Minggu, 21 Juni 2020

My Nick Name Is Venus - Via Indriansi

PART 1

Malam kian larut. Lampu panggung bersinar makin terang. Ini adalah malam puncak pentas seni SMA Mega Buana dalam rangka memperingati hari ulang tahun sekolah. semua siswa bersorak seroi menyaksikan penampilan guestar yang akan tampil sesaat lagi untuk ikut memeriahkan acara. MC handal didapati dari pengurus osis yang telah mendedikasikan dua minggu dirinya latihan tingkat ekstra kini tampil dengan ahli bukan main, seolah panggung itu miliknya seorang, yang lain? ngontrak. Ia tak perlu banyak tingkah untuk mendapati semangat audience, karena tanpa diminta pun audience ikhlas sepenuh hati setinggi rasa untuk ikut memeriahkan acara dengan mengeluarkan teriakan volume penuh. 

“Selamat malam penikmat musik...,” teriak Roy, MC sukarela yang sudah bersedia memandu jalannya acara meski tanpa bayaran.

Seluruh siswa menjawab sapaan semangat Roy dengan teriakan tanpa batas. Menembus petala langit hingga mengguncang planet-planet yang beredar pada porosnya, terdiam sejenak, terheran rasa kaget yang mendalam menyaksikan semangat gila tanpa tujuan yang diutarakan penghuni, planet kehidupan. Bumi. 

“Sudah siap menyaksikan penampilan keren dari guestar kita?” tanya Roy kembali berteriak agar suaranya mencapai seluruh audience.

“Siapppp...,” jawab mereka tak kalah semangat dengan pembawa acara,

“Mari kita saksikan penampilan.... Venus...,” tambah Roy sekaligus memanggil pengisi acara yang sudah ditunggu audience.

Sang Bintang keluar dengan pancaran pesonanya. Mata belo’ dengan barisan bulu mata lentik di tambah sapuan eye shadow dan maskara membuat matanya lebih indah. Alis mata tebal seperti gelombang laut yang hampir bersambung menjadi sisi tambahnyanya. Sedikit senyman kecil di kedua sudut bibirnya menambah keanggunannya. Rambut hitam sebahu dengan poni tengah terlihat seseuai dengan porsi wajahnya. Kalung liontin kelinci perak yang selalu dipakainya, sangat serasi pada lehernya yang jenjang. Baju blus klasik biru muda dengan pita putih di kedua sisi bahu menambah feminim fashionnya malam ini. Rok mini abu ditambah sepatu kets putih yang dikenakan menyempurnakan tampilanya.

 Lyara Ketty, gadis remaja yang banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya kini tampil bak ratu dari planet venus.

Lyara tampil dengan musik jazznya yang membuat seluruh audience ikut bersorak ria dalam musik yang dimainkan. Kini, harapan yang lama membenam akhirnya terwujudkan. Keinginan hati, agar dunia melihatnya, terkabul sudah. Tidak ada yang perlu ia takutkan, meski mungkin hanya untuk malam ini saja, setidaknya dia pemilik panggung itu. Meski esok hujatan yang akan kembali ia telan, ah, untuk esok biarlah jadi urusan esok. Kini, ia hanya harus fokus pada kesempatan yang tidak akan datang dua kali.

Lyara berhasil, ia memainkan dengan baik. Bahkan semua melihatnya sebagai Venus, tak satu orang pun yang melihatnya sebagai Lyara Ketty, Miss Orc, yang acap kali diejek sebagai iblis penunggu kelas XI. Terlahir jelek bukan hal yang dia inginkan. Jika bisa memilih, tentu saja ia ingin hidup sebagai wanita cantik dengan keanggunan paras yang dapat menjelma, hipnotis setiap orang yang memandangnya. 



Minggu, 14 Juni 2020

BERSAMA BINTANG - Devi AMELIA

Last Chapter






"Daniel? Kamu serius nyusul ke Jakarta?" Seru Raya dengan suara meninggi, ia benar-benar gembira.

Bahkan saking gembiranya, ia lupa kalau saat ini ia sedang bersama Bintang--cowok itu malah menatap punggung Raya yang memang sedang menerima telpon dengan berdiri membelakangi Bintang yang membiarkan dahi nya berkerut sesekali mengusap leher gelas kaca didepannya yang masih menyisakan separuh cola bercampur es batu.

"Wait me, future wife."

Raya tersenyum lebar, "See you, miss you too."

"Ish, nggak ada yang bilang kangen sama kamu."

"Hati kamu bilang gitu, masa?"

"Hati yang pengertian."

"Ya udah, ya? Aku tutup dulu, ada urusan."

"Okay, congrat as your success. Semoga kamu nggak kecantol sama cowok lain,"

Mendadak Raya bungkam. Dan satu nama yang saat itu melintas di pikirannya adalah, Bintang. Raya menggeleng pelan, mengusir jauh-jauh pikiran konyol semacam itu. Raya ragu, ia tidak mungkin menyukai Bintang. Tapi..

Kenapa didekat nya, Raya merasakan hal yang sama seperti ketika ia bersama Daniel? Mustahil ia bisa jatuh cinta dengan waktu bersamaan kepada orang yang berbeda.

"Hey, kok diem? Are you okay?"

Raya terpanjat, "Ah, enggak kok. Mungkin cuma kacapekan,"

"Its, oke. Jangan lupa istirahat,"

"Too. Udah, ya? Bye.."

Bintang mengalihkan pandangan kearah lain saat Raya sudah membalikkan badan kearahnya, alibi saja supaya Bintang tidak ketahuan kalau sedari tadi ia hanya mengamati Raya.

Raya duduk dikursinya lagi, lalu meletakkan ponselnya ke meja. Gadis itu memijit kepalanya yang sedikit berdenyut. Jujur, Raya masih memikirkan ucapan Daniel tadi.

"Kenapa?" tanya Bintang, lalu menggeser sepiring Donat kearah Raya. "Tuh, makan."

Raya meringis, lalu meraih sepotong dengan garpu nya. Terlihat ogah-ogahan, Raya memasukkan sepotong Donat dengan cheesee sauce kesukaannya kedalam mulutnya.

Bintang menaikkan alis. Padahal Raya tadi begitu antusias ketika ia mengajaknya sekedar ngabuburit di Doughnut Cafe.

Penasaran. Tapi Bintang tahu satu hal, perubahan mood Raya ada hubungannya dengan si penelpon tadi.

"Ray, aku boleh tanya sama kamu?" Tanya Bintang hati-hati.

"Iyalah, gratis. Kayak sama siapa aja,"

"Ya, enggak. Kan Kamu udah beda dari Raya dulu,"

Raya tertawa kecil, "Emang beda kenapa?"

"Enggak, kok. Nggak jadi,"

"Apa, sih? Kamu mau nanya apa?"

Bintang menelan saliva nya susah payah, lalu bertanya pelan. "Tadi yang nelpon siapa?"

Raya terdiam, ia menjadi ragu untuk menjawab pertanyaan Bintang. Seperti ada yang salah. Tapi Raya sendiri tidak tahu alasannya, memikirkanya semakin membuat kepalanya sakit.

"Kenapa emang?" tanya Raya.

Dari ucapan Raya barusan, Bintang bisa menyimpulkan kalau Raya sedang tidak mau membicarakan hal ini.

Bintang menggeleng, "Enggak, kok. Nggak papa,"

"Ooh, ya udah." Raya meletakkan garpu nya, lalu mengeliat dan menyentuh perutnya sendiri. "Kenyang, ah. Kamu makan, deh!"

"Yah, sama. Bungkus aja, buat anak-anak." Ujar Bintang, mengusulkan.

"Hh?" Raya mengerjap. "Anak-anak?"

"Panti Asuhan," Bintang memginterupsi.

Raya tertawa sendiri. Ucapan Bintang memang terdengar sedikit ambigu ditelinganya. "Aku kira apaan,"

"Apa emang?" Iseng, Bintang sengaja bertanya. "Dih, udah mikir yang kesana-sana. Ngebet banget punya anak-anak,"

"Enggak, ya kamu rada ambigu."

"Yee, kamu yang mikirnya sampe kesana." Kata Bintang, terkekeh geli.

"Biarin, sih. Kan aku bukan bocah lagi, jadi wajar."

Bintang tersenyum simpul. "Kamu tahu nggak, aku punya rahasia."

"Apa?" Tanya Raya. "Rahasianya?"

"Kamu percaya nggak, sih? Kalo aku bilang, aku pernah jatuh cinta ratusan kali dalam sehari?"

Raya tertegun, pertanyaan yang cukup menarik. Gadis itu tertawa tanpa suara, lalu menatap Bintang yang masih mengulum senyuman.

Raya menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, "Gila, sama siapa aja?"

"Kamu mau aku kasih tau dari yang pertama atau yang ke terakhir?"

"... Pertama?"

Bintang mengambil napas panjang, lalu mendekatkan kepalanya. "Yang pertama Raya, yang kedua Raya, yang ketiga Raya, yang keempat Raya, yang kelima Raya, Yang keenam Raya, yang ketujuh.. Oh iya, Raya juga. Yang ke delapan Raya, Yang kesembilan Raya, yang ke---"

"Bintang?"

Bintang menghentikan suara nya, ia menoleh kearah Raya. "Aku baru inget, ternyata jatuh cinta nya sama orang yang sama. Raya."

Demi apapun, Raya benci situasi seperti ini. Gadis itu masih membeku ditempatnya, mati-matian menahan napas. Mampus, hati Raya bergejolak seolah mendobrak ingin keluar. Getaran di dada nya semakin membuncah, ini gila.

