Dua piring nasi dengan lauk yang berbeda. Dipiring milik Raya, dengan lauk ayam bakar. Sedangkan dipiring Galaksi dengan lauk tahu dan tempe goreng.
Galaksi menatap Raya intens, lalu tersenyum kecil. "Ada apa? Anda juga mau nasi dengan dua lauk yang berbeda seperti punya saya?"
Deg
"Ini, silahkan. Belum saya apa-apakan, kok." Galaksi menggeser piringnya mendekati piring Raya.
Raya mendongak, menoleh cepat kearah Galaksi. Raya seperti merasakan sebuah Deja vu, kalimat pertanyaan Galaksi terdengar tidak asing. Telinga nya sensitif. Mendengar itu, Raya seolah terlempar ke masa lalu nya.
Galaksi benar-benar misterius.
Raya beberapa kali mencoba untuk mengingat sesuatu, sampai akhirnya bayangan kejadian dua puluh tahun lalu berlarian didalam memorinya. Sekelebat bayangan hitam-putih yang samar-samar, tapi cukup membuat tubuh Raya menegang.
Kedua matanya memanas, napas nya memburu.
Kemudian, Raya menangis. Menangis tanpa suara. Bahkan ia tidak perduli kalau didepan nya sekarang, klien nya sedang duduk menatap Raya dengan pandangan sulit diartikan.
Luka dan perasaan kehilangan itu menguak, kembali menyadarkan Raya sekarang. Tanpa disadari, air mata nya terus bergulir cepat menuruni pipi nya.
Raya bangkit dari kursi kayu dingin nya, lalu berjalan memutari meja didepannya. Galaksi berdiri dari duduknya, menatap Raya tulus tanpa berkata apa-apa lagi. Mungkin semua ucapannya sudah jelas bagi Raya. Tanpa ragu, gadis itu memeluk leher Galaksi, meletakkan dagu nya ke bahu Galaksi dengan kaki sedikit menjinjit.
Galaksi tersenyum ketika orang-orang disekitarnya menatap nya hangat, sesekali melempar senyuman ramah. Perlahan kedua tangan Galaksi terulur, membalas pelukan Raya. Sesekali tangannya mengusap rambut kepala Raya yang menjuntai sampai punggung.
Bahu Raya bergetar, suara tangisannya mulai pecah meski tertahan. Dan Galaksi mulai merasakan kemeja yang ia kenakan basah dibagian bahu. Galaksi membiarkan gadis dipelukannya menangis sepuasnya, seolah ingin memberikan Raya waktu.
"Hei, udah.. Jangan nangis." Bisik Galaksi perlahan, membuat Raya semakin mempererat pelukannya.
Tidak akan, Raya tidak akan membiarkan dia pergi lagi. Raya akan menuntut keadilan terbesarnya dari dia, Raya akan menuntut janji dimana dia tidak akan meninggalkannya.
"Raya, jangan nangis ya.." Lirih Galaksi perlahan. "Iya, deh.. Aku rela kalau kamu bilang, kamu lebih tua dari aku. Meski cuma dua bulan."
Bahu Raya semakin bergetar, ia masih enggan melepaskan pelukannya.
"Raya cantik, udah ih.." Galaksi membujuk sekali lagi. "Tapi nggak apa, deh. Nanti kamu masuk koran lagi, terus aku terkenal."
Raya mengendurkan pelukannya, menatap Galaksi yang kini setengah menunduk untuk menatap Raya yang masih sesenggukan dengan wajah sembab.
Raya mencengkram bahu Galaksi, lalu memukulnya beberapa kali. "Aku lebih tua dari kamu, tapi kamu lebih tinggi dari aku."
"Kamu tahu siapa nama aku?" Galaksi tertawa menyeringai.
".. Bin--tang?"
"Bukan," Galaksi menggeleng, terkekeh. "Aku Galaksi,"
Raya mengerjap, menaikan alisnya masih tidak mengerti. "Kamu Bintang, bukan Galaksi."
"Aku nggak mau jadi Bintang, dia udah bohongin kamu dan udah bikin kamu kecewa dua puluh tahun lalu." Kata Galaksi, seraya mengelus pucuk kepala Raya. "Dia titip salam buat kamu, katanya dia mau minta maaf karena udah biarin kamu pergi dan lupa sama janji nya."
"Bintang.." Desis Raya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu nggak lupa sama janji kamu, kamu udah menepati janji kamu sama aku. Kamu udah berusaha buat mempertahankan aku dua puluh tahun lalu, dan aku menghargai itu."
"Tapi Bintang gagal menepati janji nya,"
Raya menggeleng, air mata nya jatuh kembali. "Nggak masalah kalau seseorang gagal dalam hidup nya, nggak ada hukuman buat orang yang gagal."
"... Aku seneng waktu denger kabar kamu udah berhasil jadi pengacara yang sukses. Pas pertama kali aku lihat wajah kamu di televisi, aku dibilang stres karena aku bilang sama orang-orang kalau aku kenal kamu. Tapi aku nggak perduli. Jadi saat aku tahu kabar bahwa kamu pulang ke Jakarta, aku langsung kirim email ke kamu." Jelas Galaksi.
"Dan kamu ngaku sebagai orang lain?" Raya menatap Galaksi jengkel.
Galaksi tertawa, dan Raya suka suara tawa nya. "Enggak, aku emang Galaksi. Galaksi Bintang Pramana. Tiap aku dipanggil Bintang, aku selalu ingat kamu. Aku merasa bersalah karena udah biarin kamu pergi, tanpa aku. Jadi aku nggak mau menjadi Bintang lagi,"
"Kamu masih tetap jadi Bintang buat aku,"
Galaksi tersenyum, nama Bintang kembali membuatnya tertarik lagi. Galaksi--Bintang tersenyum, lalu tertawa. "Sekarang aku siap jadi Bintang lagi,"
•••
"Siapa dia?"
Raya menatap Bintang sekali lagi, lalu tersenyum kearah pria tua yang sedang menggenggam batang jeruji besi. Raya yakin, itu adalah Pramana. Garis-garis wajah Pramana mulai menua, dimakan usia.
Bintang menatap datar kearah Pramana, "Kalau aku bilang, Papa nggak akan percaya."
"Kamu ngomong apa, sih? Papa nyuruh kamu buat cari pengacara terbaik! Bukan ngomong nggak penting kayak gini, Bintang!" Pramana menggebrak meja, membuat Raya sedikit terkejut.
Rupanya beban dan masalah membuat Pramana menjadi sosok yang tempramen dan kasar. Rahang Pramana mengeras, lalu menopang kepalanya frustasi.
"Ini bukan waktunya kamu kembali nyalahin Papa karena udah misahin kamu sama anak yang namanya Raya itu. Papa udah mendekam lima bulan, Papa nggak bisa lagi disini. Papa mau keluar, dan setelah itu papa janji bakal ngasih tahu dimana Raya tinggal." Pramana menatap Bintang memohon.
"Nggak perlu," Tukas Bintang cepat. "Orang yang Papa maksud udah disini, didepan Papa. Dia yang bakal jadi pengacara Papa, dia Raya."
Pramana merasakan suhu udara yang ada dibumi mendadak hilang, raib entah kemana. Dada nya sesak, Pria itu memukul beberapa kali dada nya seolah berharap rasa sakit di dadanya berkurang. Pramana menegang, menatap perlahan kearah Raya yang sedang tersenyum tipis kearahnya.
Lihatlah, Raya bahkan berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja.
Butuh beberapa detik sampai Raya memutuskan untuk memulai pembicaraannya dengan Pramana yang masih terkejut.
"Selamat siang, Pak." Sapa Raya sopan. "Gimana kabar bapak?"
".. Kamu Raya?"
"Iya." Raya mengangguk, "Saya Raya."
Didetik selanjutnya, Pramana berdiri lalu meraih kedua tangan Raya. Pria itu mencium kedua tangan Raya sembari mengeluarkan air mata nya, menangis dengan nada tertahan.
Raya terkejut, lalu menoleh kearah Bintang. Tetapi Bintang malah mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Maafkan saya, Nak. Saya udah buang kamu ke Panti Asuhan itu, seharusnya saya nggak setega itu." Pramana menangis, suaranya bergetar.
Raya menggeleng, lalu menenangkan Pramana. "Enggak, Pak. Sudah cukup, Saya nggak merasa dirugikan oleh Bapak. Justru saya mau berterima kasih sama Bapak, saya menjadi seperti ini karena Bapak yang udah kirim saya ke Panti itu."
"Saya menyesal,"
Bintang menatap Pramana lamat-lamat. Entah kenapa, melihat sang Papa menangis seperti itu membuat Bintang menjadi luluh. Rasanya sudah cukup ia mendiami Pramana selama bertahun-tahun, sudah saatnya ia mulai menerima Pramana lagi.
Tidak bisa dipungkiri, Pramana adalah Papa kandungnya.
"Pa, udah.. Jangan kayak gini." Sahut Bintang, menyentuh bahu Pramana.
Pramana menoleh, terisak perlahan. "Maafin papa.."
"Iya, Pa. Aku udah maafin Papa,"
Hubungan antara ayah-anak itu mulai membaik, disaksikan oleh Raya. Gadis itu tersenyum lega ketika Pramana memeluk Bintang, sesekali berkata lirih mengungkapkan penyesalan.
"Udah, Pa." Kata Bintang. "Sekarang waktunya Papa bangkit lagi, Papa bakal bebas dan tuduhan itu bakal terungkap."
"Makasih, Bintang. Kamu udah tetep ada disamping Papa, meskipun kamu selalu terlihat acuh."
"Bintang cuma nggak mau, Papa hidup sendirian terus kesepian." Ungkap Bintag tulus. Kemudian ia menoleh kearah Raya. "Karena Bintang udah pernah bikin seseorang hidup kesepian karena sendiri."
Pramana membeku, ia jelas tahu siapa yang dimaksud Bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar