Jumat, 17 Juli 2020

Light Me Up (part 4)- Roselyn NorthGod


Matahari pagi Paris menyorot memaksa masuk ke dalam kamar hotel yang Sehun tumpangi untuk seminggu. Walaupun kenyataannya Mas Sehun tidak tahu sampai kapan ia akan tinggal di Paris. Mas Sehun membuka matanya perlahan. Mencoba membiasakan matanya dengan sinar yang masuk lewat sela-sela jendela. Kepalanya terasa pengar. Ia butuh sup ikan untuk mengatasi.

"joh-eun achim, Bro." Ucap pria jangkung yang masih tergeletak di atas sofa. Pria itu juga terlihat habis mabuk.

"Kau datang ke Paris untuk mabuk-mabukan?" Sehun terkekeh, tentu saja tidak.

"Lebih tepatnya berlibur, tapi kau menyuruhku datang ke bar padahal aku hanya ingin main ke rumahmu." Balas Mas Sehun yang sibuk memijit keningnya.

Chanyeol hanya mengangguk paham karena beberapa ingatannya tidak utuh akibat dari alkohol yang beberapa tahun ini menjadi salah satu gaya hidupnya di paris. Berbeda dengan sehun yang sangat jarang menyentuh minuman keras itu sehingga ia masih bisa mengingat dengan baik.

"Sebentar! Ini bukan kamarku! Kita ada dimana?" Chanyeol tersadar akan keadaan kamar yang asing baginya. Ia curiga jika Mas Sehun menculiknya.

"Ini kamar hotelku, lebih tepatnya kamar 94 hotel La Clef Champs-Elysees. Jadi tenanglah jangan panik."

Sebenarnya tujuan Mas Sehun untuk menemui Chanyeol hanya untuk sekedar bercerita. Bercerita tentang apa yang selama ini ia alami dan sekarang ia tak tahu lagi cara menghadapinya dengan benar. Takdir telah membolak-balikan suasana hatinya yang sekarang ini tidak bisa ia kontrol.

Mas Sehun butuh pencerahan dari sahabat semasa kuliahnya ini. Tapi sekarang bukan saat yang tepat. Chanyeol masih dalam pengaruh alkohol. Bisa-bisa ia mengeluarkan pendapat yang salah mengenai nasibnya.

Tanpa terasa hari menjelang sore, matahari di paris jauh lebih sering bersembunyi di bandingkan dengan matahari di indonesia. Sampai tak sadar kini sudah hampir malam. Kini chanyeol dan sehun sedang menikmati matahari sore paris yang begitu indah. Mas Sehun tidak ingin melewatkan rasanya menikmati keindahan paris barang 1 menitpun. Tak ada percakapan diantara mereka, hanya sebuah suara teh hangat yang sesap oleh penikmatnya.

"Aku yakin kau bukan hanya sekedar berlibur. Kau meninggalkan perusahaan dan adikmu tersayang itu." Chanyeol mencoba membuka suara. Ia tidak betah harus berdiam ketika ada sahabatnya yang lama tak ia jumpai.

"Kau benar,"

"Jadi kau ingin apa kemari?" Chanyeol menatap intens wajah Mas Sehun, tak ingin melewati satupun mimik wajah yang bisa menjadi petunjuk mengapa sahabatnya ini pergi sejauh ini.

"Light me up." Chanyeol mengerutkan dahinya, tak biasanya ada mimik wajah seperti itu di wajah bak dewa itu. Mas Sehun mengalihkan pandangannya ke cangkir teh yang isinya sudah hilang setengah. Chanyeol dapat menangkap kesimpulan bahwa sahabatnya ini sedang larut dalam kesedihan. Chanyeol merogoh saku celananya, mengambil sebuah benda pipih berlayar dan menyalakan lampu benda itu, mengarahkannya ke Mas Sehun.

"Bukan pencerahan seperti itu." Chanyeol tahu itu, ia hanya ingin membuat Mas Sehun sedikit melupakan kesedihannya. Terbukti dengan mas sehun yang sedikit tertawa.

"Jadi begini," Mas Sehunpun mulai menceritakan semua yang mengganggu pikirannya. Dimulai dengan wanita yang berhasil membuka pintu hatinya yang ternyata kedatangan hanya ingin menyakiti hati. Lalu ada seorang gadis yang selalu mengetuk pintu hatinya tapi tak pernah ia hiraukan ketukan itu, gadis itu adalah aku, adiknya Lita namun sekeras dan selantang apapun aku mengetuk hati Mas Sehun, aku hanya adik di mata Mas Sehun. 

Kini wanita pemilik hati Mas Sehun sudah dipanggil oleh Tuhan, tersisa gadis itu, aku. Mas Sehun dilanda dilema dan pilu bersamaan. Aku saat ini berusaha memaksa masuk ke dalam hati Mas Sehun yang masih ngilu. Mas Sehun sudah tidak bisa lagi menahan aku. Tapi aku hanya adik, Mas Sehun tidak ingin tali saudara yang satu-satunya ia miliki dan ia ketahui hancur oleh cinta dan egois.

"Kenapa tidak kau anggap saja ini sebagai balas budi atas apa yang selama ini telah diberikan oleh keluarganya Lita?" tanya Chanyeol yang bisa menjadi pertimbangan bagi Mas Sehun.

Tiba-tiba saja pintu kamar Mas Sehun terketuk oleh seseorang. Mas Sehun membukanya dan betapa terkejutnya Mas Sehun. Terpampang sesosok wanita berpakaian minimalis, kalau tidak salah ia adalah sahabat Irene.

"Hai seulgi! Akhirnya kau datang." Chanyeol menyambut wanita itu. Wanita itu hanya memandangi wajah Mas Sehun yang masih kebingungan.

"Sehun, perkenalan ia Seulgi. Salah satu pegawaiku dan juga sahabat Irene semasa kuliah." Mas Sehun menjabat tangan Seulgi yang terulur.

Chanyeol dan Seulgi melakukan sebuah transaksi yang tidak dimengerti Mas Sehun. Mereka berbicara menggunakan bahasa perancis. Mas Sehun curiga bila mereka berdua memiliki bisnis yang gelap. Tapi Mas Sehun tidak mau ambil pusing, asalkan dia tidak merugi apa salahnya hanya diam. Seulgi berpamitan dengan senyuman centil yang ia lontarkan.

"Tadi aku yang memanggilnya kemari, ia psk dan ada klien yang kebetulan memesan kamar di hotel ini juga jadi aku menyuruhnya kemari bila sudah selesai. Bila kau butuh dia, kamu bisa membawanya pulang gratis." Chanyeol menjelaskan penuh dengan senyuman. Seperti tidak punya dosa. Sayangnya Mas Sehun bukan pria seperti itu.

Sebulan sudah Mas Sehun berada di paris, sepertinya ia salah memilih tempat berlibur. Karena ia berlibur untuk melarikan diri dari kisah asmaranya, tetapi singgah di kota penuh asmara. Kini, Mas Sehun harus kembali ke indonesia. Dengan keputusannya yang bulat dan matang. Ia sudah tidak sabar bertemu aku.

Sesampainya di rumah, ia mengetuk dengan antusias. Aku membuka pintu. Mas Sehun tersenyum bahagia di ambang pintu, tapi aku tak bisa tersenyum oleh sesosok yang ada di balik tubuh Mas Sehun, Seulgi. Kenapa setiap kali Mas Sehun pergi keluar negeri selalu saja ada wanita yang mengintili Mas Sehun. Seulgi tak kalah cantik dengan Irene. Aku yakin ia adalah wanita pengganti Irene. Aku mempersilahkan mereka masuk.

"Lita, perkenalkan ia Seulgi kekasih Chanyeol dan ia belum pernah ke indonesia jadi dia sedang berlibur untuk beberapa bulan di sini," Jelas Mas Sehun. Rasanya aku tidak asing dengan penjelasan itu. Ya, Mas Sehun juga memberikan alasan yang sama saat Irene datang kemari. Bedanya hanya status, Seulgi adalah kekasih Chanyeol sedangkan Irene adalah kekasih Mas Sehun. Jika Seulgi adalah kekasih Chanyeol lantas mengapa ia tak serta membawa Chanyeol kemari? Aku tahu Mas Sehun berusaha untuk tidak menyakiti perasaanku yang sebenarnya akan dihancurkan lagi oleh Mas Sehun. Mas Sehun menunjukkan kamar untuk Seulgi. 

Dimalam yang dingin tanpa bintang ini aku akan membunuh rasa yang selama ini aku perjuangkan namun terabaikan. Tanpa adanya jawaban ataupun kepastian. Aku menutup mataku, semoga saja esok semua rasaku pada Mas Sehun telah hilang. Pintu kamarku terketuk. Mas Sehun muncul di balik daun pintu. Mimik muka datar dan dingin tercetak di wajahnya. Sepertinya berita tidak enak akan ia sampaikan. Ia duduk di pinggir ranjangku.

"Mas mau bicara,"

"Boleh, tapi aku mau ngomong sesuatu dulu," Ucapku memotong. Mas Sehun menghela napasnya kasar. Tapi ia mengangguk setuju.

"Aku tau Mas Sehun tu ga suka sama aku." Mas Sehun mendelik. Mungkin pikirnya aku tahu dari mana.

"Selama ini aku selalu tersakiti setiap kali Mas Sehun sadar kalo aku tu cinta banget sama Mas. Selama ini aku tersakiti setiap kali liat Mas Sehun bahagia sama cewek lain yang seperti cuma cewek itu yang Mas Sehun temui sepanjang hidup Mas. Aku juga bingung, kenapa Mas Sehun ga pernah sadar kalo Mas itu membunuhku secara perlahan. Tapi gapapa kok, sekarang aku bakal berenti cinta ataupun suka sama Mas, karena aku bukan wanita idaman Mas yang begitu jauh kalo dibandingin sama aku. Dan aku juga sebatas adik, walaupun aku adik angkat Mas, jadi sekarang Mas ga perlu khawatir bakal nyakitin perasaan aku kalo Mas nikah lagi. Sekarang aku bakal berhenti mencintai Mas dan hanya menyayangi Mas layaknya kakak adik sebenernya. Mas bisa nikah lagi kok sama Seulgi, aku tau kok Seulgi itu pacar baru Mas Sehun." Sekarang mataku penuh dengan air yang terus menerus keluar tanpa bisa aku bendung lagi. Mas Sehun terdiam. Menelan ludahnya sendiri, mungkin sudah tidak bisa berkata-kata. Ia menghela napas lagi dan meremas sprei.

"Siapa yang bilang begitu ke kamu?"

"Ga ada, tapi aku bisa menangkap itu dari sorot mata Mas dan juga ketukanku pada pintu hati Mas yang ga pernah di buka. Jadi berenti mengetuk dan pergi dari hati Mas." Aku menarik selimutku kembali tidur memunggungi mas sehun yang masih duduk di ranjangku. Mas sehun meniduri sisi ranjang yang kosong, tepat di balik punggungku.Ia merapatkan tubuhnya denganku. Salah satu tanganmu mulai melingkar di perutku dan memelukku dengan erat.

"Maaf atas segalanya," suara mas sehun lembut sekali, rasanya aku ingin membalas pelukannya. Sadar lita! Dia cuma minta maaf, jangan baper.

"Kamu tidak pernah berubah ya," tidur lita. Jangan baper, mas sehun cuma merasa bersalah saat ini. Cepatlah tidur lita dan esokkan baik-baik saja.

"Dulu kamu memaksa masuk ke pekarangan rumahku dan berlarian disana sekarang kamu berhasil mendobrak pintu hatiku dan berlarian disitu, tapi kenapa kamu berpikir bahwa kamu gagal masuk? Dan berpikir bahwa wanita lain yang masuk, Mas masih tidak mengerti caramu berpikir Lita." Aku terkejut, apa maksud dari ucapan Mas Sehun? Jelas-jelas wanita lain yang berhasil mencuri hati Mas Sehun. Ah, sudahlah lupakan saja. Mas Sehun memelukku semakin erat hingga aku bisa merasakan nafasnya di pucuk kepalaku. Hangat. Hingga aku terbuai dan sampai pada pulau mimpi.

Tanpa terasa pagi menyapaku. Tapi aku belum punya niatan untuk beranjak dari kasur. Samar-samar ku dengar dengkuran halus, itu Mas Sehun. Inginku lihat wajahnya saat tertidur, kapan lagi kan? Tapi aku harus bisa move on. Mulai dari sekarang walaupun Mas Sehun seperti memberi sedikit harapan tadi malam. Tapi aku bukan seseorang yang selama ini ia impikan, aku hanya remahan kentang di matanya. Aku yakin itu. Tapi apa salahnya jika hanya melihat bukan? Memandangi untuk terakhir kalinya sebagai pria yang aku puja.

Aku membalikkan tubuhku perlahan agar ia tak terbangun karena tangannya masih memelukku. Berhasil. Aku melihatnya. Wajah Mas Sehun yang tenang saat tertidur begitu memabukkan. Wajahnya begitu teduh, rasa-rasa ingin menyentuh wajahnya. Sekali saja, untuk pertama dan terakhir. Baiklah, aku menarik napasku perlahan. Aku menyentuh pipinya perlahan dengan jariku. Halus dan kenyal, seperti moci. Sayang sekali aku tak bisa memegangnya setiap hari. Hidungnya yang indah begitu menggemaskan tak luput dari jari lentikku. Kulit putih pucat nya mengkilat di timpa sinar surya pagi. Bibir mungilnya seperti bayi. Sungguh pahatan Tuhan ini begitu indah dipandangi.

"Pagi Lita." Aku terkejut. Mata Mas Sehun masih terpejam tapi ia sudah bersuara. Apakah ia terbangun karena aku? Sepertinya aku tertangkap basah sedang mengagumi keindahan karya Tuhan.

"Pipi aku kenyal banget ya." Ia tersenyum tapi matanya masih terpejam.

"Maaf bikin Mas kebangun." Ia terkekeh lalu membuka matanya. Memangnya apa yang lucu?

"Mas mau setiap hari dibangunin seperti itu, bikin Mas gemas tahu." Ia mencubit pipiku. Sakit. Tapi aku juga senang hingga pipiku memanas. Untungnya kulitku kekuningan sehingga sulit melihat pipiku merona. Tapi, aku masih tidak mengerti maksudnya Mas Sehun itu apa.

"Maksudnya apa si? Kan nanti Mas Sehun punya istri sendiri, minta istrimu lah. Jangan aku ntar disangka pelakor lagi." Aku cemberut. Tentu saja, siapa sih yang ingin menjadi pelakor. Apalagi wajah kakakku yang tidak bisa ditoleransi, siapa yang tidak akan berpikiran bahwa aku tidak akan merebutnya.

"Kan istri Mas kamu nantinya." Dia tersenyum lebar. Dia memang ahli dalam membuai wanita. Tapi tidak mungkin. Aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita yang selama ini ia impikan. Dari segi wajah, aku kalah telak.

"Apaan sih, becanda ga lucu tau!" Mas Sehun berhasil membuatku terbawa suasana. Ayolah, aku masih waras.

"Aku memang tidak bercanda, aku ingin menseriusimu. Kamu maukan jadi istri Mas Sehun yang ganteng ini."

"Mau banget la!" Ia memelukku lagi. Ia memang romantis. Rasanya tidak nyata.

Akhirnya mimpi sedari SMA terwujud. Meskipun aku tak tahu Mas Sehun benar-benar mencintaiku atau tidak. Tapi aku senang. Setidaknya tidak akan ada lagi wanita yang akan menyakiti Mas Sehun. Tidak ada lagi wanita yang mendekati Mas Sehun hanya demi harta. Karena posisi yang mereka inginkan sudah di duduki oleh aku. Aku, adiknya yang mengerti dia sedari kecil. Aku yang tidak pernah tega melihatnya menangis. Dan aku yang selalu ada di sisinya apapun keadaannya. Aku bahagia.

Light Me Up (part 3) - Roselyn NorthGod



Ada dua bocah sedang berlarian di halaman rumahku. Aku jadi teringat di masa lalu. Aku dan Mas Sehun berlarian saling mengejar tanpa mengerti apa yang sedang kami mainkan. Biasanya Mas Sehun dan aku akan bermain sampai tak ingat waktu. Bahkan aku pernah jatuh sakit saking asiknya hujan-hujanan dengan Mas.Pernah ada sebuah peristiwa yang merubah keadaan di kehidupan Mas Sehun. Mas Sehun yang dulu sangat ceria berubah menjadi pendiam. Saat itu usiaku masih empat tahun sedangkan Mas Sehun sebelas tahun. Memang jarak usia yang sangat jauh. Walaupun saat itu Mas Sehun tergolong sudah mengerti keadaan, sudah bisa mandiri untuk pulang ke kampung halaman dan tinggal bersama keluarganya. Ia tidak bisa melakukan itu, ia tidak punya paspor ataupun alamat rumah di kampung halamannya. Mas Sehun terlambat. Terlambat menanyakan tentang keluarga dan semuanya yang perlu ia tahu. Kedua orang tuanya di jemput sang maut terlebih dahulu dan tak membiarkan Mas Sehun untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal .

Jika Mas Sehun bukan tetangga kami mungkin sekarang Mas Sehun sudah menjadi gelandangan. Benar, orang tuanya meninggalkan hutang yang tak mungkin dapat ditanggung oleh seorang bocah berusia sebelas tahun. Rumah dan seluruh aset di dalamnya disita oleh bank.Hingga akhirnya Ayahku menghadiahkanku seorang saudara baru, Sehun.

"Sampai kapan Mas Sehun akan menjadi saudaraku?" tanyaku yang masih sangat polos saat itu.

"Tentu saja selamanya, Lita," Ucapnya sambil mendudukanku di pahanya.

"Benarkah? Jadi Mas Sehun selamanya akan menemaniku? Mas Sehun tidak akan pergi kemanapun dan meninggalkanku? Apakah selamanya juga Mas Sehun akan selalu memelukku kalo aku lagi nangis?" tanyaku beruntun tanpa jeda.

"Benar, Iya, iya, dan iya." Mas Sehun tersenyum padaku, aku memeluknya erat. Seperti mendapatkan boneka baru, aku tak ingin melepaskan pelukanku.

 Ayah mengangkat Sehun sebagai anak karena ayah sangat menginginkan anak lelaki untuk melanjutkan usahanya.

Saat aku duduk di bangku sekolah dasar, Mas Sehun sudah menggunakan seragam putih abu-abu. Aku sangat mengaguminya, entah ini cinta atau bukan. Yang aku tahu, semua yang Mas Sehun lakukan terlihat begitu indah. Ia sangat cerdas dan tak jarang Mas Sehun membantuku mempelajari pelajaran yang sulit. Aku sangat bahagia pada masa itu.

Lalu pada saat Mas Sehun akan memasuki perguruan tinggi. Ayah memberikan kesempatan pada Mas Sehun untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Mas Sehun ingin melanjutkan pendidikannya di kampung halamannya. Walaupun ia tak mengenal siapapun disana, tapi setidaknya ia ingin merasakan rasanya kembali ke tanah airnya yang sesungguhnya.

Aku sedih sekaligus senang saat mendengar berita bahwa Mas Sehun diterima menjadi mahasiswa di Universitas Nasional Seoul di jurusan bisnis. Tak mudah menembus dan duduk di bangku universitas tersebut. Ayah dan Ibu pun menjadi sering memberi nasihat.

"Jika kakakmu bahagia maka kamu juga harus ikut berbahagia akan kebahagiaannya. Kecuali hal yang membuat kakakmu bahagia itu hal yang buruk, baru kamu boleh ikut melarangnya." Ibu selalu mengatakan itu bila aku bertanya haruskah aku senang dengan apa yang Mas Sehun capai.

Akupun menjalani hidupku dengan terus bersekolah dan mendukung Mas Sehun yang jauh di sana. Sekitar 4 tahun lamanya Mas Sehun kuliah di Korea Selatan.

Saat Mas Sehun pulang, tak ada seorangpun yang memberitahuku kapan jelasnya Mas Sehun akan pulang. Saat itu aku baru saja melangkahkan kakiku yang berlapis rok abu-abu untuk pulang ke rumah. Ada seseorang yang di kerumuni siswi. 

Para siswi berteriak, "Oppa!!"

Mereka memang berlebihan. Tidak mungkin ada orang korea yang datang menjemput murid SMA Negeri. Yang benar saja. Sepertinya mereka pusing setelah ujian akhir semester tadi sehingga tak bisa membedakan mana orang indonesia berkulit putih dan mana orang korea sesungguhnya.

"Lita!" Suara seseorang yang sepertinya tak asing bagiku. Namun ada yang aneh, kenapa saat suara tak asing itu memanggilku semua sorak sorai para siswi berhenti?

"Aku di sebelah sini Lita!" Suara pria itu benar-benar tak asing. Aku menengok ke sumber suara.

Betapa terkejutnya aku saat semua siswi yang berkerumun itu melihatku dengan tatapan sinis. Tapi yang lebih mengejutkan adalah ada seseorang yang sangat tampan bak dewa yunani berkulit putih pucat. Itu siapa?

"Ayo kita pulang." Pria itu menarikku menuju mobil yang familiar denganku. Ini mobil Mas Sehun saat masih SMA. Kenapa orang ini membawanya. Tapi orang ini sangat mirip Mas Sehun. Apakah benar ia Mas Sehun? Jika ia benar Mas Sehun artinya ia mengalami pubertas yang terlambat? Ya, perubahan fisik pada Mas Sehun terjadi saat dia kuliah sedangkan lelaki umumnya mengalami perubahan fisik saat SMA. Tapi itu tidak masalah, yang terpenting Mas Sehun sudah pulang.

"Aku tampan ya? Sampai kamu tidak bisa mengeluarkan kata-kata." Ia begitu percaya diri. Walaupun memang benar tapi setidaknya jangan mengatakan dengan jelas.

"Yayaya terserah." Ia terbahak-bahak.

"Disana Mas operasi plastik ya?" godaku

"Tentu saja tidak, yang benar saja."

Selama aku berseragam putih abu-abu, aku sering memperhatikannya. Entah itu di ruang Tv, meja makan, bahkan aku pernah menguntitnya saat ia tidur. Pernah sekali aku ketahuan sedang memperhatikannya.

"Butuh bantuan?" tanyanya yang berhasil membuat fokusku pada mahakarya Tuhan itu buyar.

"Enggak kok." Aku kembali menaruh fokusku pada buku yang penuh akan tragedi dimasa lalu.

"Lalu kenapa kamu melihati Mas terus dari tadi? Sampai tidak berkedip." Ia mendekati yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Gapapa, cuma lagi mikir aja kok." Ia tersenyum, jangan-jangan ia tahu bahwa selama ini aku sering memperhatikannya.

"Mas tahu kok, jangan berbohong."

"Tau apa?" jantungku hampir copot. Sepertinya benar ia tahu semuanya yang pernah aku lakukan sejak ia pulang dari korea. Ia terkekeh, ini bukan waktunya untuk terkekeh.

"Tahu kalau kamu kesulitan mengerjakan tugas sejarah peminatan." Aku membawa bukuku kembali ke kamar. Mas Sehun sangat menjengkelkan. Hanya bisa meremehkan. Hampir saja jantungku terjatuh dari tempatnya.

Semua berjalan begitu indah, masa-masa SMA memang masa yang indah. Bukan kenangan di sekolah tetapi di rumah. Mas Sehun yang kembali dari korea selalu menyempatkan diri untuk sekedar menjemputku atau membantuku mengerjakan tugas. Sahabatku pun sering datang ke rumahku sekedar untuk mencuci mata. Ya walaupun terkadang Mas Sehun sudah pergi ke kantor Ayah.

Hingga saat aku memasuki bangku perguruan tinggi. Semua berubah. Mas Sehun kedatangan teman saat dia kuliah di korea. Ah, sepertinya salah. Yang benar adalah kekasihnya saat di korea. Berjalan sembilan bulan mereka menjalin kasih di indonesia, mereka pun memutuskan menikah. Sejak kedatangan Irene aku sudah mendapatkan firasat tidak baik. Tante Heti pun pernah berkata bahwa aku dan keluargaku harus berhati-hati dengan kedatangan wanita itu. Tapi ayah tidak peduli akan perkataan Tante Heti.

Satu bulan mereka menikah, Ayah dan Ibu meninggal terancuni sarapan yang di buat oleh Irene. Untung saja saat itu aku dan Mas Sehun tidak memakannya. Mas Sehun sempat marah besar kepada Irene. Tapi sebuah rayuan telah membuai Mas Sehun. Semua terasa baik-baik saja. Saat itu aku sudah membenci Irene. Irene meminta dengan sangat memaksa kepada Mas Sehun untuk di belikan tas seharga mobil untuk hadiah ulang tahunnya. Mas Sehun menolak karena masih banyak yang harus diprioritaskan dibandingkan membeli sebuah tas mewah. Mas Sehun di tampar di hadapan teman-teman Irene yang datang jauh dari korea. Betapa malunya aku dan Mas Sehun. Harga diri kami di injak-injak oleh wanita tak tahu diri itu.

Banyak sekali kejadian yang menjatuhkan harga diri Mas Sehun sebagai seorang lelaki sekaligus suami. Hingga aku tak tahan olehnya dan pergi menemui Tante Heti. Satu-satunya orang tua yang tersisa dari keluargaku.

Light Me Up (Part2) - Roselyn NorthGod


 "SUDAH CUKUP!" Wanita di tangga itu berteriak sambil terisak. Ia tersakiti dan malu. Tampak jelas di wajahnya. Mas Sehun pun terlihat menahan tinjunya begitu pula dengan pria asing itu.

 "Apa maumu Suho? Kau ingin aku pulang?" Wanita itu tak bisa membendung isakkannya.

 "Ya! Pulang, tempatmu bukan disini." Wanita itu mengangguk setuju akan pernyataan lelaki yang mengaku sebagai Suaminya itu. Wanita itu mulai menuruni anak tangga dan mendekati pria asing itu.

 "Tunggu!" Cegat Mas yang membuatku geram.

 "Kau juga istriku, kita menikah atas dasar cinta. Kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja." Aku lelah dengan drama ini, aku tau bahwa Mas Sehun mengetahui Irene tidak benar-benar mencintainya. Sadarlah Mas. Aku yang mencintaimu, dengan tulus.

 "Cinta? Maafkan aku selama ini aku hanya mencintai hartamu. Kuharap kau tau itu." Sepasang manusia itu pergi tanpa pamit. Hanya meninggalkan jejak. Sepertinya aku harus menyumbangkan pakaian Irene yang ditinggal sang pemilik.

Tapi aku dapat melihat kakakku tercinta hanya diam mematung. Dari sudut matanya terlihat ada perih yang berusaha ia tahan. Aku tahu ini semua tidak mudah baginya. Tapi aku tidak bisa membiarkan wanita busuk itu terus menggerogoti hati dan harta Mas Sehun. Aku dapat melihat bulir air mata hampir terjatuh dari sudut matanya.

"Mas Sehun?" Ayolah, masih ada aku disini. Janganlah kau bersedih. Bukankah kau juga menyayangiku ? Ia menunduk. Memandang ujung kakinya yang lebih indah dilihat daripada pintu itu. Ia tersenyum getir. Berusaha menahan pedih.

"Mas gapapa kok. Hanya terkejut." Hanya terkejut? Baiklah. Tak apa bila hanya terkejut. Ia pergi ke ruangannya tanpa kata lagi. Mungkin benar. Hanya terkejut.

3 minggu sudah berlalu. Mas Sehunpun sudah sedikit bersinar. Sepertinya ia sudah melupakan wanita itu. Ingin sekali aku menggantikan posisi wanita itu. Tapi belum saatnya. Mas Sehun masih terluka dengan kepergian wanita itu.

Aku dan Sehun sedang bersantai di ruang Tv. Aku ingin menonton film kesukaannya yang akan tayang malam ini. Tinggal 30menit lagi. Oh, ada Breaking News. Kira-kira ada apa ya. Tumben sekali malam-malam begini ada. Kapal tenggelam di Korea Selatan? Separah itukah sampai masuk ke berita Indonesia?

"Kasihan ya." Akhirnya ia mengeluarkan suara. Biasanya jika ada berita ia hanya akan diam. Dan menyuruhku juga untuk diam. Tumben sekali. Akhirnya filmnya mulai. Film laga kesukaannya ini biasanya ampuh mengobati luka sedihnya. Seperti saat Ayah meninggal.

Drrtt drrttt drrtt

"Itu hpnya bunyi Mas, diangkat dulu kek ganggu tau." Kesalku.

Terdengar suara asisten Mas Sehun, Jeno. Sepertinya bukan tentang bisnis. Samar-samar ku dengar tentang kapal yang tenggelam. Mas Sehun menjauh. Sepenting itukah kapal yang tenggelam itu? Apakah ada hubungannya dengan Mas? Bukannya itu milik Korea Selatan. Setahuku itu bukan milik Perusahaan. Mas Sehun kembali. Dengan wajah kusut. Apakah ada bisnis yang berhubungan dengan kapal itu? Ada apa sebenarnya. Kenapa Mas Sehun diam saja. Tapi wajahnya hampir mengeluarkan air mata.

"Ada apa?" Aku berusaha menggenggam tangan Mas. Berusaha menenangkan.

"Kapal yang tenggelam itu membawa Irene dan suami aslinya." Air mata itu berhasil jatuh. Disusul dengan dua air mata lainnya.

Yang benar saja. Dia masih memikirkan wanita itu. Wanita yang merobek-robek hatinya. Lalu pergi tanpa pamit. Seolah tidak ada cinta kasih yang tersimpan di hatinya.

"Sudahlah Mas. Ia sudah pergi jangan dipikirkan lagi." Aku mengatakan apa yang menurutku benar. Dan memang benar bukan? Wanita dengan 2 suami. Yang benar saja.

"Tapi aku masih sayang sama dia." Sayang? Sungguh terlalu kau mas.

"Mas dulu aku tu yang paling disayang masa mas. Kenapa sekarang enggak. Kenapa mas suka sama cewe bajingan itu, kenapa sama Lita enggak?"

"Jaga mulutmu Lita! Kamu hanya sebatas adik, bukan kekasih." Mas melangkah pergi. Tapi ia harus mendengarkan aku sekali saja.

"Tapi kamu juga berhak bahagia! Sampai kapan mas akan terus terinjak-injak oleh rasa yang tak terbalas dari wanita jalang itu! Cewe itu udah menginjak-injak harga diri kamu di depan teman-temannya. Inget ga !" Ia terdiam. Mungkin ia sedang berpikir kalau aku benar.

"Inget ga, dulu mas ditampar cuma gara-gara tas berharga selangit itu. Padahal mas jauh lebih berharga daripada tas itu. Inget ga mas ? Bukannya itu sakit? Sekarang mas bebas dari rasa sakit itu. Berbahagialah mas." Aku dapat melihatnya sedikit tersenyum.

"Tapi aku sendiri sekarang Lita." Astaga, buka mata dan hatimu Mas.

"Bangunlah Mas, masih ada Lita disini." Mas pergi. Tanpa bersuara lagi. Mungkin ia akan berubah pikiran. Semoga saja. Aku tak ingin melihatmu terluka lagi. Aku hanya ingin dia bahagia. Dan aku tahu, aku juga bisa membuatnya bahagia. Bukan hanya wanita itu. Atau wanita manapun selain aku. Karena hanya aku yang mengenalnya. Sejak kecil.

Matahari pagi menyapa sudut jendelaku hari ini. Hari ini adalah hari minggu. Hari yang semua orang tunggu. Aku akan membuatkan sarapan untuk Masku. Ia pasti akan senang. Aku membuatkan telur yang dimasak setengah matang. Orang-orang memanggilnya omelette. Aku memanggilnya telur dadar setengah matang.

Semua sudah siap. Waktunya membangunkan Mas. Aku pergi ke kamarnya. Mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Mungkin Mas sedang pergi lari pagi. Manusia berperut kotak-kotak itu tak ingin tubuhnya jelek. Ia duda tampan. Aku menunggu sampai ia pulang.

Aku menunggu di meja makan. Sambil memainkan ponsel pintarku agar tak mudah bosan. Aku menunggu sekitar 30menit. Ia tak kunjung datang. Mungkin ia pergi ke car free day. Aku akan tetap menunggu. Karena rasanya sudah lama sekali tidak makan berdua bersama Mas. Aku menunggu lagi. Hingga tak terasa sudah 1 jam lamanya aku menunggu. Cacing-cacing di perutku sudah tidak sabar untuk diberi makan. Aku menunggu lagi. Lama sekali. Sampai akhirnya aku tidak kuat lagi menahan gejolak lapar. Aku makan terlebih dahulu. Mungkin minggu depan aku baru bisa makan bersama Mas.

Aku memutuskan untuk sekedar menonton Tv. Melarikan diri dari tugas kuliahku. Aku mengambil benda persegi panjang penuh tombol itu. Aku memutuskan menonton drama picisan. Sebenarnya membosankan. Hingga aku tertidur karenanya.

Aku terbangun karena suara iklan Tv yang mengejutkan. Kulihat jam. Sudah jam 11 siang. Sebentar lagi makan siang. Apakah mas sudah sarapan? Kulihat meja makan. Masih ada sarapan yang tadi aku siapkan. Mungkin mas sudah sarapan di luar. Tapi kenapa tidak membangunkanku? Aku memutuskan pergi ke kamar Mas Sehun.

Ku ketuk pintunya. Tak ada jawaban. Apakah tertidur? Tanpa sengaja pintu kamar Mas terbuka. Baiklah aku akan masuk. Tak ada Mas. Aku semakin masuk. Lalu mas kemana bila tak ada di kamar. Dan kenapa semua baju Mas tak ada! Mas Sehun pergi dari rumah? Tapi kenapa? Ada surat tergeletak di atas kasurnya. Ku buka.

 "Hai Litaku Tersayang.

Maaf aku pergi subuh tadi. Aku baik-baik saja, aku pergi hanya untuk berlibur. Jangan cari aku, aku akan pulang ke rumah pada saatnya. Jadi aku titipkan perusahaan kita, kamu mengerti kan? Itu bidang kamu. Semangat skripsinya ya, Mas yakin kamu bisa cumlude. Dan jangan terlalu memikirkan mas karena mas baik-baik saja dan mas juga tidak yakin kapan mas akan pulang. Tapi mas janji akan segera pulang. Jangan bersedih ya <3

Salam sayang,

MasMu Tercinta"

Light Me Up Oleh : Roselyn NorthGod



   Di hari yang mendung ini aku masih menatap mentari yang bersembunyi di balik awan. Pikiranku kacau. Ingin sekali aku menyakitikan wanita itu. Wanita yang telah menyakiti masku padahal Ia dijadikan wanita paling berharga dihidupnya, melebihi adiknya sendiri. 

"Kayaknya bener kata Chanyeol, *kita harus ketemu Tante Heti. Setahu *kita si, Tante Heti itu paranormal. Tapi Ayah bilang tante Heti paranoid. Ya pokoknya harus ketemu tante Heti." Ucapku pada Sang Raja yang masih berjuang menerangi bumi.

 Aku pergi ke rumah tante Heti di kawasan Kabupaten Cirebon. Aku disuguhi pemandangan pepohonan yang hijau juga udara yang sejuk. Sesampainya di pekarangan rumah tante Heti, seorang wanita berusia 40 tahun itu menyambutku dengan pelukan hangat.

"Aku tau kok kenapa kamu kesini." Bahkan aku belum mengatakan sepatah katapun tetapi dia sudah tahu apa yang membawaku kemari. Tapi apakah dia benar-benar tahu kenapa aku kesini?

"Aku tau kamu pengen membunuh jalang yang kakakmu nikahi itu." Ucap tante dengan serigaian yang membuat alisku bertemu, "aku juga benci jalang itu, ia datang hanya untuk menguras habis harta keluarga kita." Bagaimana bisa ia mengetahui hal itu, "sudahlah, ayo kita masuk. Aku punya bajigur hangat kesukaanmu."

Aku menyesap minuman bersantan yang masih hangat ini. Tapi aku masih bingung. Bagaimana aku akan mengutarakan isi hatiku yang brutal dan tidak berperi kemanusiaan ini?

"Tante." Mungkin aku harus to the point saja.

"Aku mau Irene mati mengenaskan." Ucapku hanya dibalas senyum oleh tante.

"Aku juga ingin dia merasakan pedihnya penderitaan kakakku." Ku sesap kembali gelas berisi kopi bersantan itu, "contohnya?"

"Semua cairan yang keluar dari tubuhnya merupakan darah." Apakah aku terlalu kejam? Suara batinku terus bertanya.

"Sungguh? Menurut tante sih kurang kejam deh." Seketika pikiranku berlari kepada pendapat Ayah bahwa Tante Heti merupakan paranoid. Menurutku Tante Heti lebih seperti psikopat.

Aku pulang ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Aku mendapati Sehun tertidur di sofa ruang tamu. Sepertinya ia menungguku pulang," Mas, bangun. Tidurnya di kamar aja." Sehun menggeliat dan mulai membuka matanya. Ia hanya tersenyum sebagai bentuk penolakan. Mereka pasti habis bertengkar," Berhenti mengalah mas, kau harus tegas." Aku jengah dengan sikap pengalahnya itu. Ia hanya akan semakin terinjak-injak oleh istrinya. Oh, sepertinya aku salah. Jalangnya. Wanita itu tak pantas disebut istri.

Tak lama setelah aku menginginkan kematian jalang itu. Irene mulai terlihat tak berdaya dikesehariannya. Ya, dia mulai mengalami pendarahan yang mengerikan. Awalnya hanya muntah darah setelah memakan makanan yang bersantan. Kini terus berlanjut hingga keringat yang awalnya beraroma asam kini beraroma amis dan berwarna merah. Gedung yang dipenuhi oleh manusia yang tak sehatpun tak mau mengobati atau bahkan sekedar menampung Irene yang malang ini. Terlalu mengerikan untuk diobati, pikir para manusia berjas putih.

Kini sudah dua minggu jalang itu menjadi manusia yang sangat mengenaskan. Disetiap harinya hanya dapat bersedih. Seperti apa yang Sehun rasakan selama ini berbalik padanya. Wanita cantik nan pintar bak nirmala itu sekarang tak ada bedanya dengan sampah. Terbuang dan tak terpandang. Kecuali Sehun. Aku tak mengerti cara otaknya bekerja. Bagaimana bisa ia masih setia kepada jalang yang sudah mengeruk hartanya dan juga merampas kebahagiannya. Bagaimana bisa ?

Saat Sehun dan aku sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Pintu kayu bergagang emas yang terletak dibagian depan rumah ini tergedor dengan begitu kencangnya. Seorang pelayan pria membukakan pintu. Belum sempat bertanya ada gerangan apa kemari. Pria berkulit putih pucat itu berteriak lantang memanggil nama seseorang menggunakan bahasa korea.

"Bae Irene!!!" Oh, sepertinya jalang itu memiliki masalah dengan pria tak dikenal ini.

"Ada apa ini?" tanya Mas Sehun. Pria itu terlihat dilanda murka, "aku ingin menjemput Irene pulang ke Korea."

"Memangnya anda siapa dapat membawa istri saya pergi dari rumah ini seenaknya." Ucap Mas Sehun penuh kesabaran, "Aku suaminya!!! Bukan dirimu, dia sudah menjadi istriku selama 5 tahun lamanya dan ia kemari untuk bekerja! Jadi jangan mengaku-ngaku bahwa kau adalah suaminya!" wajah pria itu terlihat memerah dan jari telunjuknya tak berhenti mengarah ke wajah  Mas Sehun. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun dan siap diledakkan. Terlihat di ujung tangga itu, ada seorang wanita yang ketakutan. Wanita itu kebingungan antara menemui pria asing itu atau menetap dimananya.

"Bekerja? Dia kemari untuk menikah denganku! Dan jaga sikap anda dirumah saya." Sehun terlihat mengepal tangannya bersiap menghabisi pria asing ini. Sedangkan wanita yang menjadi akar masalah ini hanya terdiam membeku di anak tangga. Aku mencium bau-bau pertarungan antar pria yang memperebutkan seorang wanita yang tidak jelas statusnya. 

Light Me Up (part 4)- Roselyn NorthGod

Matahari pagi Paris menyorot memaksa masuk ke dalam kamar hotel yang Sehun tumpangi untuk seminggu. Walaupun kenyataannya Mas Sehun tidak ta...