Last Chapter
"Daniel? Kamu serius nyusul ke Jakarta?" Seru Raya dengan suara meninggi, ia benar-benar gembira.
Bahkan saking gembiranya, ia lupa kalau saat ini ia sedang bersama Bintang--cowok itu malah menatap punggung Raya yang memang sedang menerima telpon dengan berdiri membelakangi Bintang yang membiarkan dahi nya berkerut sesekali mengusap leher gelas kaca didepannya yang masih menyisakan separuh cola bercampur es batu.
"Wait me, future wife."
Raya tersenyum lebar, "See you, miss you too."
"Ish, nggak ada yang bilang kangen sama kamu."
"Hati kamu bilang gitu, masa?"
"Hati yang pengertian."
"Ya udah, ya? Aku tutup dulu, ada urusan."
"Okay, congrat as your success. Semoga kamu nggak kecantol sama cowok lain,"
Mendadak Raya bungkam. Dan satu nama yang saat itu melintas di pikirannya adalah, Bintang. Raya menggeleng pelan, mengusir jauh-jauh pikiran konyol semacam itu. Raya ragu, ia tidak mungkin menyukai Bintang. Tapi..
Kenapa didekat nya, Raya merasakan hal yang sama seperti ketika ia bersama Daniel? Mustahil ia bisa jatuh cinta dengan waktu bersamaan kepada orang yang berbeda.
"Hey, kok diem? Are you okay?"
Raya terpanjat, "Ah, enggak kok. Mungkin cuma kacapekan,"
"Its, oke. Jangan lupa istirahat,"
"Too. Udah, ya? Bye.."
Bintang mengalihkan pandangan kearah lain saat Raya sudah membalikkan badan kearahnya, alibi saja supaya Bintang tidak ketahuan kalau sedari tadi ia hanya mengamati Raya.
Raya duduk dikursinya lagi, lalu meletakkan ponselnya ke meja. Gadis itu memijit kepalanya yang sedikit berdenyut. Jujur, Raya masih memikirkan ucapan Daniel tadi.
"Kenapa?" tanya Bintang, lalu menggeser sepiring Donat kearah Raya. "Tuh, makan."
Raya meringis, lalu meraih sepotong dengan garpu nya. Terlihat ogah-ogahan, Raya memasukkan sepotong Donat dengan cheesee sauce kesukaannya kedalam mulutnya.
Bintang menaikkan alis. Padahal Raya tadi begitu antusias ketika ia mengajaknya sekedar ngabuburit di Doughnut Cafe.
Penasaran. Tapi Bintang tahu satu hal, perubahan mood Raya ada hubungannya dengan si penelpon tadi.
"Ray, aku boleh tanya sama kamu?" Tanya Bintang hati-hati.
"Iyalah, gratis. Kayak sama siapa aja,"
"Ya, enggak. Kan Kamu udah beda dari Raya dulu,"
Raya tertawa kecil, "Emang beda kenapa?"
"Enggak, kok. Nggak jadi,"
"Apa, sih? Kamu mau nanya apa?"
Bintang menelan saliva nya susah payah, lalu bertanya pelan. "Tadi yang nelpon siapa?"
Raya terdiam, ia menjadi ragu untuk menjawab pertanyaan Bintang. Seperti ada yang salah. Tapi Raya sendiri tidak tahu alasannya, memikirkanya semakin membuat kepalanya sakit.
"Kenapa emang?" tanya Raya.
Dari ucapan Raya barusan, Bintang bisa menyimpulkan kalau Raya sedang tidak mau membicarakan hal ini.
Bintang menggeleng, "Enggak, kok. Nggak papa,"
"Ooh, ya udah." Raya meletakkan garpu nya, lalu mengeliat dan menyentuh perutnya sendiri. "Kenyang, ah. Kamu makan, deh!"
"Yah, sama. Bungkus aja, buat anak-anak." Ujar Bintang, mengusulkan.
"Hh?" Raya mengerjap. "Anak-anak?"
"Panti Asuhan," Bintang memginterupsi.
Raya tertawa sendiri. Ucapan Bintang memang terdengar sedikit ambigu ditelinganya. "Aku kira apaan,"
"Apa emang?" Iseng, Bintang sengaja bertanya. "Dih, udah mikir yang kesana-sana. Ngebet banget punya anak-anak,"
"Enggak, ya kamu rada ambigu."
"Yee, kamu yang mikirnya sampe kesana." Kata Bintang, terkekeh geli.
"Biarin, sih. Kan aku bukan bocah lagi, jadi wajar."
Bintang tersenyum simpul. "Kamu tahu nggak, aku punya rahasia."
"Apa?" Tanya Raya. "Rahasianya?"
"Kamu percaya nggak, sih? Kalo aku bilang, aku pernah jatuh cinta ratusan kali dalam sehari?"
Raya tertegun, pertanyaan yang cukup menarik. Gadis itu tertawa tanpa suara, lalu menatap Bintang yang masih mengulum senyuman.
Raya menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, "Gila, sama siapa aja?"
"Kamu mau aku kasih tau dari yang pertama atau yang ke terakhir?"
"... Pertama?"
Bintang mengambil napas panjang, lalu mendekatkan kepalanya. "Yang pertama Raya, yang kedua Raya, yang ketiga Raya, yang keempat Raya, yang kelima Raya, Yang keenam Raya, yang ketujuh.. Oh iya, Raya juga. Yang ke delapan Raya, Yang kesembilan Raya, yang ke---"
"Bintang?"
Bintang menghentikan suara nya, ia menoleh kearah Raya. "Aku baru inget, ternyata jatuh cinta nya sama orang yang sama. Raya."
Demi apapun, Raya benci situasi seperti ini. Gadis itu masih membeku ditempatnya, mati-matian menahan napas. Mampus, hati Raya bergejolak seolah mendobrak ingin keluar. Getaran di dada nya semakin membuncah, ini gila.
Tubuh Raya gemetaran, ia tidak menyangka hari seperti ini akan datang.
"Raya, aku pernah bilang bakal kasih kamu kado diulang tahun kamu yang ke-enam dulu. Mungkin agak terlambat, tapi.." Raya terkesima, ketika Bintang mengeluarkan sesuatu dari kantung celana nya. Sebuah kotak berbentuk hati dengan pelapis berwarna merah segar. Siapapun tahu, itu adalah kotak perhiasan.
"Aku nggak minta kamu buat suka sama aku," Ujar Bintang seraya menyerahkan kotak perhiasan kecil kearah Raya yang masih terpaku.
"... Bintang-- aku nggak bisa terima. Eh, aku pulang duluan ya. Makasih udah ngajak kesini,"
Bintang mendongak melihat Raya yang buru-buru berdiri, ia meraih ponselnya yang sebelumnya tergeletak diatas meja.
Saat itu, Bintang tahu.. Raya tidak nyaman.
"Raya, Aku anter pulang ya?" tanya Bintang sebelum Raya benar-benar pergi berlalu.
"Ah, enggak usah. Aku naik taksi, byee!"
•••
Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir antara Bintang dan Raya. Entahlah, Bintang tidak mendapat balasan apa-apa setiap kali ia mengirim pesan email ke Raya. Bintang tahu, itu ada hubungannya dengan ia yang telah mengutarakan perasaan nya di Kafe saat itu.
Atau mungkin.. Karena Raya memang cukup sibuk?
Bintang harap begitu.
Siang ini, sidang atas kasus tuduhan penggelapan uang dari Pramana berjalan lancar. Seperti yang Bintang duga sebelumnya, Raya sangat enerjik mengutarakan argumen-argumennya kepada ketua hakim sehingga sebagian besar kemungkingan, Hakim akan berpihak kepada nya.
Raya juga senang ketika Ketua Hakim memutuskan untuk menutup Kasus ini, akibat tidak adanya bukti. Dan Pramana akan bebas sebentar lagi.
Bintang berjalan keluar dari pengadilan beriringan dengan Raya, wajahnya cerah.
"Makasih, ya.." Kata Bintang tulus.
Raya menoleh, tersenyum canggung. Sejak kejadian di Kafe waktu itu, Bintang merasa ada yang lain dengan Raya. "Sama-sama, Aku seneng bisa bantu Papa kamu."
"Iya, sekarang orang yang nuduh Papa udah ditahan. Itu berkat kamu,"
"Maksud kamu Pak Candra?" tanya Raya. "Aku lupa bilang sama kamu, tadi aku juga tertarik ngurus kasus beliau. Dan setelah aku pelajari lagi, aku yakin kalau Pak Candra itu lah yang udah menggelapkan dana bantuan dari perusahaan lain. Beliau menuduh Pak Pramana sebagai alibi buat nutupin kedoknya. Jadi habis ini, aku bakal urus tuntutan buat Pak Candra."
Bintang tersenyum lega, "Bahkan aku nggak ngira sampe kesana."
"Raya!"
Bintang dan Raya menoleh kearah sumber suara. Seorang pemuda berjaket hitam dan bertopi biru gelap berlari mendekati kedua nya. Aroma mint khas nya membuat Raya tahu siapa yang sedang berlari kecil mendekati nya dalam sekejap.
Raya tersenyum lebar. "Daniel!"
Dada Bintang berpacu berlomba dengan pergerakan napas nya, begitu mendengar nama itu. Daniel, nama itu sudah Bintang hapal diluar kepala.
Puluhan pertanyaan kini mulai menghinggapi hati nya. Pertanyaan-pertanyaan yang mengundang kecemasan, sebuah kecemasan yang akhirnya membuat Bintang takut akan sebuah kehilangan.
Perasaan yang sama, persis seperti yang Raya takutkan dan rasakan dua puluh tahun lalu.
"Hei, big baby.." Ucap Daniel setelah memeluk erat Raya, didepan Bintang.
Raya tersenyum kaku, benar-benar situasi yang rumit.
"Kok kamu bisa kesini?" tanya Raya.
"Tadi aku ke Panti, terus dikasih tau Bunda Mutia kalo sekarang kamu ada jadwal sidang disini." Jawab Daniel, dengan bahasa Indonesia nya yang fasih.
Laki-laki blesteran itu memang sudah cukup menguasai beberapa bahasa dengan fasih, termasuk Bahasa Indonesia. Pandangan Daniel mengarah ke Bintang, lalu menatap Raya penuh tanda tanya.
Raya menatap Bintang, lalu tersenyum canggung. "Daniel, dia Bintang. Bintang, dia Daniel."
"Daniel." Tangan Daniel terulur, dan Bintang membalas tangan Daniel ragu.
"Bintang."
"Bintang? Star? really nice name, bro." Daniel tersenyum ramah.
"Terima kasih," Balas Bintang, tersenyum singkat. "Raya, Daniel, aku pergu duluan ya."
Raya menghembuskan napas lega, lalu mengangguk. Suasana yang runyam dan canggung, bila Bintang terus ada disini.
Jujur, Raya masih rindu dengan Bintang. Rindu dengan segala tentang Bintang, tapi sayangnya Bintang terlambat untuk melangkah lebih dahulu. Karena sekarang, Raya lebih memilih Daniel.
"Dan, kamu nggak mau kerumah?" tanya Raya, lalu menarik lengan Daniel untuk berjalan beriringan menjauhi tempat ini.
Sedangkan Bintang sedang berusaha memperlambat langkahnya, demi mendengar percakapan antara Raya dengan Daniel dibelakangnya.
"No, kita ke tempat Bunda aja langsung. Aku kesini kan mau ketemu sama Beliau."
"Kan bisa nanti malam, Kamu nggak capek?"
Daniel menggeleng, tersenyum. "Nanti aku malah capek kalo nggak cepet-cepet kasih tau ke Bunda, buat nikahin kamu."
Deg
Hampir saja Bintang hendak menoleh kebelakang lalu meminta Daniel mengulang ucapannya, untuk sekedar memastikan pendengarannya.
Detik itu juga, lututnya melemas. Dan sekarang, Bintang tahu bahwa ia sudah kehilangan Raya.
Perempuan yang selalu mengusik otaknya, yang selalu membuatnya semangat untuk mencari tahu segala hal tentang Raya diinternet, kini telah pergi bersama dengan orang lain.
Bintang tersenyum, miris. Mungkin karena itu, Raya menolak hadiah dari nya.
"Nggak nyambung, tau!"
Dada Bintang berdesir hebat, ketika mendengar kekehan Raya. Ada perasaan tidak rela, ketika Raya tertawa bukan karena dan kepada nya. Tetapi karena orang lain, calon Suaminya.
"Eh, lucu tau kalo kita nikah. Pasangan yang sama-sama berprofesi sebagai pengacara menikah. Tuh, kan! Lucu nggak?"
"Apa, sih? Biasa aja."
"Shmily,"
"Hh? Apaan?"
"See how much, i love you."
"Hahaha.."
...
•••
"Papa!" desis Raya tidak percaya, air mata nya menetes deras. Tangan nya terulur untuk meraih jeruji besi didepannya, tangan Raya menggenggam erat batangan besi yang menjadi pembatas antara ia dan Sang Papa.
Pemandangan yang begitu menggetarkan hati Raya, gadis itu menangis sesenggukan ketika melihat seorang laki-laki tua sedang memeluk dirinya sendiri, menatap sekelilingnya lalu berteriak ketakutan.
Sesekali Pria yang disebut Papa oleh Raya itu tertawa-tawa sendirian. Namun dalam hitungan detik, kembali menangis.
Apalagi ketika Raya memanggilnya beberapa kali.
"Hei, sweety.. Jangan nangis, Papa pasti baik-baik aja." Daniel menyentuh kedua bahu Raya dari belakang, menenangkan Gadis nya yang sedang terpukul.
Raya menggeleng, "Maafin Raya, Pa.."
"Ini bukan salah kamu, Sweety. Kamu udah melakukan hal yang benar."
"Aku nggak tahu.." Raya kemudian berbalik, memeluk Daniel erat. Menumpahkan segala kesedihannya, berharap seseorang akan mengerti dengan perasaannya. "Aku nggak tahu kalau Papa adalah Pak Candra, orang yang sama dengan orang yang udah aku tuntut atas kasus nya Pak Pramana. Aku nuntut Papa kandung aku sendiri, Dan!"
Daniel meletakkan dagunya ke pucuk kepala Raya, tangannya mengelus punggung Raya lembut. "Kamu pernah bilang kalo tujuan kamu jadi pengacara, supaya kamu bisa memberikan keadilan bagi semua orang. Right?"
"Apa aku jahat, Dan?"
"Enggak, ini udah takdir. Jangan pernah salahin diri sendiri, Ray."
Raya melepaskan pelukannya, lalu kembali menatap Candra yang masih tertawa-tawa sendirian. Air mata Raya kembali tumpah, hatinya seperti dipukul oleh ribuan palu hingga tidak berbentuk lagi.
Bahkan Raya baru tahu kalau nama Papa nya adalah Candra.
Raya baru tahu tadi pagi ketika petugas kepolisian menyerahkan data Candra kepada Raya, si penuntut kepada terdakwa.
"Dan, aku nggak tahu harus bersikap gimana ke Papa.." Cicit Raya perlahan. "Setelah aku juga tahu, bahwa Papa yang menjadi alasan Mama pergi."
Kembali tangisan Raya pecah, wajahnya memerah. Dada nya sesak, ia sudah cukup lama menangis sampai matanya membengkak.
Pagi ini, Raya mulai kembali rapuh. Luka yang selalu ia timbun agar tidak terus menguak kini kembali menganga, dan semakin membuat hatinya sakit.
"Kamu nggak sendirian, aku disini."
•••
"APA YANG UDAH KAMU LAKUIN KE DIA?!"
Seorang wanita muda menangis ketakutan, sambil berpegangan pada pilar rumah didekatnya. Seluruh tubuhnya lemas, dan perutnya terasa mual melihat sesuatu didepannya.
Karin, Wanita yang masih berstatus sebagai Isteri dari seorang Ananda Candra itu menutup mulutnya, menahan suara tangisannya.
"Iblis!!" Teriak Karin. Keseimbangannya jatuh, ia terduduk begitu saja diatas lantai keramik yang dingin. "Aku udah lapor polisi, sekarang kamu harus tanggung jawab, Jahanam!"
Candra menjatuhkan Sebilah Pisau daging dari tangannya yang berlumuran darah hingga menimbulkan suara nyaring, lalu menarik rambutnya kebingungan. "A-aku.."
"Kamu udah selingkuh! Bahkan sekarang kamu kembali berulah dengan membunuh selingkuhan kamu!"
"Diam kamu!!" Candra berteriak frustasi. "Aku nggak sengaja, aku nggak sengaja bunuh Desi!"
Karin bergetar hebat ketika bayangan penikaman Desi berputar dibenaknya. Wanita itu menangis sejadi-jadinya, lalu kembali menyalahkan Candra.
"Kamu nggak waras! Kamu harus tanggung jawab!"
Candra terkejut, lalu ketakutan. Ia mendekati Karin, hingga wanita itu memcoba menghindar. Candra menggeleng, "Jangan gitu, Karin. Aku bunuh dia--demi kamu. Aku nggak mau ada dia lagi, tapi dia tetap maksa aku buat nikahin dia."
Karin benar-benar ketakutan ketika Candra semakin mendekatinya. Ia menghindar, berlari singkat--sebelum akhirnya Candra mendorongnya jatuh, tepat disamping mayat seorang wanita yang sudah kaku dengan luka tusukan diperutnya.
Candra menggeleng, lalu menatap Karin sedih. "Kamu juga harus mati kalau begitu, maafin aku.."
Baru saja Candra ingin membungkuk meraih pisau daging yang tadi sudah digunakan untuk menikam Desi, Karin sudah meraihnya lebih dahulu.
Napas Karin memburu, ia mengacungkan sebilah pisau itu kearah Candra untuk menjaga dirinya. "JANGAN MENDEKAT!"
Candra sedikit mundur begitu tahu ancaman yang ia dapatkan.
"Mamaaa! Mamaa! Buka pintunya, Maa!"
"Mamaa! Raya mau keluar!"
"Mama!"
"Papaa! Tolong Raya, Pa!"
Keheningan diantara Candra dan Karin membuat suara teriakan Raya dari dalam kamar terdengar jelas.
Seketika Candra tersenyum iblis, ia menemukan mainan baru nya. "Jatuhkan pisau itu atau saya bakal jual Raya!"
"Candra Biadab! Dia anak kamu!!"
"Aku nggak perduli!"
Detik selanjutnya adalah ketika dari luar, terdengar letupan senjata api. Para polisi berjaket kulit yang membawa pistol itu bergegas masuk dari segala pintu dirumah itu untuk mencegah pelaku kabur.
"Angkat tangan semuanya!"
Candra terkejut, tetapi ia mencoba untuk tenang. "Tangkap isteri saya itu, pak! Dia nggak waras! Dia udah bunuh Desi, dia cemburu sama Desi!"
Karin berdiri, menjatuhkan pisau dari tangannya. Dada nya mencelos ketika Candra menuduhnya seperti itu, ia menggeleng cepat. "Saya nggak salah!! Dia yang bunuh Desi!"
"Saya nggak salah! Kenapa tangan saya diborgol?!"
"Lepasin!!"
...
•••
"Bewail something?"
Raya tidak menoleh barang sedikitpun meskipun ia tahu, Daniel sedang bertanya kepadanya. Tetapi untuk menanggapi pertanyaan Daniel, Raya akhirnya memilih mengangguk singkat seraya tersenyum tipis.
Daniel menarik kursi disamping Raya, lalu duduk sambil menopang dagunya. Sesekali Daniel melirik Raya lewat ekor matanya.
"Eh, Bintang temen kamu yang waktu itu.. Ganteng ya?"
Iseng, sebenarnya Daniel cuma iseng untuk sekedar mengundang pembicaraan antara ia dan Raya. Tapi seperti nya Raya menjadi sensitif akhir-akhir ini, ia menoleh sedetik dengan tatapan judes.
Setiap kali mendengar nama Bintang, ia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Waktu dimana Bintang mengutarakan perasaannya, selalu terbayang dan sukar untuk dilupakan. Raya tahu, seharusnya ia tidak boleh terlalu sering memikirkan laki-laki lain. Sekarang ini, Daniel sudah menjadi pelengkap hidupnya.
"Diem terus, aku dicuekin." Daniel terkekeh, setengah menyindir Raya. "Oke, aku mau balik ke Austra--"
"Kamu pergi, aku ikut." Sela Raya cepat, tanpa menoleh.
"So sweet,"
"Aku.. Serius." Kali ini Raya вenar-вenar menoleh kearah lawan bicara nya. Daniel menggeser kursinya lebih dekat dengan Raya, sampai kursi kayu jati yang kedua nya duduki menempel. Raya menghela napas panjang, menyandarkan kepala nya ke bahu Daniel. Meskipun kepala Raya tidak benar-benar sampai ke bahu Daniel, hanya menempel dilengan atas Laki-laki blesteran itu. "Aku rasa, Jakarta udah bikin aku nggak nyaman. Terlalu banyak masalah yang bikin aku--Daniel, setelah ini kita balik ya?"
Tangan Daniel terulur, menyentuh pucuk kepala Raya lembut. "Sweety, Aku nggak akan bawa kamu pergi dari sini. Aku tahu, ada masalah yang belum kamu selesaikan."
"Hh?" Raya menegakkan tubuhnya, menatap Daniel dengan sebelah alis terangkat. "... Maksud kamu?"
"I know you've problem and i believe, you can accomplish that."
Raya mengerjapkan matanya, lalu menegang. Apa tadi? Daniel memang terlalu pintar untuk Raya, laki-laki itu selalu tahu Raya. Raya tidak bisa sedikitpun menyembunyikan sesuatu kepada Daniel.
Entah karena Raya yang terlalu ceroboh hingga gelagatnya begitu kentara, atau Karena Daniel yang terlalu cerdas.
"Kamu ngomong apa, sih? Aku kan udah selesaiin semua masalah nya, tentang Sidang Pak Pramana dan Papa." Jelas Raya, seraya menyelipkan sejumput anak rambut yang mengganggu kebelakang telinga nya.
"Gimana sama Bintang?" Daniel menyeringai ringan, memicingkan mata kearah Raya.
Deg
Raya menahan napas sejenak, kemudian mengalihkan mata nya untuk mengakhiri kontak mata yang terlalu berkepanjangan dengan Daniel. Raya mengatur napasnya, mencoba untuk mengendalikan detak jantung nya yang seperti semakin memompa darahnya lebih cepat.
Raya lalu tertawa kecil, menanggapi Daniel. "Kamu aneh, deh. Apaan, sih? Kok bawa-bawa Bintang?"
"Hei," Desis Daniel lembut. "Kalo ngomong lihat orangnya."
Raya menunduk, menoleh perlahan hingga kedua bola mata cokelat almond milik Daniel mengunci tatapan Raya. Sialan, Raya tidak bisa berkutik atau berpaling.
"Tadi aku nggak sengaja ketemu sama Bintang, dia menjelaskan semua nya tentang kamu."
"Semua? Tentang apa? Bintang ngomong apa? Kapan? Kok aku nggak ta--"
"--i." Daniel tertawa menyambung kata Raya. "Ya kan aku nggak terus bareng sama kamu, sweety. Aku dari tempatnya Bunda Mutia, terus kesini."
"Bintang ngomong.. apa?" bahkan Raya ragu bertanya seperti itu, ia tidak berani melihat wajah Daniel.
"Nggak banyak, nothing."
"Serius!"
"Iya, aku serius."
"Daniel!"
"Apa?"
Raya menghembuskan napas jengah, "Kamu belum jawab!"
"Jawab apa?"
"Pertanyaan aku!"
"Iya, pertanyaan yang mana?"
Siapapun tahu, Daniel sedang berpura-pura tidak tahu. Raya mendengus kesal. "Bintang ngomong apa aja sama kamu?"
"Yakin mau denger?"
Raya membungkam, Yakin apa enggak yaa?
"Katanya, Kamu cantik."
Blush. Pipi Raya merona, memanas mendengar rayuan Daniel. Bahkan perutnya seakan dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu yang beterbangan kesana kemari (Dan tertawa#plak!).
Raya kesal, seperti dipermainkan. Tapi anehnya, ia tidak bisa menahan senyumannya. Meskipun Raya tahu, Daniel sedang berbohong untuk menutupi sesuatu.
Daniel pasti tahu hal yang lebih.
"Laper jadinya."
"Baper kali." Celetuk Daniel.
"Kamu nggak marah?" tanya Raya, tiba-tiba setelah suasana antara mereka kembali hening. "Aku yakin, Bintang pasti ngomong yang aneh-aneh."
Daniel menarik pipi Raya gemas, mencibir jahil. "Sok tau. Nggak aneh, kok. Wajar-wajar aja."
"Wajar kenapa?"
"Wajar aja kalo dia suka kamu," Kata Daniel santai. "Kamu kan unik, sempurna. Dan dia iri banget pasti sama aku."
Raya memalingkan wajahnya kearah lain, menahan rona dikedua pipinya dan menahan senyuman nya. Ia lalu menoleh singkat kearah Daniel, "Apa, sih? Udah tau akhir-akhir ini aku baperan."
"Akhir-akhir ini? Padahal udah dari dulu."
"Dih, sok tau."
"Emang tau!" terakhir Daniel bangkit dari kursinya, memencet hidung Raya gemas lalu membungkuk hingga dagu nya menempel ke bahu Raya dari arah belakang. "Aku harap semua akan baik-baik aja."
•••
"Kamu ngomong apa ke Daniel?" tanya Raya kesal, bersedekap dada.
Bintang menatap Raya datar, lalu meletakkan secangkir teh madu ke meja tanpa menjawab pertanyaan Raya yang tidak penting menurutnya.
Sore ini, Raya memyempatkan diri untuk sekedar singgah ke kediaman keluarga Pramana. Maksud kedatangannya hanya sekedar bersilaturahmi juga pamit karena minggu ini, Raya akan kembali ke negara kelahiran Daniel. Sebenarnya Daniel kurang setuju dengan keputusan Raya, tetapi gadis itu terus memaksa.
"Bintang, denger aku?" tanya Raya sarkastik.
"Denger." Bintang duduk di sofa berhadapan yang menjadikan meja sebagai penengah antara ia dan Raya. "Tapi kamu juga denger aku, nggak?"
"Apa?"
"Sekarang ini didalam hati aku bilang; Aku suka Raya. Aku suka Raya. Tapi Kamu nggak mau denger, menurut kamu adil?"
Raya menelan ludah nya susah payah, menghela napas panjang dengan tatapan sulit diartikan. Gadis itu memutuskan untuk diam, sesekali matanya bergerak menyapu pandangan ke sekelilingnya. Rumah yang terlalu sepi.
"Kamu beneran mau nikah?" tanya Bintang, tersenyum miris.
Bintang menahan sesuatu yang menghujam dada nya keras-keras. Pertanyaan yang sebenarnya tidak begitu memerlukan jawaban. Pertanyaan bodoh yang hanya membuat Bintang jatuh semakin dalam.
Seperkian detik, Bintang menjadi menyesal bertanya seperti itu. Ia belum siap mendengar jawaban Raya.
"Kadang aku heran aja," Gumam Raya pelan, tapi masih bisa didengar oleh Bintang. "Kamu tuh udah tahu suka sama aku, tapi ngasih pertanyaan yang cuma bikin kamu sakit hati. Gimana kalo aku jawab, iya?"
"Yaa, terserah."
Raya bukan nya jahat, atau tidak memiliki perasaan. Hanya saja sesekali Raya harus bersikap tegas agar Bintang tidak terus terjebak di dalam zona nya, Bintang harus bangkit dan berdiri. Raya mau Bintang melupakan nya.
Akan menyakitkan bila seseorang terus mengharapkan sesuatu yang telah pergi, dan Raya tidak mau Bintang menjadi salah satunya.
"Padahal," Bintang menarik napas dalam-dalam. "Aku udah pede banget, ngiranya kalo kamu juga punya perasaan yang sama."
Bodoh, dan kamu mulai ragu buat percaya sama perkiraan kamu?
Raya meringis, "Dan sekarang kamu mulai nggak pede?"
"Enggak, belum. Aku masih pede."
"Jadi kamu masih beranggapan kalo aku juga suka kamu?"
Bintang tersenyum teduh, memamerkan sederet gigi-gigi rapi nya. "Emang boleh?"
"Boleh, silahkan."
Bintang tertawa kecil, lalu mengacak rambutnya hingga berantakan. Sesekali ia menatap kearah lain, mencoba menghindar kontak mata langsung dengan Raya.
Bukan apa-apa, Bintang hanya berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Ia tidak mau semakin terjebak didalam cinta ekspetasi nya, karena Raya tidak begitu terlalu menaruh harapan kepadanya seperti ia menaruh harapan banyak-banyak terhadap Raya.
"Kenapa kesini? Tumben? Kemana Daniel?" tanya Bintang, mengalihkan obrolan yang mulai tidak nyaman.
"Oh, iya. Pak Pramana ada nggak?"
"Ada, sih." Jawab Bintang. "Tadinya. Barusan pergi ke kantor, ngurus perusahaan yang bentar lagi bangkrut."
Bintang tertawa miris, "Jadi gini akhirnya, hidup emang kayak roda yang berputar. Sekarang kamu malah diatas dan aku sama Papa dibawah."
"Kok kamu bisa nyimpulin gitu, sih? Jangan pernah percaya kalo hidup kamu ada dibawah, terkadang kita perlu pede."
"Tau'ah, Papa kena azab kali!"
Raya melotot, menginterupsi. "Mulutnya."
"Oh iya, Maaf aku baru tahu kalo Pak Candra itu sebenernya--"
"Iya, aku nggak lagi mau bahas itu."
"Its Okay. Aku ngerti."
Bintang memperbaiki posisi duduknya, mencari yang lebih nyaman. Meski sekeras apapun ia mencari posisi duduk yang nyaman, Hatinya selalu berdebar tidak karuan setiap Raya ada didekatnya.
Kedua mata Raya terarah ke cangkir cantik berwarna putih didepannya. Kemudian ia tertarik untuk meraih nya.
"Aku kesini mau pamit aja, sih. Mau ke balik," Raya kembali meletakkan cangkir teh diatas meja.
"Balik kemana?"
"Australi," jawab Raya singkat.
Bintang terdiam memikirkan sesuatu, lalu menatap Raya penuh sesal. "Alasannya karena aku?"
Mungkin Iya.
"Ng--nggak tau," Kepala Raya menunduk dalam-dalam, setelah memperlihatkan senyuman tipisnya.
Bintang menghela napas panjang, hati nya sakit. Bahkan Raya segitu niatnya untuk pergi hanya untuk menjauhi nya.
"Aku pikir kamu gak suka aku," Sahut Bintang singkat.
"... Maksudnya?"
"Aku jadi yakin sama perkiraan aku kalo kamu emamg punya perasaan yang sama kayak aku."
Raya mengerjap, tidak mengerti. "Aku--"
"Kalo kamu emang nggak suka aku, nggak punya perasaan apapun, kamu nggak mungkin segitunya niat buat mencoba pergi. Masuk akal?" Bintang tersenyum sinis.
Sekali lagi Raya membeku ditempatnya, terpaku tanpa menggerakkan badannya. Ah, sial. Apa gelagat dan keputusannya begitu kentara?
"Sekarang impas kan?" tanya Raya setelah lama beradu dengan argumen dikepalanya. "Kamu nggak sakit sendirian, kamu nggak berjuang buat melupakan seseorang sendirian. Karena ada aku, yang akhirnya ketahuan juga suka kamu."
".. Yaa, mungkin impas. Tapi kalo aku boleh pilih, lebih baik kamu nggak suka aku. Patah hati ini cuma punya aku, kamu jangan ikut campur." Kata Bintang, tersenyum tulus.
Raya tertawa, "Andai bisa."
*END*
_Cerita didedikasikan untuk kamu yang pernah hadir meski bukan menjadi teman hidupku, Bintang._
Tidak ada komentar:
Posting Komentar