Chapter 4
Kebahagiaan bagi Raya memang sederhana, bisa melihat orang lain bahagia dan tertawa disituasi terperih. Seperti kebahagiaan Beni, Tio, Edo dan Fikri yang terlihat bahagia dengan sebungkus nasi murah seharga lima ribu rupiah tanpa berpikir panjang, tentang bagaimana cara mereka menyambung hidup besok atau lusa.
Mungkin bagi kebanyakan orang-orang diluaran sana, uang lima ribu rupiah bukan arti apa-apa. Tetapi bagi Raya, nilai itu cukup besar. Raya harus berjalan, berpetualang mencari sampah sesekali mengenalkan diri kepada dunia, bahwa ia adalah calon sosok yang bisa sangat berpengaruh bagi negara ini. Raya yakin, ia akan menggenggam negara ini dengan mudah.
"T-tolong..,"
Raya menghentikan langkahnya, saat kedua telinganya mendengar suara seperti rintihan dari jarak dekat. Karung bekas beras dipunggungnya, ia letakkan ditanah. Kepala Raya memutar 180°, untuk mencari sumber suara yang mengganggu pendengarannya.
Tapi ia tidak melihat sesuatu yang mengganjal dijalan umum ini. Hanya suara bising kepadatan kendaraan yang saling meraung-meraung sesekali membunyikan lengkingan bel kendaraan masing-masing.
Tadi itu apa? Batin Raya bingung.
"Tol..ong.."
Kali ini Raya melangkah maju dengan berani, mengikuti arah suara. Kepalanya tertoleh kesekeliling, mengamati keadaan jalan yang semakin bising.
Langkah Raya semakin dekat, dan suara rintihan itu semakin jelas ditelinga nya. Dan semakin kesini, Raya yakin kalau ada sesuatu didalam selokan yang sudah mengering akibat kemarau panjang dijakarta ini.
Raya tertegun, melihat seorang anak laki-laki seumurannya sedang terjatuh didalam selokan kering itu. Selokan yang cukup tinggi, lebih dari sebatas pinggul orang dewasa itu membuat kepala anak itu tidak kelihatan sama sekali.
Raya meletakkan asal karung yang hampir penuh itu keaspal, lalu berjongkok. "Hei, ngapain disitu?! Ayo naik, Raya bantu!"
Anak laki-laki itu menoleh keatas, lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Aku nggak bisa sampe ke luar."
"Ya udah, sini pegangan sama tangan Raya!"
Perlahan, sangat perlahan dengan tangan gemetaran. Kedua pasang tangan dengan warna kulit yang mencolok kontras tersebut berkaitan, saling menggenggam.
Raya menarik tangan lembut berkulit putih yang ia genggam erat dengan susah payah, sesekali menghela napas berat. "Iih, berat banget sih kamuu!"
Dan, selesai.
Anak laki-laki yang lebih tinggi dari Raya itu tengah membungkuk dengan napas memburu setelah kedua sepatu kets mahalnya menginjak aspal. Raya mengamati anak didepannya intens, imut, babyface.
"Hai, nama kamu siapa?" tanya Raya ramah, sambil melambaikan tangannya senang. "Raya suka teman baru!"
Anak laki-laki yang masih mengatur nafasnya itu menatap Raya dari bawah sampai ke puncak rambut awut-awutan gadis kecil itu.
Bibir tipis merah anak itu melengkung tertarik keatas, "Bintang, nama aku Bintang."
Raya kembali tertegun, setelah mendengar nama Bintang.
"Hei," Bahkan suara Bintang terdengar begitu lembut ditelinga Raya. "Kamu kenapa? Kok diem aja?"
Raya menggeleng, tersenyum tipis. "Raya suka nama kamu,"
Bintang menaikan alis tebal nya, tidak mengerti. Tapi kemudian ia lebih memilih untuk tidak mempermasalahkannya, "Makasih ya, udah nolongin aku."
"Iya, kamu tadi jatuh?" tanya Raya. "Ada yang sakit?"
Nafas Bintang tertahan begitu Raya berjongkok, tangan mungil Raya terulur untuk menyentuh kaki Bintang yang terbalut dengan jins hitam yang sedikit kotor karena tanah.
Bintang melangkah mundur, mencegah Raya yang sibuk mengusap kedua kakinya. "Enggak, nggak apa-apa."
Raya mendongak, lalu menegakkan tubuhnya sambil tersenyum. "Ooh, gitu ya?"
"Tapi makasih, ya?" Ucapnya sekali lagi. "Tadi aku udah putus asa banget, bahkan orang-orang yang tadi tahu kalo aku jatoh ke selokan aja nggak perduli. Mereka ninggalin aku gitu aja."
Raya meringis, "Kamu mau kemana? Mau Raya antar?"
Bintang mendadak terdiam, ia memandang ke sekelilingnya dengan guratan wajah panik.
"Kamu kenapa?" tanya Raya.
"Aku.. Nggak tahu mau kemana." Jawab Bintang dengan nafas tercekat. "Tadi aku kesini sama Mama, terus.."
Dada Raya terasa penuh dan sesak melihat kedua mata Bintang yang hitam legam berkaca-kaca, tapi kemudian anak itu mengusap wajahnya kasar seolah tidak mau Raya melihat betapa mudahnya ia menangis.
Bintang merasa sedih dan terpukul. Suaranya mengecil, "Mama ninggalin aku, disini.."
•••
"Yakin kamu mau ikut Raya?" tanya Raya ragu, sekali lagi seraya menatap Bintang yang sudah melepaskan rompi kotak-kotak dan sepatu nya.
Bintang mengangguk saja, mengiyakan lalu meraih sebuah kaus tipis yang warna nya sudah kabur antara hitam dan abu-abu. Sekedar info, kaus itu adalah kaus yang paling bagus diantara kaus-kaus yang Raya punya. Kaus polos tanpa tambalan sedikitpun, yang selalu Raya letakkan disebuah kardus kolong dipan. Meskipun baunya tidak seharum dengan kemeja putih milik Bintang, Tetapi Bintang juga tidak keberatan menggenakannya.
Kaus itu cukup besar, bahkan terlihat sedikit longgar ditubuh Bintang yang tinggi dan tegap untuk anak seusianya.
"Itu baju paling bagus yang Raya punya." Kata Raya seraya tersenyum tipis, begitu melihat Bintang menggenakan kaus tipis dengan warna nya yang sudah tidak kelihatan lagi.
Bintang tersenyum lebar, "Iya, makasih ya udah ngasih yang terbaik."
Bagi Bintang, pemberian Raya jauh lebih berarti daripada sepatu dan rompi miliknya yang dibelikan Mama tiri nya seminggu lalu di Paris. Ini bukan soal materi, tapi tentang siapa yang berani memberikan sesuatu hal terbaik untuk orang lain.
Memiliki sepuluh kemeja keren dari sekian ribu setelan yang Mama nya punya, tidak ada apa-apa nya dibanding dengan selembar kaus tipis terbaik dari satu-satunya yang Raya punya.
Bintang cukup tahu itu. Dan lagi, Bintang tahu Raya berbeda dari lusinan anak jalanan yang sering ia lihat dilintasan lampu merah.
Raya baik, dan wajahnya juga tidak seperti anak jalanan. Sisa-sisa kecantikan yang tertutupi oleh debu itu masih bisa untuk sekedar Bintang nikmati.
"Nanti kalo Bintang capek, bilang sama Raya ya!" Kata Raya seraya mengambil karung dari tumpukan sampah kertas disudut rumah.
"Yee, aku nggak akan capek. Aku nggak akan kalah sama anak cewek," Sungut Bintang.
Raya tertawa, "Iya, deh. Bintang kan kuat!"
"Udah, yuk pergi." Ajak Bintang tidak sabar.
Aneh, Bintang menjadi merasa beruntung bertemu dengan Raya. Bintang merasa, hidupnya lebih sangat berarti disini. Anak laki-laki itu yakin, berpetualang dengan Raya pasti lebih menyenangkan dan seru dibanding harus bermain playstation atau menjadi alasan Mama tirinya belanja di mall ternama.
"Bintang nggak mau makan dulu?"
"Kamu sendiri?"
Raya menggeleng, "Abis kerja aja, deh."
"Barengan aja,"
•••
"Kita capek-capek mulung dari pagi sampe sore cuma dapet dua puluh ribu, om?" tanya Bintang tidak yakin. Bahkan ia bisa merasakan telapak kakinya yang memerah karena terlalu lelah menyusuri jalanan. Tetapi dia tidak mengeluhkan kepada Raya, malu saja.
Juragan Faisal mengerutkan dahi, berkacak pinggang."Piye, toh? Lah wong udah Juragan kasih bonus masih protes ae,"
"Apa yang bonus?" tanya Bintang tidak mau kalah."Jangan-jangan Om ini nipu kami, ya?"
"Bintang, Juragan Faisal ini bener. Dia nggak nipu kita. Tuh, ini kita dikasih bonus." Raya menarik lembut kaus bagian lengan Bintang supaya menghadapnya lalu menunjukkan uang lembaran kusut berwarna oranye, lima ribu rupiah.
Bintang semakin menganga, tidak percaya.
"Jadi sebenernya kita dapet uang cuma lima belas ribu? Yang bener aja!" Ujar Bintang menolak untuk percaya.
Bahkan menurut Bintang upah itu sangat kecil dibanding uang saku nya per-hari. Seharusnya minimal Bintang bisa mendapatkan uang senilai yang sama seperti uang sakunya sehari, lima puluh ribu rupiah.
"Ya terus, kamu ini maunya berapa?" tanya Juragan Faisal.
"Minimal lima puluh ribu, Om."
"Kau ni macam mana pula? Ndak tau diuntung!" Celetuk Damar, laki-laki remaja yang tengah membereskan tumpukan kardus itu menyindir Bintang sinis.
"Bintang, nggak apa-apa. Uang dua puluh ribu ini nggak kecil. Lagian kamu boleh pakai semua nya, beli yang kamu suka." Kata Raya seraya menyodorkan uang receh dua puluh ribu rupiah kearah Bintang yang masih diam saja.
"Kowe mungut bocah edan ini kemana toh, Ya? Sombong pisan," Juragan Faisal mengelus dada nya.
"Maaf, juragan. Kami pulang dulu,"
Raya menarik Bintang yang terlihat ogah-ogahan meninggalkan tempat itu. Bintang menurut saja saat kaus nya ditarik semakin menjauh.
Raya tidak habis pikir, Bintang seperti nya bukan anak dari kalangan bawah sepertinya. Bahkan saat pertama kali melihat penampilannya, Raya juga yakin itu.
"Kita mau kemana?" tanya Bintang dongkol, saat kaus nya masih ditarik oleh Raya.
"Raya mau ajak kamu ke pasar malam, supaya kamu nggak kesel lagi."
Bintang terkekeh geli, lalu menarik lengan Raya."Kamu becanda? Kita nggak punya uang buat kesana. Bahkan kita belum makan sejak siang tadi."
"Kita nggak harus bayar buat kepasar malam." Jawab Raya. "Kita nggak harus beli sesuatu di pasar malam."
"Terus kita ngapain disana? Liatin orang-orang lagi asyik main sama beli makanan?"
Bintang menggelengkan kepala nya cepat. "Mendingan kita pulang,"
Raya menarik pergelangan tangan Bintang lembut, lalu membuka telapak tangan Bintang yang terasa lembut di jemarinya.
"Ini buat Bintang," Raya meletakkan uang receh ditelapak tangan Bintang yang merah. "Bintang bisa beli apa aja yang Bintang suka,"
Bintang tertegun, lama kemudian menatap Raya. Untuk yang kedua kali nya, Bintang merasa bahwa Raya benar-benar tulus memberikan satu-satu nya hal terbaik untuk nya. Padahal sedari tadi yang bekerja dari pagi hanya Raya, sedangkan Bintang hanya berjalan saja menemani Raya yang kesana-kemari mencari sampah kertas dan plastik sambil menggendong karung yang berat.
Bintang sadar, ia telah melakukan hal yang salah. Ia telah membuat Raya semakin repot karena tingkahnya.
"Bintang?" Sahut Raya sambil tertawa. "Kenapa melamun?"
Bintang menggeleng, "Bener uangnya buat Bintang semua?"
"Iya, buat Bintang."
"Tapi kan dari tadi yang kerja kamu, bukan aku."
"Enggak," Sanggah Raya cepat. "Kita berdua."
Bintang tersenyum tipis, lalu menarik Raya pergi yang membuat gadis kecil itu menaikkan alis. Pasalnya jalan menuju pasar malam bukan lah jalan yang Bintang ambil sekarang.
"Kita mau kemana?" tanya Raya seraya berusaha menyamai langkah Bintang.
"Warung,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar