Chapter 3
Kota Jakarta dijalan raya umum sama seperti keadaan biasanya, ramai, macet dan panas. Tidak sedikit orang-orang pekendara yang akhirnya membunyikan bel kendaraan masing-masing dengan nyaring sesekali mengumpat kesal. Tetapi suara nyaring bel kendaraan yang saling bersahutan di Ibu Kota tersebut tidak berpengaruh sama sekali. Beberapa hanya menoleh sedetik, lalu kembali fokus.
Kemacetan dan lampu lalu lintas yang sering menunjukkan angka besar berwarna merah itu membuat sekumpulan anak-anak kecil kumuh yang ada dipinggiran jalan raya memulai aksi nya dengan melakukan apa saja; membersihkan kaca mobil, menjual air dan tisu, mengamen dan pekerjaan khas anak jalanan yang biasa mereka kerjakan.
Hal itu membuat pengguna jalan raya semakin depresi dan stres, apalagi kepada para pengamen cilik yang asyik seolah acuh menanggapi gerutuan pengendara. Kadangkala, orang-orang memberi bukan dari hati yang ikhlas. Tapi supaya mereka tidak terus mengganggu dan berisik.
Itu tidak benar, bahkan ada beberapa yang malah mencaci tanpa memberikan sekeping rupiah pun.
Mereka bukannya tidak tahu, mereka sangat sadar melakukan nya. Hanya saja mereka sedang tidak perduli.
Dipinggir ruko-ruko yang sudah bobrok, Raya memaksa kaki nya yang sudah mati rasa untuk tetap melangkah. Sekarung sampah yang memiliki nilai jual bertengger dibahunya. Tanpa ampun, beban karung itu membuat Raya sedikit membungkukkan badannya.
Ini sudah sore menjelang malam, biasanya Raya sudah sampai kerumah. Tetapi ini lain, Raya malah enggan cepat-cepat pulang, saat sadar bahwa kini ia tinggal sendirian. Setiap ia membuka pintu dan mencuci kaki, ia selalu sedih melihat dipan kamar nya yang kini terlihat lebih luas tanpa ada patung boneka kayu yang ia sebut sebagai Mama nya.
Raya bahkan bingung, ia tidak bisa hidup sendirian. Tetangga nya saja sudah tidak ada yang perduli lagi dengannya. Bahkan untuk membeli sesuatu diwarung biasa nya seperti beras saja, Raya tidak diperbolehkan oleh mereka. Ia tahu, Raya tidak boleh menyerah.
Raya memgamati jalanan yang ramai, ia melihat beberapa anak yang sedang duduk diemperan ruko tidak terawat sambil menenggadahkan tangannya. Raya menahan nafas, begitu melihat seorang pejalan kaki yang dimintai uang oleh salah seorang pengemis itu marah lalu menendang anak laki-laki kurus kering itu.
Raya tertegun, ia tidak melihat seorangpun yang bersimpati dengan anak laki-laki malang tersebut. Mereka seolah sudah tidak memiliki hati, bahkan ketika pria dewasa yang menendang pengemis kecil itu meludah sebelum pergi.
Anak bertubuh kurus itu menatap wadah plastik tempat uangnya yang kosong dengan tatapan sedih, lalu kembali ke posisinya dengan tangan menenggadah.
Entah apa yang Raya pikirkan, gadis kecil itu malah berlari cepat dari tempat itu. Kaki kecilnya mengelak dari beberapa pejalan kaki yang sesekali memyumpah serapahkan Raya ketika gadis itu tidak sengaja menabraknya.
Bahkab Raya tidak meminta maaf saat pria berkemeja rapih yang sedang berjalan sembari memainkan ponsel terjatuh karena ia tabrak. Raya mendesis, manusia seperti mereka tidak perlu dihormati. Mereka yang selalu menuntut suara keadilan tetapi tidak pernah memberikan keadilan sekecil apapun kepada orang bawahan yang meratap akan kemanusiaan.
Raya terus berlari hingga ia membelokkan langkahnya kedalam gang sempit. Tercium nya bau sampah yang sudah menjadi bagian hidupnya, langkah Raya dipercepat ketika pandangan nya melihat sebuah tempat bangunan seperti pos kecil yang penuh dengan tumpukan botol, kertas dan kardus bekas. Ditengahnya ada sebuah alat timbangan besi berkarat.
"Nduk, piye toh kerjaan? Lancar?"
Baru saja Raya sampai, ia sudah disapa ramah oleh Juragan Faisal. Pria yang terkenal ramah tetapi perhitungan itu memiliki tiga orang isteri, dan memiliki dua anak tiap ketiga isterinya. Wajar saja, ditempat kumuh itu, Juragan Faisal memang terlihat paling lumayan dengan usaha pengepulan barang bekas.
Raya tersenyum. Satu-satunya orang yang bisa mengerti Raya adalah Juragan Faisal, pria itu bahkan sering memberi tips untuk Raya. Meski tidak banyak, dan hanya ketika Raya berhasil mengumpulkan barang-barang banyak.
Raya menurunkan karung nya dari pundak, lalu menggeretnya keatas timbangan besi. "Baik-baik aja, Juragan. Tadi Raya ngumpulinnya banyak banget, dari pagi sampe sore."
"Oalah, nduk. Kok tumben?" tanya nya akrab, lalu mulai menimbang beban karung milik Raya dengan teliti.
"Ndak apa-apa, Juragan. Supaya Raya punya banyak uang, terus bisa sekolah. Nanti kalau Raya udah gede, Raya janji bakal bangunin Juragan gedungan yang bagus ya biar nggak bau sampah terus disini." Celoteh Raya semangat.
Juragan Faisal tertawa, memangut. "Muga-muga, ya.. Juragan doain supaya kamu sukses nanti gedenya."
Raya tidak menjawab, hanya mengangguk sedikit. Ia mengamati Juragan Faisal yang sedang mengatur timbangan nya.
Pria itu berdecak kagum, lalu memanggil anak buahnya yang lain. "Mir, Amir! Cepet kesini bentar!"
Laki-laki bertubuh jakung yang merasa dipanggil menoleh dari tempat nya yang tidak jauh, "Ana apa, toh? Saya mau dikasih bonus, ya?"
"Bonus, ndasmu!" Gerutu Juragan Faisal. "Cepetan kesini!"
Amir berlari kecil mendekati Juragan Faisal sebelum pria itu memarahinya habis lalu memotong upahnya seperti minggu kemarin.
"Tuh, angkat punya bocah ini kedalam." Perintah Juragan Faisal, seraya mengeluarkan sebuah amplop putih dari saku celana nya.
"Iya, Juragan." Alih-alih Amir memikul karung milik Raya kebahunya lalu menatap Juragan Faisal dengan mata berbinar. "Buat saya itu, teh?"
Juragan Faisal mendelik, "Saya pot--"
"Iya, iya, juragan!" Amir ngacir dari tempat itu.
Raya tertawa geli, bahagia memang sesederhana itu. Ditempat kumuh penuh sampah itu, Raya baru menemukan sebuah arti keluarga.
Juragan Faisal menyodorkan lembaran uang lima belas ribu kearah Raya, "Ini upah mu, nduk."
"Makasih, juragan." Raya menerima uang itu dengan sukacita, memamerkan senyuman manisnya.
Kemudian Juragan Faisal mengulurkan selembar uang sepuluh ribu rupiah kearah Raya, tersenyum hangat. "Tuh, bonus nya. Tetep rajin, ya. Terus kalo udah gede nanti, beneran buatin Juragan gedongan, ya!"
"Kok gede banget, Juragan? biasanya bonusnya kan lima ribu?" tanya Raya bingung.
"Ndak apa, lima ribu nya itu buat nabung biar Raya bisa beli buku."
"Beneran, juragan?" Raya tersenyum lebar.
"Iya, tapi besok tetep rajin ya!"
"Iya, Juragan! Raya pergi dulu, ya? Daah!"
•••
"Kamu ngapain beli nasi 5 bungkus? Buat siapa aja?" Iseng, Teh Winda bertanya sambil memasukkan sepotong tempe kecil dan sambal kedalam kertas mika pembungkus nasi dengan cekatan.
"Buat mereka, Teh!" Tunjuk Raya semangat dengan gerakan dagu nya.
"Mereka siapa?"
Kali ini Raya menunjuk kearah emperan toko yang dipenuhi anak-anak pengemis dengan tangan kanan nya, "Yang ada disana, Teh."
"Duh, gimana sih kamu? Ngapain juga kamu repot-repot ngasih makan mereka, buat diri sendiri aja susah!" Omel Teh Winda, seraya menghembuskan napas kasar. "Teteh, tuh kasian sama kamu. Mendingan uangnya disimpen. Kerja keras mulung dari pagi, emangnya nggak capek?"
"Capek, Raya capek!" Jawab Raya ceria. "Tapi Raya seneng!"
Teh Winda menyambar sebuah plastik tipis dari laci atas lalu memasukan satu persatu bungkusan nasi kedalam plastik transparan itu. "Emangnya dapet bonus berapa dari juragan, heh?"
"Banyak, sih." Jawab Raya. "Tapi kalaupun Raya nggak dapet bonus nggak apa-apa. Raya ngasih makan ke mereka bukan karena Raya lagi banyak duit, tapi karena Raya peduli."
Teh Winda mencibir Raya, "Alah, sok kamu. Yaudah, nih! Udah Teteh tambahin tahu juga buat kamu. Teteh juga ngasih kamu lauk tambahan bukan karena dagangan Teteh masih banyak karena nggak laku, ya. Tapi karena Teteh peduli."
Raya tertawa, "Iya, iya. Berapa, teh?"
"Masih sama, lima ribuan. Jadi dua puluh lima ribu." Jawab nya. "Ada nggak duitnya? Kalo enggak, nggak apa-apa biar nasi nya nggak jadi aja."
"Nggak, kok. Ini Raya ada, makasih ya!"
•••
"Eh, ini beneran buat aku?" tanya seorang anak laki-laki bertubuh kurus kering, yang Raya lihat tadi dengan wajah berseri gembira.
Raya mengangguk, tersenyum tipis. "Raya masih punya lagi."
"Makasih, Raya!" Ucap nya tanpa ragu, sambil menerima sebungkus nasi yang masih hangat.
"Nama kamu siapa?" tanya Raya.
"Beni,"
Raya lalu berjalan mendekati tiga anak laki-laki yang umurnya lebih tua darinya, lalu membagikan bungkusan nasi dari kantung plastik ditangannya.
Mereka menatap Raya bingung, meskipun tangan-tangan kusam mereka menengadah, menerima pemberian Raya tanpa pikir panjang.
Raya berjongkok, ikut duduk melingkar. "Benii! Ayo makan sama-sama disini!"
Raya melambaikan tangannya, membuat Beni sedikit terkejut ketika namanya dipanggil. Itulah Raya, gadis kecil yang mudah berdapatasi dilingkungan baru atau teman baru.
Beni ragu-ragu mendekati Raya, lalu duduk disamping Raya dengan kaku.
"Nah, yuk makan sama-sama!" Raya memandu mereka, sambil membuka karet gelang yang menjadi penahan bungkusan nasi tersebut. Disusul mereka yang kemudian terlihat semangat membuka bungkusan nasi dari Raya. "Eh, baca doa dulu!"
Keempat teman barunya itu menghentikan gerakannya, saat Raya berteriak menahan keinginan mereka untuk menyantap makanan didepannya. Beberapa menggaruk tengkuknya, lalu meringis.
Tentu saja, ini kali pertama mereka membaca doa sebelum makan. Dan mereka belum bisa berdoa.
Raya mengangkat kedua tangannya, memejamkan mata dengan bibir berkomat-kamit. Tidak lama, gadis kecil itu mengusapkan telapak tangannya ke wajah sambil berkata 'Aamiin'.
Keempat teman baru nya saling menoleh, lalu ikut menenggadahkan kedua tangannya. Mereka serempak mengikuti cara Raya berdoa, meskipun mereka tidak tahu apa yang Raya komat-kamitkan tadi. Mereka hanya menggerakkan bibir saja, tanpa benar-benar mengatakan apa-apa dalam hati.
"Aamiin," Mereka semua tertawa, lalu mulai memasukkan sejumput nasi beserta potongan kecil tahu kedalam mulut dengan gerakan cepat, sampai nasi berceceran dimana-mana.
"Ih, Beni jorok! Kalo nasi nya udah jatoh jangan diambil lagi!" Kata Raya, membuat semua mata mengarah ke Beni yang malah sedang menyengir kuda.
Fikri, Anak laki-laki bertubuh jakung yang paling tinggi diantara mereka tampak tertawa melihat Beni. "Lu tuh kalo makan jan malu-maluin ngapa sih, Ben. Sampe kececeran diaspal, noh!"
"Eh, Kamu juga kececeran." Beni bersuara tidak mau kalah. "Tio sama Edi juga,"
"Eh, jangan dibuang-buang nasi nya. Kasian nanti nangis, loh!" Sungut Raya menengahi.
Fikri, Tio dan Edo saling melempar tatapan aneh. Kemudian tertawa, "Masa iya nasi bisa nangis,"
"Kata Mama Raya, nanti nasi nya bakal nuntut kamu di Akhirat. Makanya jangan dibuang-buang," Jelas Raya, lalu menggigit ujung lancip potongan tempe yang sudah dilumuri sambal.
Mereka semua memangut-mangut, ber-ooh ringan.
"Berarti bener, kan? Biar nggak nangis, nasinya Beni makan meskipun udah kotor." Ujar Beni bangga.
"Nggak, tau. Nasi yang kotor juga nggak boleh dimakan." Sanggah Raya cepat.
Hidup sendirian dikondisi tercekik seperti ini lah yang menjadi alasan Raya tumbuh dewasa lebih cepat. Didetik yang sama, ada puluhan anak yang bahkan lebih tua daripada Raya, tetapi masih sedang asyik bermain ditengah-tengah keluarganya.
Raya tidak pernah menyesali itu, ia sangat mensyukuri apapun kehidupannya. Sebab diluaran sana mungkin banyak yang sedang mengemudikan lamborgini, memakai setelan jas dan gaun mewah dan sebagainya. Tapi Raya yakin, masih terhitung diantara mereka yang perduli satu antara lainnya.
Beni mengangkat alisnya, "Kenapa?"
"Nanti sakit peruuut!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar