Jumat, 17 Juli 2020

Light Me Up (part 4)- Roselyn NorthGod


Matahari pagi Paris menyorot memaksa masuk ke dalam kamar hotel yang Sehun tumpangi untuk seminggu. Walaupun kenyataannya Mas Sehun tidak tahu sampai kapan ia akan tinggal di Paris. Mas Sehun membuka matanya perlahan. Mencoba membiasakan matanya dengan sinar yang masuk lewat sela-sela jendela. Kepalanya terasa pengar. Ia butuh sup ikan untuk mengatasi.

"joh-eun achim, Bro." Ucap pria jangkung yang masih tergeletak di atas sofa. Pria itu juga terlihat habis mabuk.

"Kau datang ke Paris untuk mabuk-mabukan?" Sehun terkekeh, tentu saja tidak.

"Lebih tepatnya berlibur, tapi kau menyuruhku datang ke bar padahal aku hanya ingin main ke rumahmu." Balas Mas Sehun yang sibuk memijit keningnya.

Chanyeol hanya mengangguk paham karena beberapa ingatannya tidak utuh akibat dari alkohol yang beberapa tahun ini menjadi salah satu gaya hidupnya di paris. Berbeda dengan sehun yang sangat jarang menyentuh minuman keras itu sehingga ia masih bisa mengingat dengan baik.

"Sebentar! Ini bukan kamarku! Kita ada dimana?" Chanyeol tersadar akan keadaan kamar yang asing baginya. Ia curiga jika Mas Sehun menculiknya.

"Ini kamar hotelku, lebih tepatnya kamar 94 hotel La Clef Champs-Elysees. Jadi tenanglah jangan panik."

Sebenarnya tujuan Mas Sehun untuk menemui Chanyeol hanya untuk sekedar bercerita. Bercerita tentang apa yang selama ini ia alami dan sekarang ia tak tahu lagi cara menghadapinya dengan benar. Takdir telah membolak-balikan suasana hatinya yang sekarang ini tidak bisa ia kontrol.

Mas Sehun butuh pencerahan dari sahabat semasa kuliahnya ini. Tapi sekarang bukan saat yang tepat. Chanyeol masih dalam pengaruh alkohol. Bisa-bisa ia mengeluarkan pendapat yang salah mengenai nasibnya.

Tanpa terasa hari menjelang sore, matahari di paris jauh lebih sering bersembunyi di bandingkan dengan matahari di indonesia. Sampai tak sadar kini sudah hampir malam. Kini chanyeol dan sehun sedang menikmati matahari sore paris yang begitu indah. Mas Sehun tidak ingin melewatkan rasanya menikmati keindahan paris barang 1 menitpun. Tak ada percakapan diantara mereka, hanya sebuah suara teh hangat yang sesap oleh penikmatnya.

"Aku yakin kau bukan hanya sekedar berlibur. Kau meninggalkan perusahaan dan adikmu tersayang itu." Chanyeol mencoba membuka suara. Ia tidak betah harus berdiam ketika ada sahabatnya yang lama tak ia jumpai.

"Kau benar,"

"Jadi kau ingin apa kemari?" Chanyeol menatap intens wajah Mas Sehun, tak ingin melewati satupun mimik wajah yang bisa menjadi petunjuk mengapa sahabatnya ini pergi sejauh ini.

"Light me up." Chanyeol mengerutkan dahinya, tak biasanya ada mimik wajah seperti itu di wajah bak dewa itu. Mas Sehun mengalihkan pandangannya ke cangkir teh yang isinya sudah hilang setengah. Chanyeol dapat menangkap kesimpulan bahwa sahabatnya ini sedang larut dalam kesedihan. Chanyeol merogoh saku celananya, mengambil sebuah benda pipih berlayar dan menyalakan lampu benda itu, mengarahkannya ke Mas Sehun.

"Bukan pencerahan seperti itu." Chanyeol tahu itu, ia hanya ingin membuat Mas Sehun sedikit melupakan kesedihannya. Terbukti dengan mas sehun yang sedikit tertawa.

"Jadi begini," Mas Sehunpun mulai menceritakan semua yang mengganggu pikirannya. Dimulai dengan wanita yang berhasil membuka pintu hatinya yang ternyata kedatangan hanya ingin menyakiti hati. Lalu ada seorang gadis yang selalu mengetuk pintu hatinya tapi tak pernah ia hiraukan ketukan itu, gadis itu adalah aku, adiknya Lita namun sekeras dan selantang apapun aku mengetuk hati Mas Sehun, aku hanya adik di mata Mas Sehun. 

Kini wanita pemilik hati Mas Sehun sudah dipanggil oleh Tuhan, tersisa gadis itu, aku. Mas Sehun dilanda dilema dan pilu bersamaan. Aku saat ini berusaha memaksa masuk ke dalam hati Mas Sehun yang masih ngilu. Mas Sehun sudah tidak bisa lagi menahan aku. Tapi aku hanya adik, Mas Sehun tidak ingin tali saudara yang satu-satunya ia miliki dan ia ketahui hancur oleh cinta dan egois.

"Kenapa tidak kau anggap saja ini sebagai balas budi atas apa yang selama ini telah diberikan oleh keluarganya Lita?" tanya Chanyeol yang bisa menjadi pertimbangan bagi Mas Sehun.

Tiba-tiba saja pintu kamar Mas Sehun terketuk oleh seseorang. Mas Sehun membukanya dan betapa terkejutnya Mas Sehun. Terpampang sesosok wanita berpakaian minimalis, kalau tidak salah ia adalah sahabat Irene.

"Hai seulgi! Akhirnya kau datang." Chanyeol menyambut wanita itu. Wanita itu hanya memandangi wajah Mas Sehun yang masih kebingungan.

"Sehun, perkenalan ia Seulgi. Salah satu pegawaiku dan juga sahabat Irene semasa kuliah." Mas Sehun menjabat tangan Seulgi yang terulur.

Chanyeol dan Seulgi melakukan sebuah transaksi yang tidak dimengerti Mas Sehun. Mereka berbicara menggunakan bahasa perancis. Mas Sehun curiga bila mereka berdua memiliki bisnis yang gelap. Tapi Mas Sehun tidak mau ambil pusing, asalkan dia tidak merugi apa salahnya hanya diam. Seulgi berpamitan dengan senyuman centil yang ia lontarkan.

"Tadi aku yang memanggilnya kemari, ia psk dan ada klien yang kebetulan memesan kamar di hotel ini juga jadi aku menyuruhnya kemari bila sudah selesai. Bila kau butuh dia, kamu bisa membawanya pulang gratis." Chanyeol menjelaskan penuh dengan senyuman. Seperti tidak punya dosa. Sayangnya Mas Sehun bukan pria seperti itu.

Sebulan sudah Mas Sehun berada di paris, sepertinya ia salah memilih tempat berlibur. Karena ia berlibur untuk melarikan diri dari kisah asmaranya, tetapi singgah di kota penuh asmara. Kini, Mas Sehun harus kembali ke indonesia. Dengan keputusannya yang bulat dan matang. Ia sudah tidak sabar bertemu aku.

Sesampainya di rumah, ia mengetuk dengan antusias. Aku membuka pintu. Mas Sehun tersenyum bahagia di ambang pintu, tapi aku tak bisa tersenyum oleh sesosok yang ada di balik tubuh Mas Sehun, Seulgi. Kenapa setiap kali Mas Sehun pergi keluar negeri selalu saja ada wanita yang mengintili Mas Sehun. Seulgi tak kalah cantik dengan Irene. Aku yakin ia adalah wanita pengganti Irene. Aku mempersilahkan mereka masuk.

"Lita, perkenalkan ia Seulgi kekasih Chanyeol dan ia belum pernah ke indonesia jadi dia sedang berlibur untuk beberapa bulan di sini," Jelas Mas Sehun. Rasanya aku tidak asing dengan penjelasan itu. Ya, Mas Sehun juga memberikan alasan yang sama saat Irene datang kemari. Bedanya hanya status, Seulgi adalah kekasih Chanyeol sedangkan Irene adalah kekasih Mas Sehun. Jika Seulgi adalah kekasih Chanyeol lantas mengapa ia tak serta membawa Chanyeol kemari? Aku tahu Mas Sehun berusaha untuk tidak menyakiti perasaanku yang sebenarnya akan dihancurkan lagi oleh Mas Sehun. Mas Sehun menunjukkan kamar untuk Seulgi. 

Dimalam yang dingin tanpa bintang ini aku akan membunuh rasa yang selama ini aku perjuangkan namun terabaikan. Tanpa adanya jawaban ataupun kepastian. Aku menutup mataku, semoga saja esok semua rasaku pada Mas Sehun telah hilang. Pintu kamarku terketuk. Mas Sehun muncul di balik daun pintu. Mimik muka datar dan dingin tercetak di wajahnya. Sepertinya berita tidak enak akan ia sampaikan. Ia duduk di pinggir ranjangku.

"Mas mau bicara,"

"Boleh, tapi aku mau ngomong sesuatu dulu," Ucapku memotong. Mas Sehun menghela napasnya kasar. Tapi ia mengangguk setuju.

"Aku tau Mas Sehun tu ga suka sama aku." Mas Sehun mendelik. Mungkin pikirnya aku tahu dari mana.

"Selama ini aku selalu tersakiti setiap kali Mas Sehun sadar kalo aku tu cinta banget sama Mas. Selama ini aku tersakiti setiap kali liat Mas Sehun bahagia sama cewek lain yang seperti cuma cewek itu yang Mas Sehun temui sepanjang hidup Mas. Aku juga bingung, kenapa Mas Sehun ga pernah sadar kalo Mas itu membunuhku secara perlahan. Tapi gapapa kok, sekarang aku bakal berenti cinta ataupun suka sama Mas, karena aku bukan wanita idaman Mas yang begitu jauh kalo dibandingin sama aku. Dan aku juga sebatas adik, walaupun aku adik angkat Mas, jadi sekarang Mas ga perlu khawatir bakal nyakitin perasaan aku kalo Mas nikah lagi. Sekarang aku bakal berhenti mencintai Mas dan hanya menyayangi Mas layaknya kakak adik sebenernya. Mas bisa nikah lagi kok sama Seulgi, aku tau kok Seulgi itu pacar baru Mas Sehun." Sekarang mataku penuh dengan air yang terus menerus keluar tanpa bisa aku bendung lagi. Mas Sehun terdiam. Menelan ludahnya sendiri, mungkin sudah tidak bisa berkata-kata. Ia menghela napas lagi dan meremas sprei.

"Siapa yang bilang begitu ke kamu?"

"Ga ada, tapi aku bisa menangkap itu dari sorot mata Mas dan juga ketukanku pada pintu hati Mas yang ga pernah di buka. Jadi berenti mengetuk dan pergi dari hati Mas." Aku menarik selimutku kembali tidur memunggungi mas sehun yang masih duduk di ranjangku. Mas sehun meniduri sisi ranjang yang kosong, tepat di balik punggungku.Ia merapatkan tubuhnya denganku. Salah satu tanganmu mulai melingkar di perutku dan memelukku dengan erat.

"Maaf atas segalanya," suara mas sehun lembut sekali, rasanya aku ingin membalas pelukannya. Sadar lita! Dia cuma minta maaf, jangan baper.

"Kamu tidak pernah berubah ya," tidur lita. Jangan baper, mas sehun cuma merasa bersalah saat ini. Cepatlah tidur lita dan esokkan baik-baik saja.

"Dulu kamu memaksa masuk ke pekarangan rumahku dan berlarian disana sekarang kamu berhasil mendobrak pintu hatiku dan berlarian disitu, tapi kenapa kamu berpikir bahwa kamu gagal masuk? Dan berpikir bahwa wanita lain yang masuk, Mas masih tidak mengerti caramu berpikir Lita." Aku terkejut, apa maksud dari ucapan Mas Sehun? Jelas-jelas wanita lain yang berhasil mencuri hati Mas Sehun. Ah, sudahlah lupakan saja. Mas Sehun memelukku semakin erat hingga aku bisa merasakan nafasnya di pucuk kepalaku. Hangat. Hingga aku terbuai dan sampai pada pulau mimpi.

Tanpa terasa pagi menyapaku. Tapi aku belum punya niatan untuk beranjak dari kasur. Samar-samar ku dengar dengkuran halus, itu Mas Sehun. Inginku lihat wajahnya saat tertidur, kapan lagi kan? Tapi aku harus bisa move on. Mulai dari sekarang walaupun Mas Sehun seperti memberi sedikit harapan tadi malam. Tapi aku bukan seseorang yang selama ini ia impikan, aku hanya remahan kentang di matanya. Aku yakin itu. Tapi apa salahnya jika hanya melihat bukan? Memandangi untuk terakhir kalinya sebagai pria yang aku puja.

Aku membalikkan tubuhku perlahan agar ia tak terbangun karena tangannya masih memelukku. Berhasil. Aku melihatnya. Wajah Mas Sehun yang tenang saat tertidur begitu memabukkan. Wajahnya begitu teduh, rasa-rasa ingin menyentuh wajahnya. Sekali saja, untuk pertama dan terakhir. Baiklah, aku menarik napasku perlahan. Aku menyentuh pipinya perlahan dengan jariku. Halus dan kenyal, seperti moci. Sayang sekali aku tak bisa memegangnya setiap hari. Hidungnya yang indah begitu menggemaskan tak luput dari jari lentikku. Kulit putih pucat nya mengkilat di timpa sinar surya pagi. Bibir mungilnya seperti bayi. Sungguh pahatan Tuhan ini begitu indah dipandangi.

"Pagi Lita." Aku terkejut. Mata Mas Sehun masih terpejam tapi ia sudah bersuara. Apakah ia terbangun karena aku? Sepertinya aku tertangkap basah sedang mengagumi keindahan karya Tuhan.

"Pipi aku kenyal banget ya." Ia tersenyum tapi matanya masih terpejam.

"Maaf bikin Mas kebangun." Ia terkekeh lalu membuka matanya. Memangnya apa yang lucu?

"Mas mau setiap hari dibangunin seperti itu, bikin Mas gemas tahu." Ia mencubit pipiku. Sakit. Tapi aku juga senang hingga pipiku memanas. Untungnya kulitku kekuningan sehingga sulit melihat pipiku merona. Tapi, aku masih tidak mengerti maksudnya Mas Sehun itu apa.

"Maksudnya apa si? Kan nanti Mas Sehun punya istri sendiri, minta istrimu lah. Jangan aku ntar disangka pelakor lagi." Aku cemberut. Tentu saja, siapa sih yang ingin menjadi pelakor. Apalagi wajah kakakku yang tidak bisa ditoleransi, siapa yang tidak akan berpikiran bahwa aku tidak akan merebutnya.

"Kan istri Mas kamu nantinya." Dia tersenyum lebar. Dia memang ahli dalam membuai wanita. Tapi tidak mungkin. Aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita yang selama ini ia impikan. Dari segi wajah, aku kalah telak.

"Apaan sih, becanda ga lucu tau!" Mas Sehun berhasil membuatku terbawa suasana. Ayolah, aku masih waras.

"Aku memang tidak bercanda, aku ingin menseriusimu. Kamu maukan jadi istri Mas Sehun yang ganteng ini."

"Mau banget la!" Ia memelukku lagi. Ia memang romantis. Rasanya tidak nyata.

Akhirnya mimpi sedari SMA terwujud. Meskipun aku tak tahu Mas Sehun benar-benar mencintaiku atau tidak. Tapi aku senang. Setidaknya tidak akan ada lagi wanita yang akan menyakiti Mas Sehun. Tidak ada lagi wanita yang mendekati Mas Sehun hanya demi harta. Karena posisi yang mereka inginkan sudah di duduki oleh aku. Aku, adiknya yang mengerti dia sedari kecil. Aku yang tidak pernah tega melihatnya menangis. Dan aku yang selalu ada di sisinya apapun keadaannya. Aku bahagia.

Light Me Up (part 3) - Roselyn NorthGod



Ada dua bocah sedang berlarian di halaman rumahku. Aku jadi teringat di masa lalu. Aku dan Mas Sehun berlarian saling mengejar tanpa mengerti apa yang sedang kami mainkan. Biasanya Mas Sehun dan aku akan bermain sampai tak ingat waktu. Bahkan aku pernah jatuh sakit saking asiknya hujan-hujanan dengan Mas.Pernah ada sebuah peristiwa yang merubah keadaan di kehidupan Mas Sehun. Mas Sehun yang dulu sangat ceria berubah menjadi pendiam. Saat itu usiaku masih empat tahun sedangkan Mas Sehun sebelas tahun. Memang jarak usia yang sangat jauh. Walaupun saat itu Mas Sehun tergolong sudah mengerti keadaan, sudah bisa mandiri untuk pulang ke kampung halaman dan tinggal bersama keluarganya. Ia tidak bisa melakukan itu, ia tidak punya paspor ataupun alamat rumah di kampung halamannya. Mas Sehun terlambat. Terlambat menanyakan tentang keluarga dan semuanya yang perlu ia tahu. Kedua orang tuanya di jemput sang maut terlebih dahulu dan tak membiarkan Mas Sehun untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal .

Jika Mas Sehun bukan tetangga kami mungkin sekarang Mas Sehun sudah menjadi gelandangan. Benar, orang tuanya meninggalkan hutang yang tak mungkin dapat ditanggung oleh seorang bocah berusia sebelas tahun. Rumah dan seluruh aset di dalamnya disita oleh bank.Hingga akhirnya Ayahku menghadiahkanku seorang saudara baru, Sehun.

"Sampai kapan Mas Sehun akan menjadi saudaraku?" tanyaku yang masih sangat polos saat itu.

"Tentu saja selamanya, Lita," Ucapnya sambil mendudukanku di pahanya.

"Benarkah? Jadi Mas Sehun selamanya akan menemaniku? Mas Sehun tidak akan pergi kemanapun dan meninggalkanku? Apakah selamanya juga Mas Sehun akan selalu memelukku kalo aku lagi nangis?" tanyaku beruntun tanpa jeda.

"Benar, Iya, iya, dan iya." Mas Sehun tersenyum padaku, aku memeluknya erat. Seperti mendapatkan boneka baru, aku tak ingin melepaskan pelukanku.

 Ayah mengangkat Sehun sebagai anak karena ayah sangat menginginkan anak lelaki untuk melanjutkan usahanya.

Saat aku duduk di bangku sekolah dasar, Mas Sehun sudah menggunakan seragam putih abu-abu. Aku sangat mengaguminya, entah ini cinta atau bukan. Yang aku tahu, semua yang Mas Sehun lakukan terlihat begitu indah. Ia sangat cerdas dan tak jarang Mas Sehun membantuku mempelajari pelajaran yang sulit. Aku sangat bahagia pada masa itu.

Lalu pada saat Mas Sehun akan memasuki perguruan tinggi. Ayah memberikan kesempatan pada Mas Sehun untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Mas Sehun ingin melanjutkan pendidikannya di kampung halamannya. Walaupun ia tak mengenal siapapun disana, tapi setidaknya ia ingin merasakan rasanya kembali ke tanah airnya yang sesungguhnya.

Aku sedih sekaligus senang saat mendengar berita bahwa Mas Sehun diterima menjadi mahasiswa di Universitas Nasional Seoul di jurusan bisnis. Tak mudah menembus dan duduk di bangku universitas tersebut. Ayah dan Ibu pun menjadi sering memberi nasihat.

"Jika kakakmu bahagia maka kamu juga harus ikut berbahagia akan kebahagiaannya. Kecuali hal yang membuat kakakmu bahagia itu hal yang buruk, baru kamu boleh ikut melarangnya." Ibu selalu mengatakan itu bila aku bertanya haruskah aku senang dengan apa yang Mas Sehun capai.

Akupun menjalani hidupku dengan terus bersekolah dan mendukung Mas Sehun yang jauh di sana. Sekitar 4 tahun lamanya Mas Sehun kuliah di Korea Selatan.

Saat Mas Sehun pulang, tak ada seorangpun yang memberitahuku kapan jelasnya Mas Sehun akan pulang. Saat itu aku baru saja melangkahkan kakiku yang berlapis rok abu-abu untuk pulang ke rumah. Ada seseorang yang di kerumuni siswi. 

Para siswi berteriak, "Oppa!!"

Mereka memang berlebihan. Tidak mungkin ada orang korea yang datang menjemput murid SMA Negeri. Yang benar saja. Sepertinya mereka pusing setelah ujian akhir semester tadi sehingga tak bisa membedakan mana orang indonesia berkulit putih dan mana orang korea sesungguhnya.

"Lita!" Suara seseorang yang sepertinya tak asing bagiku. Namun ada yang aneh, kenapa saat suara tak asing itu memanggilku semua sorak sorai para siswi berhenti?

"Aku di sebelah sini Lita!" Suara pria itu benar-benar tak asing. Aku menengok ke sumber suara.

Betapa terkejutnya aku saat semua siswi yang berkerumun itu melihatku dengan tatapan sinis. Tapi yang lebih mengejutkan adalah ada seseorang yang sangat tampan bak dewa yunani berkulit putih pucat. Itu siapa?

"Ayo kita pulang." Pria itu menarikku menuju mobil yang familiar denganku. Ini mobil Mas Sehun saat masih SMA. Kenapa orang ini membawanya. Tapi orang ini sangat mirip Mas Sehun. Apakah benar ia Mas Sehun? Jika ia benar Mas Sehun artinya ia mengalami pubertas yang terlambat? Ya, perubahan fisik pada Mas Sehun terjadi saat dia kuliah sedangkan lelaki umumnya mengalami perubahan fisik saat SMA. Tapi itu tidak masalah, yang terpenting Mas Sehun sudah pulang.

"Aku tampan ya? Sampai kamu tidak bisa mengeluarkan kata-kata." Ia begitu percaya diri. Walaupun memang benar tapi setidaknya jangan mengatakan dengan jelas.

"Yayaya terserah." Ia terbahak-bahak.

"Disana Mas operasi plastik ya?" godaku

"Tentu saja tidak, yang benar saja."

Selama aku berseragam putih abu-abu, aku sering memperhatikannya. Entah itu di ruang Tv, meja makan, bahkan aku pernah menguntitnya saat ia tidur. Pernah sekali aku ketahuan sedang memperhatikannya.

"Butuh bantuan?" tanyanya yang berhasil membuat fokusku pada mahakarya Tuhan itu buyar.

"Enggak kok." Aku kembali menaruh fokusku pada buku yang penuh akan tragedi dimasa lalu.

"Lalu kenapa kamu melihati Mas terus dari tadi? Sampai tidak berkedip." Ia mendekati yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Gapapa, cuma lagi mikir aja kok." Ia tersenyum, jangan-jangan ia tahu bahwa selama ini aku sering memperhatikannya.

"Mas tahu kok, jangan berbohong."

"Tau apa?" jantungku hampir copot. Sepertinya benar ia tahu semuanya yang pernah aku lakukan sejak ia pulang dari korea. Ia terkekeh, ini bukan waktunya untuk terkekeh.

"Tahu kalau kamu kesulitan mengerjakan tugas sejarah peminatan." Aku membawa bukuku kembali ke kamar. Mas Sehun sangat menjengkelkan. Hanya bisa meremehkan. Hampir saja jantungku terjatuh dari tempatnya.

Semua berjalan begitu indah, masa-masa SMA memang masa yang indah. Bukan kenangan di sekolah tetapi di rumah. Mas Sehun yang kembali dari korea selalu menyempatkan diri untuk sekedar menjemputku atau membantuku mengerjakan tugas. Sahabatku pun sering datang ke rumahku sekedar untuk mencuci mata. Ya walaupun terkadang Mas Sehun sudah pergi ke kantor Ayah.

Hingga saat aku memasuki bangku perguruan tinggi. Semua berubah. Mas Sehun kedatangan teman saat dia kuliah di korea. Ah, sepertinya salah. Yang benar adalah kekasihnya saat di korea. Berjalan sembilan bulan mereka menjalin kasih di indonesia, mereka pun memutuskan menikah. Sejak kedatangan Irene aku sudah mendapatkan firasat tidak baik. Tante Heti pun pernah berkata bahwa aku dan keluargaku harus berhati-hati dengan kedatangan wanita itu. Tapi ayah tidak peduli akan perkataan Tante Heti.

Satu bulan mereka menikah, Ayah dan Ibu meninggal terancuni sarapan yang di buat oleh Irene. Untung saja saat itu aku dan Mas Sehun tidak memakannya. Mas Sehun sempat marah besar kepada Irene. Tapi sebuah rayuan telah membuai Mas Sehun. Semua terasa baik-baik saja. Saat itu aku sudah membenci Irene. Irene meminta dengan sangat memaksa kepada Mas Sehun untuk di belikan tas seharga mobil untuk hadiah ulang tahunnya. Mas Sehun menolak karena masih banyak yang harus diprioritaskan dibandingkan membeli sebuah tas mewah. Mas Sehun di tampar di hadapan teman-teman Irene yang datang jauh dari korea. Betapa malunya aku dan Mas Sehun. Harga diri kami di injak-injak oleh wanita tak tahu diri itu.

Banyak sekali kejadian yang menjatuhkan harga diri Mas Sehun sebagai seorang lelaki sekaligus suami. Hingga aku tak tahan olehnya dan pergi menemui Tante Heti. Satu-satunya orang tua yang tersisa dari keluargaku.

Light Me Up (Part2) - Roselyn NorthGod


 "SUDAH CUKUP!" Wanita di tangga itu berteriak sambil terisak. Ia tersakiti dan malu. Tampak jelas di wajahnya. Mas Sehun pun terlihat menahan tinjunya begitu pula dengan pria asing itu.

 "Apa maumu Suho? Kau ingin aku pulang?" Wanita itu tak bisa membendung isakkannya.

 "Ya! Pulang, tempatmu bukan disini." Wanita itu mengangguk setuju akan pernyataan lelaki yang mengaku sebagai Suaminya itu. Wanita itu mulai menuruni anak tangga dan mendekati pria asing itu.

 "Tunggu!" Cegat Mas yang membuatku geram.

 "Kau juga istriku, kita menikah atas dasar cinta. Kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja." Aku lelah dengan drama ini, aku tau bahwa Mas Sehun mengetahui Irene tidak benar-benar mencintainya. Sadarlah Mas. Aku yang mencintaimu, dengan tulus.

 "Cinta? Maafkan aku selama ini aku hanya mencintai hartamu. Kuharap kau tau itu." Sepasang manusia itu pergi tanpa pamit. Hanya meninggalkan jejak. Sepertinya aku harus menyumbangkan pakaian Irene yang ditinggal sang pemilik.

Tapi aku dapat melihat kakakku tercinta hanya diam mematung. Dari sudut matanya terlihat ada perih yang berusaha ia tahan. Aku tahu ini semua tidak mudah baginya. Tapi aku tidak bisa membiarkan wanita busuk itu terus menggerogoti hati dan harta Mas Sehun. Aku dapat melihat bulir air mata hampir terjatuh dari sudut matanya.

"Mas Sehun?" Ayolah, masih ada aku disini. Janganlah kau bersedih. Bukankah kau juga menyayangiku ? Ia menunduk. Memandang ujung kakinya yang lebih indah dilihat daripada pintu itu. Ia tersenyum getir. Berusaha menahan pedih.

"Mas gapapa kok. Hanya terkejut." Hanya terkejut? Baiklah. Tak apa bila hanya terkejut. Ia pergi ke ruangannya tanpa kata lagi. Mungkin benar. Hanya terkejut.

3 minggu sudah berlalu. Mas Sehunpun sudah sedikit bersinar. Sepertinya ia sudah melupakan wanita itu. Ingin sekali aku menggantikan posisi wanita itu. Tapi belum saatnya. Mas Sehun masih terluka dengan kepergian wanita itu.

Aku dan Sehun sedang bersantai di ruang Tv. Aku ingin menonton film kesukaannya yang akan tayang malam ini. Tinggal 30menit lagi. Oh, ada Breaking News. Kira-kira ada apa ya. Tumben sekali malam-malam begini ada. Kapal tenggelam di Korea Selatan? Separah itukah sampai masuk ke berita Indonesia?

"Kasihan ya." Akhirnya ia mengeluarkan suara. Biasanya jika ada berita ia hanya akan diam. Dan menyuruhku juga untuk diam. Tumben sekali. Akhirnya filmnya mulai. Film laga kesukaannya ini biasanya ampuh mengobati luka sedihnya. Seperti saat Ayah meninggal.

Drrtt drrttt drrtt

"Itu hpnya bunyi Mas, diangkat dulu kek ganggu tau." Kesalku.

Terdengar suara asisten Mas Sehun, Jeno. Sepertinya bukan tentang bisnis. Samar-samar ku dengar tentang kapal yang tenggelam. Mas Sehun menjauh. Sepenting itukah kapal yang tenggelam itu? Apakah ada hubungannya dengan Mas? Bukannya itu milik Korea Selatan. Setahuku itu bukan milik Perusahaan. Mas Sehun kembali. Dengan wajah kusut. Apakah ada bisnis yang berhubungan dengan kapal itu? Ada apa sebenarnya. Kenapa Mas Sehun diam saja. Tapi wajahnya hampir mengeluarkan air mata.

"Ada apa?" Aku berusaha menggenggam tangan Mas. Berusaha menenangkan.

"Kapal yang tenggelam itu membawa Irene dan suami aslinya." Air mata itu berhasil jatuh. Disusul dengan dua air mata lainnya.

Yang benar saja. Dia masih memikirkan wanita itu. Wanita yang merobek-robek hatinya. Lalu pergi tanpa pamit. Seolah tidak ada cinta kasih yang tersimpan di hatinya.

"Sudahlah Mas. Ia sudah pergi jangan dipikirkan lagi." Aku mengatakan apa yang menurutku benar. Dan memang benar bukan? Wanita dengan 2 suami. Yang benar saja.

"Tapi aku masih sayang sama dia." Sayang? Sungguh terlalu kau mas.

"Mas dulu aku tu yang paling disayang masa mas. Kenapa sekarang enggak. Kenapa mas suka sama cewe bajingan itu, kenapa sama Lita enggak?"

"Jaga mulutmu Lita! Kamu hanya sebatas adik, bukan kekasih." Mas melangkah pergi. Tapi ia harus mendengarkan aku sekali saja.

"Tapi kamu juga berhak bahagia! Sampai kapan mas akan terus terinjak-injak oleh rasa yang tak terbalas dari wanita jalang itu! Cewe itu udah menginjak-injak harga diri kamu di depan teman-temannya. Inget ga !" Ia terdiam. Mungkin ia sedang berpikir kalau aku benar.

"Inget ga, dulu mas ditampar cuma gara-gara tas berharga selangit itu. Padahal mas jauh lebih berharga daripada tas itu. Inget ga mas ? Bukannya itu sakit? Sekarang mas bebas dari rasa sakit itu. Berbahagialah mas." Aku dapat melihatnya sedikit tersenyum.

"Tapi aku sendiri sekarang Lita." Astaga, buka mata dan hatimu Mas.

"Bangunlah Mas, masih ada Lita disini." Mas pergi. Tanpa bersuara lagi. Mungkin ia akan berubah pikiran. Semoga saja. Aku tak ingin melihatmu terluka lagi. Aku hanya ingin dia bahagia. Dan aku tahu, aku juga bisa membuatnya bahagia. Bukan hanya wanita itu. Atau wanita manapun selain aku. Karena hanya aku yang mengenalnya. Sejak kecil.

Matahari pagi menyapa sudut jendelaku hari ini. Hari ini adalah hari minggu. Hari yang semua orang tunggu. Aku akan membuatkan sarapan untuk Masku. Ia pasti akan senang. Aku membuatkan telur yang dimasak setengah matang. Orang-orang memanggilnya omelette. Aku memanggilnya telur dadar setengah matang.

Semua sudah siap. Waktunya membangunkan Mas. Aku pergi ke kamarnya. Mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Mungkin Mas sedang pergi lari pagi. Manusia berperut kotak-kotak itu tak ingin tubuhnya jelek. Ia duda tampan. Aku menunggu sampai ia pulang.

Aku menunggu di meja makan. Sambil memainkan ponsel pintarku agar tak mudah bosan. Aku menunggu sekitar 30menit. Ia tak kunjung datang. Mungkin ia pergi ke car free day. Aku akan tetap menunggu. Karena rasanya sudah lama sekali tidak makan berdua bersama Mas. Aku menunggu lagi. Hingga tak terasa sudah 1 jam lamanya aku menunggu. Cacing-cacing di perutku sudah tidak sabar untuk diberi makan. Aku menunggu lagi. Lama sekali. Sampai akhirnya aku tidak kuat lagi menahan gejolak lapar. Aku makan terlebih dahulu. Mungkin minggu depan aku baru bisa makan bersama Mas.

Aku memutuskan untuk sekedar menonton Tv. Melarikan diri dari tugas kuliahku. Aku mengambil benda persegi panjang penuh tombol itu. Aku memutuskan menonton drama picisan. Sebenarnya membosankan. Hingga aku tertidur karenanya.

Aku terbangun karena suara iklan Tv yang mengejutkan. Kulihat jam. Sudah jam 11 siang. Sebentar lagi makan siang. Apakah mas sudah sarapan? Kulihat meja makan. Masih ada sarapan yang tadi aku siapkan. Mungkin mas sudah sarapan di luar. Tapi kenapa tidak membangunkanku? Aku memutuskan pergi ke kamar Mas Sehun.

Ku ketuk pintunya. Tak ada jawaban. Apakah tertidur? Tanpa sengaja pintu kamar Mas terbuka. Baiklah aku akan masuk. Tak ada Mas. Aku semakin masuk. Lalu mas kemana bila tak ada di kamar. Dan kenapa semua baju Mas tak ada! Mas Sehun pergi dari rumah? Tapi kenapa? Ada surat tergeletak di atas kasurnya. Ku buka.

 "Hai Litaku Tersayang.

Maaf aku pergi subuh tadi. Aku baik-baik saja, aku pergi hanya untuk berlibur. Jangan cari aku, aku akan pulang ke rumah pada saatnya. Jadi aku titipkan perusahaan kita, kamu mengerti kan? Itu bidang kamu. Semangat skripsinya ya, Mas yakin kamu bisa cumlude. Dan jangan terlalu memikirkan mas karena mas baik-baik saja dan mas juga tidak yakin kapan mas akan pulang. Tapi mas janji akan segera pulang. Jangan bersedih ya <3

Salam sayang,

MasMu Tercinta"

Light Me Up Oleh : Roselyn NorthGod



   Di hari yang mendung ini aku masih menatap mentari yang bersembunyi di balik awan. Pikiranku kacau. Ingin sekali aku menyakitikan wanita itu. Wanita yang telah menyakiti masku padahal Ia dijadikan wanita paling berharga dihidupnya, melebihi adiknya sendiri. 

"Kayaknya bener kata Chanyeol, *kita harus ketemu Tante Heti. Setahu *kita si, Tante Heti itu paranormal. Tapi Ayah bilang tante Heti paranoid. Ya pokoknya harus ketemu tante Heti." Ucapku pada Sang Raja yang masih berjuang menerangi bumi.

 Aku pergi ke rumah tante Heti di kawasan Kabupaten Cirebon. Aku disuguhi pemandangan pepohonan yang hijau juga udara yang sejuk. Sesampainya di pekarangan rumah tante Heti, seorang wanita berusia 40 tahun itu menyambutku dengan pelukan hangat.

"Aku tau kok kenapa kamu kesini." Bahkan aku belum mengatakan sepatah katapun tetapi dia sudah tahu apa yang membawaku kemari. Tapi apakah dia benar-benar tahu kenapa aku kesini?

"Aku tau kamu pengen membunuh jalang yang kakakmu nikahi itu." Ucap tante dengan serigaian yang membuat alisku bertemu, "aku juga benci jalang itu, ia datang hanya untuk menguras habis harta keluarga kita." Bagaimana bisa ia mengetahui hal itu, "sudahlah, ayo kita masuk. Aku punya bajigur hangat kesukaanmu."

Aku menyesap minuman bersantan yang masih hangat ini. Tapi aku masih bingung. Bagaimana aku akan mengutarakan isi hatiku yang brutal dan tidak berperi kemanusiaan ini?

"Tante." Mungkin aku harus to the point saja.

"Aku mau Irene mati mengenaskan." Ucapku hanya dibalas senyum oleh tante.

"Aku juga ingin dia merasakan pedihnya penderitaan kakakku." Ku sesap kembali gelas berisi kopi bersantan itu, "contohnya?"

"Semua cairan yang keluar dari tubuhnya merupakan darah." Apakah aku terlalu kejam? Suara batinku terus bertanya.

"Sungguh? Menurut tante sih kurang kejam deh." Seketika pikiranku berlari kepada pendapat Ayah bahwa Tante Heti merupakan paranoid. Menurutku Tante Heti lebih seperti psikopat.

Aku pulang ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Aku mendapati Sehun tertidur di sofa ruang tamu. Sepertinya ia menungguku pulang," Mas, bangun. Tidurnya di kamar aja." Sehun menggeliat dan mulai membuka matanya. Ia hanya tersenyum sebagai bentuk penolakan. Mereka pasti habis bertengkar," Berhenti mengalah mas, kau harus tegas." Aku jengah dengan sikap pengalahnya itu. Ia hanya akan semakin terinjak-injak oleh istrinya. Oh, sepertinya aku salah. Jalangnya. Wanita itu tak pantas disebut istri.

Tak lama setelah aku menginginkan kematian jalang itu. Irene mulai terlihat tak berdaya dikesehariannya. Ya, dia mulai mengalami pendarahan yang mengerikan. Awalnya hanya muntah darah setelah memakan makanan yang bersantan. Kini terus berlanjut hingga keringat yang awalnya beraroma asam kini beraroma amis dan berwarna merah. Gedung yang dipenuhi oleh manusia yang tak sehatpun tak mau mengobati atau bahkan sekedar menampung Irene yang malang ini. Terlalu mengerikan untuk diobati, pikir para manusia berjas putih.

Kini sudah dua minggu jalang itu menjadi manusia yang sangat mengenaskan. Disetiap harinya hanya dapat bersedih. Seperti apa yang Sehun rasakan selama ini berbalik padanya. Wanita cantik nan pintar bak nirmala itu sekarang tak ada bedanya dengan sampah. Terbuang dan tak terpandang. Kecuali Sehun. Aku tak mengerti cara otaknya bekerja. Bagaimana bisa ia masih setia kepada jalang yang sudah mengeruk hartanya dan juga merampas kebahagiannya. Bagaimana bisa ?

Saat Sehun dan aku sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Pintu kayu bergagang emas yang terletak dibagian depan rumah ini tergedor dengan begitu kencangnya. Seorang pelayan pria membukakan pintu. Belum sempat bertanya ada gerangan apa kemari. Pria berkulit putih pucat itu berteriak lantang memanggil nama seseorang menggunakan bahasa korea.

"Bae Irene!!!" Oh, sepertinya jalang itu memiliki masalah dengan pria tak dikenal ini.

"Ada apa ini?" tanya Mas Sehun. Pria itu terlihat dilanda murka, "aku ingin menjemput Irene pulang ke Korea."

"Memangnya anda siapa dapat membawa istri saya pergi dari rumah ini seenaknya." Ucap Mas Sehun penuh kesabaran, "Aku suaminya!!! Bukan dirimu, dia sudah menjadi istriku selama 5 tahun lamanya dan ia kemari untuk bekerja! Jadi jangan mengaku-ngaku bahwa kau adalah suaminya!" wajah pria itu terlihat memerah dan jari telunjuknya tak berhenti mengarah ke wajah  Mas Sehun. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun dan siap diledakkan. Terlihat di ujung tangga itu, ada seorang wanita yang ketakutan. Wanita itu kebingungan antara menemui pria asing itu atau menetap dimananya.

"Bekerja? Dia kemari untuk menikah denganku! Dan jaga sikap anda dirumah saya." Sehun terlihat mengepal tangannya bersiap menghabisi pria asing ini. Sedangkan wanita yang menjadi akar masalah ini hanya terdiam membeku di anak tangga. Aku mencium bau-bau pertarungan antar pria yang memperebutkan seorang wanita yang tidak jelas statusnya. 

Minggu, 21 Juni 2020

My Nick Name Is Venus - Via Indriansi

PART 1

Malam kian larut. Lampu panggung bersinar makin terang. Ini adalah malam puncak pentas seni SMA Mega Buana dalam rangka memperingati hari ulang tahun sekolah. semua siswa bersorak seroi menyaksikan penampilan guestar yang akan tampil sesaat lagi untuk ikut memeriahkan acara. MC handal didapati dari pengurus osis yang telah mendedikasikan dua minggu dirinya latihan tingkat ekstra kini tampil dengan ahli bukan main, seolah panggung itu miliknya seorang, yang lain? ngontrak. Ia tak perlu banyak tingkah untuk mendapati semangat audience, karena tanpa diminta pun audience ikhlas sepenuh hati setinggi rasa untuk ikut memeriahkan acara dengan mengeluarkan teriakan volume penuh. 

“Selamat malam penikmat musik...,” teriak Roy, MC sukarela yang sudah bersedia memandu jalannya acara meski tanpa bayaran.

Seluruh siswa menjawab sapaan semangat Roy dengan teriakan tanpa batas. Menembus petala langit hingga mengguncang planet-planet yang beredar pada porosnya, terdiam sejenak, terheran rasa kaget yang mendalam menyaksikan semangat gila tanpa tujuan yang diutarakan penghuni, planet kehidupan. Bumi. 

“Sudah siap menyaksikan penampilan keren dari guestar kita?” tanya Roy kembali berteriak agar suaranya mencapai seluruh audience.

“Siapppp...,” jawab mereka tak kalah semangat dengan pembawa acara,

“Mari kita saksikan penampilan.... Venus...,” tambah Roy sekaligus memanggil pengisi acara yang sudah ditunggu audience.

Sang Bintang keluar dengan pancaran pesonanya. Mata belo’ dengan barisan bulu mata lentik di tambah sapuan eye shadow dan maskara membuat matanya lebih indah. Alis mata tebal seperti gelombang laut yang hampir bersambung menjadi sisi tambahnyanya. Sedikit senyman kecil di kedua sudut bibirnya menambah keanggunannya. Rambut hitam sebahu dengan poni tengah terlihat seseuai dengan porsi wajahnya. Kalung liontin kelinci perak yang selalu dipakainya, sangat serasi pada lehernya yang jenjang. Baju blus klasik biru muda dengan pita putih di kedua sisi bahu menambah feminim fashionnya malam ini. Rok mini abu ditambah sepatu kets putih yang dikenakan menyempurnakan tampilanya.

 Lyara Ketty, gadis remaja yang banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya kini tampil bak ratu dari planet venus.

Lyara tampil dengan musik jazznya yang membuat seluruh audience ikut bersorak ria dalam musik yang dimainkan. Kini, harapan yang lama membenam akhirnya terwujudkan. Keinginan hati, agar dunia melihatnya, terkabul sudah. Tidak ada yang perlu ia takutkan, meski mungkin hanya untuk malam ini saja, setidaknya dia pemilik panggung itu. Meski esok hujatan yang akan kembali ia telan, ah, untuk esok biarlah jadi urusan esok. Kini, ia hanya harus fokus pada kesempatan yang tidak akan datang dua kali.

Lyara berhasil, ia memainkan dengan baik. Bahkan semua melihatnya sebagai Venus, tak satu orang pun yang melihatnya sebagai Lyara Ketty, Miss Orc, yang acap kali diejek sebagai iblis penunggu kelas XI. Terlahir jelek bukan hal yang dia inginkan. Jika bisa memilih, tentu saja ia ingin hidup sebagai wanita cantik dengan keanggunan paras yang dapat menjelma, hipnotis setiap orang yang memandangnya. 



Minggu, 14 Juni 2020

BERSAMA BINTANG - Devi AMELIA

Last Chapter






"Daniel? Kamu serius nyusul ke Jakarta?" Seru Raya dengan suara meninggi, ia benar-benar gembira.

Bahkan saking gembiranya, ia lupa kalau saat ini ia sedang bersama Bintang--cowok itu malah menatap punggung Raya yang memang sedang menerima telpon dengan berdiri membelakangi Bintang yang membiarkan dahi nya berkerut sesekali mengusap leher gelas kaca didepannya yang masih menyisakan separuh cola bercampur es batu.

"Wait me, future wife."

Raya tersenyum lebar, "See you, miss you too."

"Ish, nggak ada yang bilang kangen sama kamu."

"Hati kamu bilang gitu, masa?"

"Hati yang pengertian."

"Ya udah, ya? Aku tutup dulu, ada urusan."

"Okay, congrat as your success. Semoga kamu nggak kecantol sama cowok lain,"

Mendadak Raya bungkam. Dan satu nama yang saat itu melintas di pikirannya adalah, Bintang. Raya menggeleng pelan, mengusir jauh-jauh pikiran konyol semacam itu. Raya ragu, ia tidak mungkin menyukai Bintang. Tapi..

Kenapa didekat nya, Raya merasakan hal yang sama seperti ketika ia bersama Daniel? Mustahil ia bisa jatuh cinta dengan waktu bersamaan kepada orang yang berbeda.

"Hey, kok diem? Are you okay?"

Raya terpanjat, "Ah, enggak kok. Mungkin cuma kacapekan,"

"Its, oke. Jangan lupa istirahat,"

"Too. Udah, ya? Bye.."

Bintang mengalihkan pandangan kearah lain saat Raya sudah membalikkan badan kearahnya, alibi saja supaya Bintang tidak ketahuan kalau sedari tadi ia hanya mengamati Raya.

Raya duduk dikursinya lagi, lalu meletakkan ponselnya ke meja. Gadis itu memijit kepalanya yang sedikit berdenyut. Jujur, Raya masih memikirkan ucapan Daniel tadi.

"Kenapa?" tanya Bintang, lalu menggeser sepiring Donat kearah Raya. "Tuh, makan."

Raya meringis, lalu meraih sepotong dengan garpu nya. Terlihat ogah-ogahan, Raya memasukkan sepotong Donat dengan cheesee sauce kesukaannya kedalam mulutnya.

Bintang menaikkan alis. Padahal Raya tadi begitu antusias ketika ia mengajaknya sekedar ngabuburit di Doughnut Cafe.

Penasaran. Tapi Bintang tahu satu hal, perubahan mood Raya ada hubungannya dengan si penelpon tadi.

"Ray, aku boleh tanya sama kamu?" Tanya Bintang hati-hati.

"Iyalah, gratis. Kayak sama siapa aja,"

"Ya, enggak. Kan Kamu udah beda dari Raya dulu,"

Raya tertawa kecil, "Emang beda kenapa?"

"Enggak, kok. Nggak jadi,"

"Apa, sih? Kamu mau nanya apa?"

Bintang menelan saliva nya susah payah, lalu bertanya pelan. "Tadi yang nelpon siapa?"

Raya terdiam, ia menjadi ragu untuk menjawab pertanyaan Bintang. Seperti ada yang salah. Tapi Raya sendiri tidak tahu alasannya, memikirkanya semakin membuat kepalanya sakit.

"Kenapa emang?" tanya Raya.

Dari ucapan Raya barusan, Bintang bisa menyimpulkan kalau Raya sedang tidak mau membicarakan hal ini.

Bintang menggeleng, "Enggak, kok. Nggak papa,"

"Ooh, ya udah." Raya meletakkan garpu nya, lalu mengeliat dan menyentuh perutnya sendiri. "Kenyang, ah. Kamu makan, deh!"

"Yah, sama. Bungkus aja, buat anak-anak." Ujar Bintang, mengusulkan.

"Hh?" Raya mengerjap. "Anak-anak?"

"Panti Asuhan," Bintang memginterupsi.

Raya tertawa sendiri. Ucapan Bintang memang terdengar sedikit ambigu ditelinganya. "Aku kira apaan,"

"Apa emang?" Iseng, Bintang sengaja bertanya. "Dih, udah mikir yang kesana-sana. Ngebet banget punya anak-anak,"

"Enggak, ya kamu rada ambigu."

"Yee, kamu yang mikirnya sampe kesana." Kata Bintang, terkekeh geli.

"Biarin, sih. Kan aku bukan bocah lagi, jadi wajar."

Bintang tersenyum simpul. "Kamu tahu nggak, aku punya rahasia."

"Apa?" Tanya Raya. "Rahasianya?"

"Kamu percaya nggak, sih? Kalo aku bilang, aku pernah jatuh cinta ratusan kali dalam sehari?"

Raya tertegun, pertanyaan yang cukup menarik. Gadis itu tertawa tanpa suara, lalu menatap Bintang yang masih mengulum senyuman.

Raya menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, "Gila, sama siapa aja?"

"Kamu mau aku kasih tau dari yang pertama atau yang ke terakhir?"

"... Pertama?"

Bintang mengambil napas panjang, lalu mendekatkan kepalanya. "Yang pertama Raya, yang kedua Raya, yang ketiga Raya, yang keempat Raya, yang kelima Raya, Yang keenam Raya, yang ketujuh.. Oh iya, Raya juga. Yang ke delapan Raya, Yang kesembilan Raya, yang ke---"

"Bintang?"

Bintang menghentikan suara nya, ia menoleh kearah Raya. "Aku baru inget, ternyata jatuh cinta nya sama orang yang sama. Raya."

Demi apapun, Raya benci situasi seperti ini. Gadis itu masih membeku ditempatnya, mati-matian menahan napas. Mampus, hati Raya bergejolak seolah mendobrak ingin keluar. Getaran di dada nya semakin membuncah, ini gila.

Tubuh Raya gemetaran, ia tidak menyangka hari seperti ini akan datang.

"Raya, aku pernah bilang bakal kasih kamu kado diulang tahun kamu yang ke-enam dulu. Mungkin agak terlambat, tapi.." Raya terkesima, ketika Bintang mengeluarkan sesuatu dari kantung celana nya. Sebuah kotak berbentuk hati dengan pelapis berwarna merah segar. Siapapun tahu, itu adalah kotak perhiasan.

"Aku nggak minta kamu buat suka sama aku," Ujar Bintang seraya menyerahkan kotak perhiasan kecil kearah Raya yang masih terpaku.

"... Bintang-- aku nggak bisa terima. Eh, aku pulang duluan ya. Makasih udah ngajak kesini,"

Bintang mendongak melihat Raya yang buru-buru berdiri, ia meraih ponselnya yang sebelumnya tergeletak diatas meja.

Saat itu, Bintang tahu.. Raya tidak nyaman.

"Raya, Aku anter pulang ya?" tanya Bintang sebelum Raya benar-benar pergi berlalu.

"Ah, enggak usah. Aku naik taksi, byee!"

•••

Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir antara Bintang dan Raya. Entahlah, Bintang tidak mendapat balasan apa-apa setiap kali ia mengirim pesan email ke Raya. Bintang tahu, itu ada hubungannya dengan ia yang telah mengutarakan perasaan nya di Kafe saat itu.

Atau mungkin.. Karena Raya memang cukup sibuk? 

Bintang harap begitu.

Siang ini, sidang atas kasus tuduhan penggelapan uang dari Pramana berjalan lancar. Seperti yang Bintang duga sebelumnya, Raya sangat enerjik mengutarakan argumen-argumennya kepada ketua hakim sehingga sebagian besar kemungkingan, Hakim akan berpihak kepada nya.

Raya juga senang ketika Ketua Hakim memutuskan untuk menutup Kasus ini, akibat tidak adanya bukti. Dan Pramana akan bebas sebentar lagi.

Bintang berjalan keluar dari pengadilan beriringan dengan Raya, wajahnya cerah.

"Makasih, ya.." Kata Bintang tulus.

Raya menoleh, tersenyum canggung. Sejak kejadian di Kafe waktu itu, Bintang merasa ada yang lain dengan Raya. "Sama-sama, Aku seneng bisa bantu Papa kamu."

"Iya, sekarang orang yang nuduh Papa udah ditahan. Itu berkat kamu,"

"Maksud kamu Pak Candra?" tanya Raya. "Aku lupa bilang sama kamu, tadi aku juga tertarik ngurus kasus beliau. Dan setelah aku pelajari lagi, aku yakin kalau Pak Candra itu lah yang udah menggelapkan dana bantuan dari perusahaan lain. Beliau menuduh Pak Pramana sebagai alibi buat nutupin kedoknya. Jadi habis ini, aku bakal urus tuntutan buat Pak Candra."

Bintang tersenyum lega, "Bahkan aku nggak ngira sampe kesana."

"Raya!"

Bintang dan Raya menoleh kearah sumber suara. Seorang pemuda berjaket hitam dan bertopi biru gelap berlari mendekati kedua nya. Aroma mint khas nya membuat Raya tahu siapa yang sedang berlari kecil mendekati nya dalam sekejap.

Raya tersenyum lebar. "Daniel!"

Dada Bintang berpacu berlomba dengan pergerakan napas nya, begitu mendengar nama itu. Daniel, nama itu sudah Bintang hapal diluar kepala.

Puluhan pertanyaan kini mulai menghinggapi hati nya. Pertanyaan-pertanyaan yang mengundang kecemasan, sebuah kecemasan yang akhirnya membuat Bintang takut akan sebuah kehilangan.

Perasaan yang sama, persis seperti yang Raya takutkan dan rasakan dua puluh tahun lalu.

"Hei, big baby.." Ucap Daniel setelah memeluk erat Raya, didepan Bintang.

Raya tersenyum kaku, benar-benar situasi yang rumit.

"Kok kamu bisa kesini?" tanya Raya.

"Tadi aku ke Panti, terus dikasih tau Bunda Mutia kalo sekarang kamu ada jadwal sidang disini." Jawab Daniel, dengan bahasa Indonesia nya yang fasih.

Laki-laki blesteran itu memang sudah cukup menguasai beberapa bahasa dengan fasih, termasuk Bahasa Indonesia. Pandangan Daniel mengarah ke Bintang, lalu menatap Raya penuh tanda tanya.

Raya menatap Bintang, lalu tersenyum canggung. "Daniel, dia Bintang. Bintang, dia Daniel."

"Daniel." Tangan Daniel terulur, dan Bintang membalas tangan Daniel ragu.

"Bintang."

"Bintang? Star? really nice name, bro." Daniel tersenyum ramah.

"Terima kasih," Balas Bintang, tersenyum singkat. "Raya, Daniel, aku pergu duluan ya."

Raya menghembuskan napas lega, lalu mengangguk. Suasana yang runyam dan canggung, bila Bintang terus ada disini.

Jujur, Raya masih rindu dengan Bintang. Rindu dengan segala tentang Bintang, tapi sayangnya Bintang terlambat untuk melangkah lebih dahulu. Karena sekarang, Raya lebih memilih Daniel.

"Dan, kamu nggak mau kerumah?" tanya Raya, lalu menarik lengan Daniel untuk berjalan beriringan menjauhi tempat ini.

Sedangkan Bintang sedang berusaha memperlambat langkahnya, demi mendengar percakapan antara Raya dengan Daniel dibelakangnya.

"No, kita ke tempat Bunda aja langsung. Aku kesini kan mau ketemu sama Beliau."

"Kan bisa nanti malam, Kamu nggak capek?"

Daniel menggeleng, tersenyum. "Nanti aku malah capek kalo nggak cepet-cepet kasih tau ke Bunda, buat nikahin kamu."

Deg

Hampir saja Bintang hendak menoleh kebelakang lalu meminta Daniel mengulang ucapannya, untuk sekedar memastikan pendengarannya.

Detik itu juga, lututnya melemas. Dan sekarang, Bintang tahu bahwa ia sudah kehilangan Raya.

Perempuan yang selalu mengusik otaknya, yang selalu membuatnya semangat untuk mencari tahu segala hal tentang Raya diinternet, kini telah pergi bersama dengan orang lain.

Bintang tersenyum, miris. Mungkin karena itu, Raya menolak hadiah dari nya.

"Nggak nyambung, tau!"

Dada Bintang berdesir hebat, ketika mendengar kekehan Raya. Ada perasaan tidak rela, ketika Raya tertawa bukan karena dan kepada nya. Tetapi karena orang lain, calon Suaminya.

"Eh, lucu tau kalo kita nikah. Pasangan yang sama-sama berprofesi sebagai pengacara menikah. Tuh, kan! Lucu nggak?"

"Apa, sih? Biasa aja."

"Shmily,"

"Hh? Apaan?"

"See how much, i love you."

"Hahaha.."

...

•••

"Papa!" desis Raya tidak percaya, air mata nya menetes deras. Tangan nya terulur untuk meraih jeruji besi didepannya, tangan Raya menggenggam erat batangan besi yang menjadi pembatas antara ia dan Sang Papa.

Pemandangan yang begitu menggetarkan hati Raya, gadis itu menangis sesenggukan ketika melihat seorang laki-laki tua sedang memeluk dirinya sendiri, menatap sekelilingnya lalu berteriak ketakutan.

Sesekali Pria yang disebut Papa oleh Raya itu tertawa-tawa sendirian. Namun dalam hitungan detik, kembali menangis.

Apalagi ketika Raya memanggilnya beberapa kali.

"Hei, sweety.. Jangan nangis, Papa pasti baik-baik aja." Daniel menyentuh kedua bahu Raya dari belakang, menenangkan Gadis nya yang sedang terpukul.

Raya menggeleng, "Maafin Raya, Pa.."

"Ini bukan salah kamu, Sweety. Kamu udah melakukan hal yang benar."

"Aku nggak tahu.." Raya kemudian berbalik, memeluk Daniel erat. Menumpahkan segala kesedihannya, berharap seseorang akan mengerti dengan perasaannya. "Aku nggak tahu kalau Papa adalah Pak Candra, orang yang sama dengan orang yang udah aku tuntut atas kasus nya Pak Pramana. Aku nuntut Papa kandung aku sendiri, Dan!"

Daniel meletakkan dagunya ke pucuk kepala Raya, tangannya mengelus punggung Raya lembut. "Kamu pernah bilang kalo tujuan kamu jadi pengacara, supaya kamu bisa memberikan keadilan bagi semua orang. Right?"

"Apa aku jahat, Dan?"

"Enggak, ini udah takdir. Jangan pernah salahin diri sendiri, Ray."

Raya melepaskan pelukannya, lalu kembali menatap Candra yang masih tertawa-tawa sendirian. Air mata Raya kembali tumpah, hatinya seperti dipukul oleh ribuan palu hingga tidak berbentuk lagi.

Bahkan Raya baru tahu kalau nama Papa nya adalah Candra.

Raya baru tahu tadi pagi ketika petugas kepolisian menyerahkan data Candra kepada Raya, si penuntut kepada terdakwa.

"Dan, aku nggak tahu harus bersikap gimana ke Papa.." Cicit Raya perlahan. "Setelah aku juga tahu, bahwa Papa yang menjadi alasan Mama pergi."

Kembali tangisan Raya pecah, wajahnya memerah. Dada nya sesak, ia sudah cukup lama menangis sampai matanya membengkak.

Pagi ini, Raya mulai kembali rapuh. Luka yang selalu ia timbun agar tidak terus menguak kini kembali menganga, dan semakin membuat hatinya sakit.

"Kamu nggak sendirian, aku disini."

•••

"APA YANG UDAH KAMU LAKUIN KE DIA?!"

Seorang wanita muda menangis ketakutan, sambil berpegangan pada pilar rumah didekatnya. Seluruh tubuhnya lemas, dan perutnya terasa mual melihat sesuatu didepannya.

Karin, Wanita yang masih berstatus sebagai Isteri dari seorang Ananda Candra itu menutup mulutnya, menahan suara tangisannya.

"Iblis!!" Teriak Karin. Keseimbangannya jatuh, ia terduduk begitu saja diatas lantai keramik yang dingin. "Aku udah lapor polisi, sekarang kamu harus tanggung jawab, Jahanam!"

Candra menjatuhkan Sebilah Pisau daging dari tangannya yang berlumuran darah hingga menimbulkan suara nyaring, lalu menarik rambutnya kebingungan. "A-aku.."

"Kamu udah selingkuh! Bahkan sekarang kamu kembali berulah dengan membunuh selingkuhan kamu!"

"Diam kamu!!" Candra berteriak frustasi. "Aku nggak sengaja, aku nggak sengaja bunuh Desi!"

Karin bergetar hebat ketika bayangan penikaman Desi berputar dibenaknya. Wanita itu menangis sejadi-jadinya, lalu kembali menyalahkan Candra.

"Kamu nggak waras! Kamu harus tanggung jawab!"

Candra terkejut, lalu ketakutan. Ia mendekati Karin, hingga wanita itu memcoba menghindar. Candra menggeleng, "Jangan gitu, Karin. Aku bunuh dia--demi kamu. Aku nggak mau ada dia lagi, tapi dia tetap maksa aku buat nikahin dia."

Karin benar-benar ketakutan ketika Candra semakin mendekatinya. Ia menghindar, berlari singkat--sebelum akhirnya Candra mendorongnya jatuh, tepat disamping mayat seorang wanita yang sudah kaku dengan luka tusukan diperutnya.

Candra menggeleng, lalu menatap Karin sedih. "Kamu juga harus mati kalau begitu, maafin aku.."

Baru saja Candra ingin membungkuk meraih pisau daging yang tadi sudah digunakan untuk menikam Desi, Karin sudah meraihnya lebih dahulu.

Napas Karin memburu, ia mengacungkan sebilah pisau itu kearah Candra untuk menjaga dirinya. "JANGAN MENDEKAT!"

Candra sedikit mundur begitu tahu ancaman yang ia dapatkan.

"Mamaaa! Mamaa! Buka pintunya, Maa!"

"Mamaa! Raya mau keluar!"

"Mama!"

"Papaa! Tolong Raya, Pa!"

Keheningan diantara Candra dan Karin membuat suara teriakan Raya dari dalam kamar terdengar jelas.

Seketika Candra tersenyum iblis, ia menemukan mainan baru nya. "Jatuhkan pisau itu atau saya bakal jual Raya!"

"Candra Biadab! Dia anak kamu!!"

"Aku nggak perduli!"

Detik selanjutnya adalah ketika dari luar, terdengar letupan senjata api. Para polisi berjaket kulit yang membawa pistol itu bergegas masuk dari segala pintu dirumah itu untuk mencegah pelaku kabur.

"Angkat tangan semuanya!"

Candra terkejut, tetapi ia mencoba untuk tenang. "Tangkap isteri saya itu, pak! Dia nggak waras! Dia udah bunuh Desi, dia cemburu sama Desi!"

Karin berdiri, menjatuhkan pisau dari tangannya. Dada nya mencelos ketika Candra menuduhnya seperti itu, ia menggeleng cepat. "Saya nggak salah!! Dia yang bunuh Desi!"

"Saya nggak salah! Kenapa tangan saya diborgol?!"

"Lepasin!!"

...

•••

"Bewail something?"

Raya tidak menoleh barang sedikitpun meskipun ia tahu, Daniel sedang bertanya kepadanya. Tetapi untuk menanggapi pertanyaan Daniel, Raya akhirnya memilih mengangguk singkat seraya tersenyum tipis.

Daniel menarik kursi disamping Raya, lalu duduk sambil menopang dagunya. Sesekali Daniel melirik Raya lewat ekor matanya.

"Eh, Bintang temen kamu yang waktu itu.. Ganteng ya?"

Iseng, sebenarnya Daniel cuma iseng untuk sekedar mengundang pembicaraan antara ia dan Raya. Tapi seperti nya Raya menjadi sensitif akhir-akhir ini, ia menoleh sedetik dengan tatapan judes.

Setiap kali mendengar nama Bintang, ia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Waktu dimana Bintang mengutarakan perasaannya, selalu terbayang dan sukar untuk dilupakan. Raya tahu, seharusnya ia tidak boleh terlalu sering memikirkan laki-laki lain. Sekarang ini, Daniel sudah menjadi pelengkap hidupnya.

"Diem terus, aku dicuekin." Daniel terkekeh, setengah menyindir Raya. "Oke, aku mau balik ke Austra--"

"Kamu pergi, aku ikut." Sela Raya cepat, tanpa menoleh.

"So sweet,"

"Aku.. Serius." Kali ini Raya вenar-вenar menoleh kearah lawan bicara nya. Daniel menggeser kursinya lebih dekat dengan Raya, sampai kursi kayu jati yang kedua nya duduki menempel. Raya menghela napas panjang, menyandarkan kepala nya ke bahu Daniel. Meskipun kepala Raya tidak benar-benar sampai ke bahu Daniel, hanya menempel dilengan atas Laki-laki blesteran itu. "Aku rasa, Jakarta udah bikin aku nggak nyaman. Terlalu banyak masalah yang bikin aku--Daniel, setelah ini kita balik ya?"

Tangan Daniel terulur, menyentuh pucuk kepala Raya lembut. "Sweety, Aku nggak akan bawa kamu pergi dari sini. Aku tahu, ada masalah yang belum kamu selesaikan."

"Hh?" Raya menegakkan tubuhnya, menatap Daniel dengan sebelah alis terangkat. "... Maksud kamu?"

"I know you've problem and i believe, you can accomplish that."

Raya mengerjapkan matanya, lalu menegang. Apa tadi? Daniel memang terlalu pintar untuk Raya, laki-laki itu selalu tahu Raya. Raya tidak bisa sedikitpun menyembunyikan sesuatu kepada Daniel.

Entah karena Raya yang terlalu ceroboh hingga gelagatnya begitu kentara, atau Karena Daniel yang terlalu cerdas.

"Kamu ngomong apa, sih? Aku kan udah selesaiin semua masalah nya, tentang Sidang Pak Pramana dan Papa." Jelas Raya, seraya menyelipkan sejumput anak rambut yang mengganggu kebelakang telinga nya.

"Gimana sama Bintang?" Daniel menyeringai ringan, memicingkan mata kearah Raya.

Deg

Raya menahan napas sejenak, kemudian mengalihkan mata nya untuk mengakhiri kontak mata yang terlalu berkepanjangan dengan Daniel. Raya mengatur napasnya, mencoba untuk mengendalikan detak jantung nya yang seperti semakin memompa darahnya lebih cepat.

Raya lalu tertawa kecil, menanggapi Daniel. "Kamu aneh, deh. Apaan, sih? Kok bawa-bawa Bintang?"

"Hei," Desis Daniel lembut. "Kalo ngomong lihat orangnya."

Raya menunduk, menoleh perlahan hingga kedua bola mata cokelat almond milik Daniel mengunci tatapan Raya. Sialan, Raya tidak bisa berkutik atau berpaling.

"Tadi aku nggak sengaja ketemu sama Bintang, dia menjelaskan semua nya tentang kamu."

"Semua? Tentang apa? Bintang ngomong apa? Kapan? Kok aku nggak ta--"

"--i." Daniel tertawa menyambung kata Raya. "Ya kan aku nggak terus bareng sama kamu, sweety. Aku dari tempatnya Bunda Mutia, terus kesini."

"Bintang ngomong.. apa?" bahkan Raya ragu bertanya seperti itu, ia tidak berani melihat wajah Daniel.

"Nggak banyak, nothing."

"Serius!"

"Iya, aku serius."

"Daniel!"

"Apa?"

Raya menghembuskan napas jengah, "Kamu belum jawab!"

"Jawab apa?"

"Pertanyaan aku!"

"Iya, pertanyaan yang mana?"

Siapapun tahu, Daniel sedang berpura-pura tidak tahu. Raya mendengus kesal. "Bintang ngomong apa aja sama kamu?"

"Yakin mau denger?"

Raya membungkam, Yakin apa enggak yaa?

"Katanya, Kamu cantik."

Blush. Pipi Raya merona, memanas mendengar rayuan Daniel. Bahkan perutnya seakan dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu yang beterbangan kesana kemari (Dan tertawa#plak!).

Raya kesal, seperti dipermainkan. Tapi anehnya, ia tidak bisa menahan senyumannya. Meskipun Raya tahu, Daniel sedang berbohong untuk menutupi sesuatu.

Daniel pasti tahu hal yang lebih.

"Laper jadinya."

"Baper kali." Celetuk Daniel.

"Kamu nggak marah?" tanya Raya, tiba-tiba setelah suasana antara mereka kembali hening. "Aku yakin, Bintang pasti ngomong yang aneh-aneh."

Daniel menarik pipi Raya gemas, mencibir jahil. "Sok tau. Nggak aneh, kok. Wajar-wajar aja."

"Wajar kenapa?"

"Wajar aja kalo dia suka kamu," Kata Daniel santai. "Kamu kan unik, sempurna. Dan dia iri banget pasti sama aku."

Raya memalingkan wajahnya kearah lain, menahan rona dikedua pipinya dan menahan senyuman nya. Ia lalu menoleh singkat kearah Daniel, "Apa, sih? Udah tau akhir-akhir ini aku baperan."

"Akhir-akhir ini? Padahal udah dari dulu."

"Dih, sok tau."

"Emang tau!" terakhir Daniel bangkit dari kursinya, memencet hidung Raya gemas lalu membungkuk hingga dagu nya menempel ke bahu Raya dari arah belakang. "Aku harap semua akan baik-baik aja."

•••

"Kamu ngomong apa ke Daniel?" tanya Raya kesal, bersedekap dada.

Bintang menatap Raya datar, lalu meletakkan secangkir teh madu ke meja tanpa menjawab pertanyaan Raya yang tidak penting menurutnya.

Sore ini, Raya memyempatkan diri untuk sekedar singgah ke kediaman keluarga Pramana. Maksud kedatangannya hanya sekedar bersilaturahmi juga pamit karena minggu ini, Raya akan kembali ke negara kelahiran Daniel. Sebenarnya Daniel kurang setuju dengan keputusan Raya, tetapi gadis itu terus memaksa.

"Bintang, denger aku?" tanya Raya sarkastik.

"Denger." Bintang duduk di sofa berhadapan yang menjadikan meja sebagai penengah antara ia dan Raya. "Tapi kamu juga denger aku, nggak?"

"Apa?"

"Sekarang ini didalam hati aku bilang; Aku suka Raya. Aku suka Raya. Tapi Kamu nggak mau denger, menurut kamu adil?"

Raya menelan ludah nya susah payah, menghela napas panjang dengan tatapan sulit diartikan. Gadis itu memutuskan untuk diam, sesekali matanya bergerak menyapu pandangan ke sekelilingnya. Rumah yang terlalu sepi.

"Kamu beneran mau nikah?" tanya Bintang, tersenyum miris.

Bintang menahan sesuatu yang menghujam dada nya keras-keras. Pertanyaan yang sebenarnya tidak begitu memerlukan jawaban. Pertanyaan bodoh yang hanya membuat Bintang jatuh semakin dalam.

Seperkian detik, Bintang menjadi menyesal bertanya seperti itu. Ia belum siap mendengar jawaban Raya.

"Kadang aku heran aja," Gumam Raya pelan, tapi masih bisa didengar oleh Bintang. "Kamu tuh udah tahu suka sama aku, tapi ngasih pertanyaan yang cuma bikin kamu sakit hati. Gimana kalo aku jawab, iya?"

"Yaa, terserah."

Raya bukan nya jahat, atau tidak memiliki perasaan. Hanya saja sesekali Raya harus bersikap tegas agar Bintang tidak terus terjebak di dalam zona nya, Bintang harus bangkit dan berdiri. Raya mau Bintang melupakan nya.

Akan menyakitkan bila seseorang terus mengharapkan sesuatu yang telah pergi, dan Raya tidak mau Bintang menjadi salah satunya.

"Padahal," Bintang menarik napas dalam-dalam. "Aku udah pede banget, ngiranya kalo kamu juga punya perasaan yang sama."

Bodoh, dan kamu mulai ragu buat percaya sama perkiraan kamu?

Raya meringis, "Dan sekarang kamu mulai nggak pede?"

"Enggak, belum. Aku masih pede."

"Jadi kamu masih beranggapan kalo aku juga suka kamu?"

Bintang tersenyum teduh, memamerkan sederet gigi-gigi rapi nya. "Emang boleh?"

"Boleh, silahkan."

Bintang tertawa kecil, lalu mengacak rambutnya hingga berantakan. Sesekali ia menatap kearah lain, mencoba menghindar kontak mata langsung dengan Raya.

Bukan apa-apa, Bintang hanya berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Ia tidak mau semakin terjebak didalam cinta ekspetasi nya, karena Raya tidak begitu terlalu menaruh harapan kepadanya seperti ia menaruh harapan banyak-banyak terhadap Raya.

"Kenapa kesini? Tumben? Kemana Daniel?" tanya Bintang, mengalihkan obrolan yang mulai tidak nyaman.

"Oh, iya. Pak Pramana ada nggak?"

"Ada, sih." Jawab Bintang. "Tadinya. Barusan pergi ke kantor, ngurus perusahaan yang bentar lagi bangkrut."

Bintang tertawa miris, "Jadi gini akhirnya, hidup emang kayak roda yang berputar. Sekarang kamu malah diatas dan aku sama Papa dibawah."

"Kok kamu bisa nyimpulin gitu, sih? Jangan pernah percaya kalo hidup kamu ada dibawah, terkadang kita perlu pede."

"Tau'ah, Papa kena azab kali!"

Raya melotot, menginterupsi. "Mulutnya."

"Oh iya, Maaf aku baru tahu kalo Pak Candra itu sebenernya--"

"Iya, aku nggak lagi mau bahas itu."

"Its Okay. Aku ngerti."

Bintang memperbaiki posisi duduknya, mencari yang lebih nyaman. Meski sekeras apapun ia mencari posisi duduk yang nyaman, Hatinya selalu berdebar tidak karuan setiap Raya ada didekatnya.

Kedua mata Raya terarah ke cangkir cantik berwarna putih didepannya. Kemudian ia tertarik untuk meraih nya.

"Aku kesini mau pamit aja, sih. Mau ke balik," Raya kembali meletakkan cangkir teh diatas meja.

"Balik kemana?"

"Australi," jawab Raya singkat.

Bintang terdiam memikirkan sesuatu, lalu menatap Raya penuh sesal. "Alasannya karena aku?"

Mungkin Iya.

"Ng--nggak tau," Kepala Raya menunduk dalam-dalam, setelah memperlihatkan senyuman tipisnya.

Bintang menghela napas panjang, hati nya sakit. Bahkan Raya segitu niatnya untuk pergi hanya untuk menjauhi nya.

"Aku pikir kamu gak suka aku," Sahut Bintang singkat.

"... Maksudnya?"

"Aku jadi yakin sama perkiraan aku kalo kamu emamg punya perasaan yang sama kayak aku."

Raya mengerjap, tidak mengerti. "Aku--"

"Kalo kamu emang nggak suka aku, nggak punya perasaan apapun, kamu nggak mungkin segitunya niat buat mencoba pergi. Masuk akal?" Bintang tersenyum sinis.

Sekali lagi Raya membeku ditempatnya, terpaku tanpa menggerakkan badannya. Ah, sial. Apa gelagat dan keputusannya begitu kentara?

"Sekarang impas kan?" tanya Raya setelah lama beradu dengan argumen dikepalanya. "Kamu nggak sakit sendirian, kamu nggak berjuang buat melupakan seseorang sendirian. Karena ada aku, yang akhirnya ketahuan juga suka kamu."

".. Yaa, mungkin impas. Tapi kalo aku boleh pilih, lebih baik kamu nggak suka aku. Patah hati ini cuma punya aku, kamu jangan ikut campur." Kata Bintang, tersenyum tulus.

Raya tertawa, "Andai bisa."

*END*

_Cerita didedikasikan untuk kamu yang pernah hadir meski bukan menjadi teman hidupku, Bintang._

BERSAMA BINTANG - Devi AMELIA

 Chapter 07





_*20 Tahun Kemudian.*_

Seorang gadis cantik keluar dari kereta yang telah membawa nya pulang ke Jakarta. Penampilannya cukup sederhana, dengam make up natural yang tidak terlalu kentara. Gadis itu dari tadi menjadi pusat perhatian, dia memang cantik dan manis.

Sweater merah muda coral yang dipadukan dengan celana jins putih dan sepatu flat berwarna senada dengan jaket hijau lumut nya tampak membuat gadis itu semakin sempurna. Koper yang ia bawa tidak berat, hanya berisi pakaian nya saja.

"Itu yang masuk berita itukan?"

"Mana? Eh, dia kan pengacara yang masuk koran kemarin?"

"Udah keliatan kalo dia jenius."

Gadis dengan rambut lurus terurai itu menoleh kearah sumber suara, lalu tersenyum tipis menanggapi mereka. Bahkan di stasiun saja, Semua orang sudah membicarakan nya ini-itu. Mereka semua menganggap bahwa hidup Gadis itu selalu sempurna, sehingga koran terbitan yang memuat masa lalu seorang pengacara lulusan Australia itu terbongkar dan sekarang menjadi buah bibir masyarakat.

Di Australia, nama nya juga bersinar seperti bintang. Ia sudah banyak memenangkan kasus dalam bidang apapun. Dan uniknya, Gadis ini tidak menargetkan upah yang harus klien bayar setelah memenangkan kasus. Bahkan beberapa kali ia membantu permasalahan dengan cuma-cuma.

Bahkan di siaran televisi, nama Gadis itu selalu muncul menghiasi layar televisi. Mereka semua terlihat mendukung sang pengacara itu begitu tahu bagaimana suram masa lalu nya. Sampai sekarang nama nya masih bertahan menjadi high rank, apalagi ketika siaran televisi mengusulkan akan membuat inspiration film yang menceritakan jalan kehidupan nya.

"Bunda Mutia!" Gadis berumur 26 tahun itu berseru, ketika melihat seorang wanita berumur sekitar setengah abad tampak menyapu pandangan, mungkin bermaksud mencarinya.

Bunda Mutia, wanita yang sudah berjuang keras untuknya itu tampak menyipitkan mata sembari berlari kecil mendekati seseorang yang tadi menyerukan namanya.

"Raya.."

Kedua nya berpelukan erat, mengundang banyak orang untuk tertarik menjadikan kedua nya pusat perhatian. Sesekali mereka memotret momen seorang pengacara terkenal yang sedang melepas rindu.

Ananda Maharaya, gadis yang sukses dengan bantuan beasiswa dari pemerintah itu terlihat sukacita memeluk erat Bunda Mutia. "Ya allah, Bunda.. Raya kangen banget, Kangen berat sama Bunda."

Bunda Mutia terkekeh, lalu melepaskan pelukannya. Kedua tangannya terulur, menyentuh wajah Raya lembut. "Aduh, gelieus pisan puteri nya Bunda teh.."

Raya menangkap kedua tangan Bunda Mutia yang masih mengusap wajahnya. Bunda Mutia tertegun sejenak saat Raya menarik tangan nya perlahan mendekatkan kearah bibir Raya, gadis itu mencium lama punggung tangan kanan dan kiri Bunda Mutia.

Alih-alih, Wanita yang mulai mengeriput itu menahan napasnya untuk mencegah isakan dan air matanya. Ia merasa, sangat beruntung memiliki anak asuh seperti Raya.

Dari dulu, Raya tidak berubah. Masih menjadi gadis kecil yang berkemauan keras. Bahkan ketika Bunda Mutia mendaftarkan Raya ke sekolah dasar, Raya tidak keberatan membantu Bunda Mutia untuk berjualan disekolah sekedar meringankan ekonomi panti asuhan. Saat itu donatur tidak lagi memberikan bantuan banyak, keinginam Raya untuk terus bekerja sambil sekolah muncul menggebu. Dan hasilnya, Raya berhasil menjadi Raya yang sekarang.

"Makasih, ya. Bunda udah nemenin Raya hidup beberapa tahun lalu supaya Raya nggak sendirian. Saat itu Bunda harus tahu, betapa Raya nggak ingin merasa kehilangan untuk yang kesekian kalinya."

Bunda Mutia menggeleng, "Bunda sangat beruntung punya kamu, sayang."

"Bunda, nanti temenin Raya liat rumah ya?"

Raya menarik koper nya, mengajak Bunda Mutia untuk berjalan beriringan keluar dari stasiun.

Bunda Mutia tersenyum tipis, menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Kamu hebat, udah punya rumah sendiri. Nanti Bunda kesepian lagi, deh.."

"Ih, Bunda.." Raya memanyunkan bibirnya. "Raya kan beli rumah sendiri supaya nggak ngerepotin Bunda terus. Bunda juga bisa ngajak anak-anak panti kerumah setiap hari, pintu rumah Raya selalu terbuka buat Bunda sama anak-anak panti."

Bunda Mutia tersenyum, "Oh iya, selamat ya.. Kamu udah berhasil bikin Mama kamu bangga disana. Selamat karena udah berhasil membuktikan kasus Mama kamu itu salah, Selamat karena udah membersihkan nama Mama kamu. Berita tentang kamu yang mengungkit kasus dua puluh tahun yang lalu atas Mama kamu menjadi pembicaraan dimana-mana, banyak banget dukungan buat kamu."

Raya menoleh kearah Bunda Mutia, merasakan kedua matanya benar-benar memanas. Kemudian satu persatu air mata dipipinya jatuh, tetapi Raya enggan untuk menyeka nya.

"Kok jadi nangis, sih?" Tanya Bunda Mutia.

"Kali ini bukan air mata karena sedih, Bunda. Ini air mata bahagia, aku nggak mau menghapus nya."

•••

"Assalamualaikum, Juragan Faisal!" Sapa Raya semangat, ketika langkahnya baru terhenti disebuah bangunan yang baru dibangun dengan megahnya.

Aroma cat baru menyeruak masuk kedalam penciuman Raya, bahkan aroma sisa kardus-kardus basah karena hujan berserakan. Aroma ini mengingatkan keadaan dua puluh tahun lalu.

Juragan Faisal dengan heboh menyalami Raya ketika tahu siapa yang berkunjung. Laki-laki yang dulu selalu berdiri dengan bahu kokoh itu mulai sedikit membungkuk, dimakan usia. Tapi Raya bisa melihat jiwa muda Juragan Faisal masih menggebu, mengalahkan fakta bahwa usia Juragan Faisal kini sudah mencapai 57 tahun.

"Wa'alaikum salam." Juragan Faisal menatap Raya tidak percaya, berdecak kagum. "Duh, gusti.. Raya yang dulu udah jadi Raya yang hebat!"

"Juragan Faisal gimana kabarnya?" tanya Raya, mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah, atuh. Saya baik-baik aja." Jawab Juragan Faisal. "Eh, tapi udah atuh, jangan panggil Juragan-juragan lagi. Saya ini bukan Juragan kamu lagi, gelieus.."

Raya tertawa lebar, "Udah biasa, Juragan.."

"Saya teh jadi ndak enak, gimana kalo dipanggil Abah aja?"

"Iya, Abah."

Juragan Faisal tersenyum puas, kemudian mempersilahkan Tamu istimewa nya masuk kedalam.

Bangunan ini masih belum dilapisi cat sepenuhnya. Dan belum dibersihkan, Raya menatap ke sekelilingnya.

"Sok atuh, duduk disini. Punten, nyak. Masih kotor," Juragan Faisal berbasa-basi. "Mau minum apa?"

"Enggak, Bah. Raya kesini cuma mau main aja, nggak ganggu Abah kan?"

Abah menggeleng cepat, "Ya ndak atuh, gimana sih.. Semua yang ada disini juga punya Neng Gelieus."

"Abah, ih. Ini tuh punya Abah, Raya kan cuma bantu aja. Abah inget nggak sama janji Raya dulu?"

Juragan Faisal tersenyum. Demi apapun, janji seorang anak kecil seperti Raya saat itu terdengar mustahil. Dan Juragan Faisal menanggapi janji Raya hanya sebatas motivasi. Ia tidak mengira kalau Raya sungguh-sungguh dengan janji nya.

Andai ia tahu, kalau hidup Raya sangat berpengaruh baginya. Juragan Faisal pasti akan langsung memenuhi segala kebutuhan Raya, tidak harus bekerja untuk mendapatkan upah.

"Abah, ngelamun aja." Sahut Raya.

"Neng, Abah pasti inget sama janji Eneng teh. Bahkan karena Neng Raya, nama Abah jadi piral masuk koran. Meskipun cuma jadi juragan sampah doang, sih."

"Raya nggak ngerti kenapa bisa jadi Viral, Bah."

"Kok ndak ngerti? Ya soalnya Neng Raya itu terkenal. Apa namanya, Pemes."

Raya terkekeh mendengar Juragan Faisal kesulitan mengatakan kata terakhirnya.

"Raya bukan orang penting, Bah. Raya masih sama seperti yang Abah kenal." Ucap Raya merendah.

"Eh, kamu tau nggak? Warga disini jadi gempar, setelah tahu keadaan kamu sekarang. Mereka bilang nyesel udah jahatin kamu, tapi yaudah.. Jangan dimaafin. Abah juga kesel sama mereka, sadarnya udah eks--ekspayet."

Expired, mungkin itu maksud Abah.

"Enggak papa, Bah. Justru karena mereka, Raya bisa jadi kayak gini. Cacian mereka yang bilang kalo Raya anak stres, bikin Raya kebal dan mendorong Raya buat buktiin ke mereka kalo tuduhan mereka itu salah." Jelas Raya.

"MEREKA PERNAH HINA KAMU KAYAK ANAK STRES?!"

Juragan Faisal melotot, tidak terima.

Raya menarik napasnya, lalu tersenyum singkat. "Dulu, bah. Udah nggak usah dipikirin. Yang penting mereka udah sadar dan mau mengakui kesalahanya."

"Kowe itu, ndak berubah. Baik banget sama orang," Kata Juragan Faisal, lirih.

"Kalo kita baik sama mereka, mereka juga pasti bakal baik sama kita." Ucap Raya menanggapi perkataan Juragan Faisal.

Gadis itu lalu melirik arlojinya, lalu melotot. "Yah, Bah." Sesalnya kemudian.

"Ana apa, toh?"

"Raya harus buru-buru pulang, ada urusan. Kapan-kapan Raya kesini ya, Bah."

"Oalah, nduk. Ndak apa-apa, orang penting mah suka sibuk. Hati-hati, ya?"

Raya tersenyum tipis, berdiri dari duduknya.

"Iya, hatur nuhun."

•••

"Jalan Kelapa Sawit.." Raya menepuk bahu ojek online didepannya, untuk meminta nya berhenti.

"Kenapa, mbak?" tanya nya.

"Udah, saya turun disini aja. Ini uangnya,"

Bergegas Raya memberikan selembar uang lima puluh ribu kearah laki-laki ojek online yang baru saja ia pakai jasa nya, tersenyum tipis.

"Yah, mbak.. Aku nggak ada kembalian. Ada uang pas nggak, mbak?" tanya nya seraya merogoh dompetnya untuk memastikan.

"Enggak, Mas. Nggak papa, ambil aja."

"Eh? Seriusan mbak nya? Makasih, mbak."

Raya mundur beberapa langkah saat sepeda motor ojek tadi melaju pergi, menyisakan kepulan asap abu-abu yang bau nya tidak enak. Gadis itu menghela napas, lalu mengecek Iphone nya dari saku jaket tebalnya.

Ia menekan app Email, lalu mencari roomchat nya bersama seseorang.

"Jalan kelapa sawit, didepan rumah makan.." Gumam nya, ia mengedarkan pandangannya guna memastikan. "Iya, nih. Jalannya bener."

Kemudian Raya memutuskan untuk menunggu salah satu klien nya yang tadi malam mengirim email kepada Raya. Klien nya satu ini tidak menyebutkan nama, hanya saja ia menjelaskan kasus yang menjadi masalahnya kepada Raya agar gadis itu bisa mempelajari lebih lanjut.

Kasus yang memang sering Raya dapatkan disini, korupsi atau penggelapan uang.

Demi menghabiskan rasa jenuhnya, Raya kemudian melihat app galeri. Iseng saja sebenarnya, ia melihat foto demi foto yang ada di Iphone nya. Sesekali ia tersenyum, saat melihat fotonya bersama seorang laki-laki muda sedang berdiri menghadap kamera sambil tersenyum. Raya masih ingat, Ia diminta foto bersama dengan Daniel, pengacara internasional berasal dari Australia sebagai ucapan selamat atas kemenangan kasus pertama Raya yang telah membersihkan nama Mama nya. Dan sekarang hubungan antara ia dan Daniel sudah semakin dekat, meskipun jarak memisahkan kedua nya. Daniel kini sedang mengikuti langkah Raya, ia pergi ke sebuah negara dengan kasus terbanyak. Daniel bekerja tanpa menargetkan upah, ia tertarik dengan cara Raya bekerja.

Kebahagiaan Raya semakin memuncak ketika Daniel berniat untuk menikahi nya tahun depan, setelah lebaran.

Jari Raya menggeser foto nya dan Daniel kesamping, memperlihatkan foto selanjutnya. Kali ini ia tidak tersenyum, wajah nya berubah mendung melihat hasil Screenshoot yang ia ambil dari internet. Sebuah muatan koran yang terbit dan menjadi pembicaraan.

Artikel dengan judul; Berhasil memenangkan kasus atas naa Sang Ibu, Pengacara muda akui masa lalu nya yang suram.

Raya menghembuskan napas nya panjang, lalu memutuskan untuk mematikan Iphone nya dan menyimpannya di saku jaket. Hari ini, Raya akan memfokuskan diri untuk kasus yang satu ini.

"Hei,"

Entah karena melamun atau apa, seorang laki-laki muda dengan kemeja hitam sepertiga tahu-tahu sudah ada disampingnya. Ia menaiki sepeda motor scoopy berwarna hitam mengkilap.

Raya menoleh, lalu tersenyum. Dugaan pertamanya, Pasti laki-laki itu adalah klien yang memgirim email tadi malam.

Laki-laki tegap dan tinggi itu masih berdiri, kulitnya putih dengan bibir cenderung merah alami. Hidung nya runcing, alis tebal nya menambah kesan ganteng nya.

Tapi mendadak, kepalanya berdenyut pelan. Garis-garis bayangan dan wajah laki-laki itu terlihat begitu familiar dan tidak asing lagi. Tapi Raya tidak ingat apapun. Tentu saja, mungkin karena ia sudah meninggalkan Indonesia 6 tahun lama nya setelah ia berhasil mendapatkan beasiswa ke Australia di Sekolah Menengah Atasnya.

Raya memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya, "Selamat Siang."

"Selamat Siang juga, maaf membuat Anda menunggu. Tapi lebih baik kita mencari tempat untuk membicarakan permasalahan saya, bisa?" tanya laki-laki itu sopan.

"Iya, baik. Tapi maaf, sebelumnya.. Bolehkah saya tahu nama anda? Tadi malam, anda tidak memberikan data yang lengkap."

"Oh, iya. Nama saya.. Galaksi."

•••

Keadaan rumah makan bergaya tradisional itu membuat mata Raya mengerjap beberapa kali, ia begitu takjub. Sudah lama sekali ia terjebak disebuah ruangan minimalis dan modern di Australia. Tidak bisa pungkiri, Raya juga pasti merindukan kampung halamannya.

Seorang pegawai laki-laki dengan seragam batik cokelat terang dengan Blangkon yang senada tahu-tahu sudah berdiri dimeja Raya dan Galaksi, meletakkan nampan yang berisi dua piring makanan sederhana dan dua gelas teh madu.

"Terima kasih, Kang." Ucap Galaksi singkat.

Pegawai rumah makan itu mengangguk seraya menebarkan senyuman tipis, berlalu melangkah menjauh.

Sedangkan Raya tercengang, ketika melihat makanan yang Galaksi pesan. Dua piring nasi dengan lauk yang berbeda. Dipiring milik Raya, dengan lauk ayam bakar. Sedangkan dipiring Galaksi dengan lauk tahu dan tempe goreng.

Galaksi menatap Raya intens, lalu tersenyum kecil. "Ada apa? Anda juga mau nasi dengan dua lauk yang berbeda seperti punya saya?"

Deg

"Ini, silahkan. Belum saya apa-apakan, kok." Galaksi menggeser piringnya mendekati piring Raya.

Raya mendongak, menoleh cepat kearah Galaksi. Raya seperti merasakan sebuah Deja vu, kalimat pertanyaan Galaksi terdengar tidak asing. Telinga nya sensitif. Mendengar itu, Raya seolah terlempar ke masa lalu nya.

Galaksi benar-benar misterius.

Raya beberapa kali mencoba untuk mengingat sesuatu, sampai akhirnya bayangan kejadian dua puluh tahun lalu berlarian didalam memorinya. Sekelebat bayangan hitam-putih yang samar-samar, tapi cukup membuat tubuh Raya menegang.

Kedua matanya memanas, napas nya memburu.

Kemudian, Raya menangis. Menangis tanpa suara. Bahkan ia tidak perduli kalau didepan nya sekarang, klien nya sedang duduk menatap Raya dengan pandangan sulit diartikan.

Luka dan perasaan kehilangan itu menguak, kembali menyadarkan Raya sekarang. Tanpa disadari, air mata nya terus bergulir cepat menuruni pipi nya.

Raya bangkit dari kursi kayu dingin nya, lalu berjalan memutari meja didepannya. Galaksi berdiri dari duduknya, menatap Raya tulus tanpa berkata apa-apa lagi. Mungkin semua ucapannya sudah jelas bagi Raya. Tanpa ragu, gadis itu memeluk leher Galaksi, meletakkan dagu nya ke bahu  Galaksi dengan kaki sedikit menjinjit.

Galaksi tersenyum ketika orang-orang disekitarnya menatap nya hangat, sesekali melempar senyuman ramah. Perlahan kedua tangan Galaksi terulur, membalas pelukan Raya. Sesekali tangannya mengusap rambut kepala Raya yang menjuntai sampai punggung.

Bahu Raya bergetar, suara tangisannya mulai pecah meski tertahan. Dan Galaksi mulai merasakan kemeja yang ia kenakan basah dibagian bahu. Galaksi membiarkan gadis dipelukannya menangis sepuasnya, seolah ingin memberikan Raya waktu.

"Hei, udah.. Jangan nangis." Bisik Galaksi perlahan, membuat Raya semakin mempererat pelukannya.

Tidak akan, Raya tidak akan membiarkan dia pergi lagi. Raya akan menuntut keadilan terbesarnya dari dia, Raya akan menuntut janji dimana dia tidak akan meninggalkannya.

"Raya, jangan nangis ya.." Lirih Galaksi perlahan. "Iya, deh.. Aku rela kalau kamu bilang, kamu lebih tua dari aku. Meski cuma dua bulan."

Bahu Raya semakin bergetar, ia masih enggan melepaskan pelukannya.

"Raya cantik, udah ih.." Galaksi membujuk sekali lagi. "Tapi nggak apa, deh. Nanti kamu masuk koran lagi, terus aku terkenal."

Raya mengendurkan pelukannya, menatap Galaksi yang kini setengah menunduk untuk menatap Raya yang masih sesenggukan dengan wajah sembab.

Raya mencengkram bahu Galaksi, lalu memukulnya beberapa kali. "Aku lebih tua dari kamu, tapi kamu lebih tinggi dari aku."

"Kamu tahu siapa nama aku?" Galaksi tertawa menyeringai.

".. Bin--tang?"

"Bukan," Galaksi menggeleng, terkekeh. "Aku Galaksi,"

Raya mengerjap, menaikan alisnya masih tidak mengerti. "Kamu Bintang, bukan Galaksi."

"Aku nggak mau jadi Bintang, dia udah bohongin kamu dan udah bikin kamu kecewa dua puluh tahun lalu." Kata Galaksi, seraya mengelus pucuk kepala Raya. "Dia titip salam buat kamu, katanya dia mau minta maaf karena udah biarin kamu pergi dan lupa sama janji nya."

"Bintang.." Desis Raya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu nggak lupa sama janji kamu, kamu udah menepati janji kamu sama aku. Kamu udah berusaha buat mempertahankan aku dua puluh tahun lalu, dan aku menghargai itu."

"Tapi Bintang gagal menepati janji nya,"

Raya menggeleng, air mata nya jatuh kembali. "Nggak masalah kalau seseorang gagal dalam hidup nya, nggak ada hukuman buat orang yang gagal."

"... Aku seneng waktu denger kabar kamu udah berhasil jadi pengacara yang sukses. Pas pertama kali aku lihat wajah kamu di televisi, aku dibilang stres karena aku bilang sama orang-orang kalau aku kenal kamu. Tapi aku nggak perduli. Jadi saat aku tahu kabar bahwa kamu pulang ke Jakarta, aku langsung kirim email ke kamu." Jelas Galaksi.

"Dan kamu ngaku sebagai orang lain?" Raya menatap Galaksi jengkel.

Galaksi tertawa, dan Raya suka suara tawa nya. "Enggak, aku emang Galaksi. Galaksi Bintang Pramana. Tiap aku dipanggil Bintang, aku selalu ingat kamu. Aku merasa bersalah karena udah biarin kamu pergi, tanpa aku. Jadi aku nggak mau menjadi Bintang lagi,"

"Kamu masih tetap jadi Bintang buat aku,"

Galaksi tersenyum, nama Bintang kembali membuatnya tertarik lagi. Galaksi--Bintang tersenyum, lalu tertawa. "Sekarang aku siap jadi Bintang lagi,"

•••

"Siapa dia?"

Raya menatap Bintang sekali lagi, lalu tersenyum kearah pria tua yang sedang menggenggam batang jeruji besi. Raya yakin, itu adalah Pramana. Garis-garis wajah Pramana mulai menua, dimakan usia.

Bintang menatap datar kearah Pramana, "Kalau aku bilang, Papa nggak akan percaya."

"Kamu ngomong apa, sih? Papa nyuruh kamu buat cari pengacara terbaik! Bukan ngomong nggak penting kayak gini, Bintang!" Pramana menggebrak meja, membuat Raya sedikit terkejut.

Rupanya beban dan masalah membuat Pramana menjadi sosok yang tempramen dan kasar. Rahang Pramana mengeras, lalu menopang kepalanya frustasi.

"Ini bukan waktunya kamu kembali nyalahin Papa karena udah misahin kamu sama anak yang namanya Raya itu. Papa udah mendekam lima bulan, Papa nggak bisa lagi disini. Papa mau keluar, dan setelah itu papa janji bakal ngasih tahu dimana Raya tinggal." Pramana menatap Bintang memohon.

"Nggak perlu," Tukas Bintang cepat. "Orang yang Papa maksud udah disini, didepan Papa. Dia yang bakal jadi pengacara Papa, dia Raya."

Pramana merasakan suhu udara yang ada dibumi mendadak hilang, raib entah kemana. Dada nya sesak, Pria itu memukul beberapa kali dada nya seolah berharap rasa sakit di dadanya berkurang. Pramana menegang, menatap perlahan kearah Raya yang sedang tersenyum tipis kearahnya.

Lihatlah, Raya bahkan berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Butuh beberapa detik sampai Raya memutuskan untuk memulai pembicaraannya dengan Pramana yang masih terkejut.

"Selamat siang, Pak." Sapa Raya sopan. "Gimana kabar bapak?"

".. Kamu Raya?"

"Iya." Raya mengangguk, "Saya Raya."

Didetik selanjutnya, Pramana berdiri lalu meraih kedua tangan Raya. Pria itu mencium kedua tangan Raya sembari mengeluarkan air mata nya, menangis dengan nada tertahan.

Raya terkejut, lalu menoleh kearah Bintang. Tetapi Bintang malah mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Maafkan saya, Nak. Saya udah buang kamu ke Panti Asuhan itu, seharusnya saya nggak setega itu." Pramana menangis, suaranya bergetar.

Raya menggeleng, lalu menenangkan Pramana. "Enggak, Pak. Sudah cukup, Saya nggak merasa dirugikan oleh Bapak. Justru saya mau berterima kasih sama Bapak, saya menjadi seperti ini karena Bapak yang udah kirim saya ke Panti itu."

"Saya menyesal,"

Bintang menatap Pramana lamat-lamat. Entah kenapa, melihat sang Papa menangis seperti itu membuat Bintang menjadi luluh. Rasanya sudah cukup ia mendiami Pramana selama bertahun-tahun, sudah saatnya ia mulai menerima Pramana lagi.

Tidak bisa dipungkiri, Pramana adalah Papa kandungnya.

"Pa, udah.. Jangan kayak gini." Sahut Bintang, menyentuh bahu Pramana.

Pramana menoleh, terisak perlahan. "Maafin papa.."

"Iya, Pa. Aku udah maafin Papa,"

Hubungan antara ayah-anak itu mulai membaik, disaksikan oleh Raya. Gadis itu tersenyum lega ketika Pramana memeluk Bintang, sesekali berkata lirih mengungkapkan penyesalan.

"Udah, Pa." Kata Bintang. "Sekarang waktunya Papa bangkit lagi, Papa bakal bebas dan tuduhan itu bakal terungkap."

"Makasih, Bintang. Kamu udah tetep ada disamping Papa, meskipun kamu selalu terlihat acuh."

"Bintang cuma nggak mau, Papa hidup sendirian terus kesepian." Ungkap Bintag tulus. Kemudian ia menoleh kearah Raya. "Karena Bintang udah pernah bikin seseorang hidup kesepian karena sendiri."

Pramana membeku, ia jelas tahu siapa yang dimaksud Bintang.

Light Me Up (part 4)- Roselyn NorthGod

Matahari pagi Paris menyorot memaksa masuk ke dalam kamar hotel yang Sehun tumpangi untuk seminggu. Walaupun kenyataannya Mas Sehun tidak ta...