Tubuh Raya gemetaran, ia tidak menyangka hari seperti ini akan datang.

"Raya, aku pernah bilang bakal kasih kamu kado diulang tahun kamu yang ke-enam dulu. Mungkin agak terlambat, tapi.." Raya terkesima, ketika Bintang mengeluarkan sesuatu dari kantung celana nya. Sebuah kotak berbentuk hati dengan pelapis berwarna merah segar. Siapapun tahu, itu adalah kotak perhiasan.

"Aku nggak minta kamu buat suka sama aku," Ujar Bintang seraya menyerahkan kotak perhiasan kecil kearah Raya yang masih terpaku.

"... Bintang-- aku nggak bisa terima. Eh, aku pulang duluan ya. Makasih udah ngajak kesini,"

Bintang mendongak melihat Raya yang buru-buru berdiri, ia meraih ponselnya yang sebelumnya tergeletak diatas meja.

Saat itu, Bintang tahu.. Raya tidak nyaman.

"Raya, Aku anter pulang ya?" tanya Bintang sebelum Raya benar-benar pergi berlalu.

"Ah, enggak usah. Aku naik taksi, byee!"

•••

Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir antara Bintang dan Raya. Entahlah, Bintang tidak mendapat balasan apa-apa setiap kali ia mengirim pesan email ke Raya. Bintang tahu, itu ada hubungannya dengan ia yang telah mengutarakan perasaan nya di Kafe saat itu.

Atau mungkin.. Karena Raya memang cukup sibuk? 

Bintang harap begitu.

Siang ini, sidang atas kasus tuduhan penggelapan uang dari Pramana berjalan lancar. Seperti yang Bintang duga sebelumnya, Raya sangat enerjik mengutarakan argumen-argumennya kepada ketua hakim sehingga sebagian besar kemungkingan, Hakim akan berpihak kepada nya.

Raya juga senang ketika Ketua Hakim memutuskan untuk menutup Kasus ini, akibat tidak adanya bukti. Dan Pramana akan bebas sebentar lagi.

Bintang berjalan keluar dari pengadilan beriringan dengan Raya, wajahnya cerah.

"Makasih, ya.." Kata Bintang tulus.

Raya menoleh, tersenyum canggung. Sejak kejadian di Kafe waktu itu, Bintang merasa ada yang lain dengan Raya. "Sama-sama, Aku seneng bisa bantu Papa kamu."

"Iya, sekarang orang yang nuduh Papa udah ditahan. Itu berkat kamu,"

"Maksud kamu Pak Candra?" tanya Raya. "Aku lupa bilang sama kamu, tadi aku juga tertarik ngurus kasus beliau. Dan setelah aku pelajari lagi, aku yakin kalau Pak Candra itu lah yang udah menggelapkan dana bantuan dari perusahaan lain. Beliau menuduh Pak Pramana sebagai alibi buat nutupin kedoknya. Jadi habis ini, aku bakal urus tuntutan buat Pak Candra."

Bintang tersenyum lega, "Bahkan aku nggak ngira sampe kesana."

"Raya!"

Bintang dan Raya menoleh kearah sumber suara. Seorang pemuda berjaket hitam dan bertopi biru gelap berlari mendekati kedua nya. Aroma mint khas nya membuat Raya tahu siapa yang sedang berlari kecil mendekati nya dalam sekejap.

Raya tersenyum lebar. "Daniel!"

Dada Bintang berpacu berlomba dengan pergerakan napas nya, begitu mendengar nama itu. Daniel, nama itu sudah Bintang hapal diluar kepala.

Puluhan pertanyaan kini mulai menghinggapi hati nya. Pertanyaan-pertanyaan yang mengundang kecemasan, sebuah kecemasan yang akhirnya membuat Bintang takut akan sebuah kehilangan.

Perasaan yang sama, persis seperti yang Raya takutkan dan rasakan dua puluh tahun lalu.

"Hei, big baby.." Ucap Daniel setelah memeluk erat Raya, didepan Bintang.

Raya tersenyum kaku, benar-benar situasi yang rumit.

"Kok kamu bisa kesini?" tanya Raya.

"Tadi aku ke Panti, terus dikasih tau Bunda Mutia kalo sekarang kamu ada jadwal sidang disini." Jawab Daniel, dengan bahasa Indonesia nya yang fasih.

Laki-laki blesteran itu memang sudah cukup menguasai beberapa bahasa dengan fasih, termasuk Bahasa Indonesia. Pandangan Daniel mengarah ke Bintang, lalu menatap Raya penuh tanda tanya.

Raya menatap Bintang, lalu tersenyum canggung. "Daniel, dia Bintang. Bintang, dia Daniel."

"Daniel." Tangan Daniel terulur, dan Bintang membalas tangan Daniel ragu.

"Bintang."

"Bintang? Star? really nice name, bro." Daniel tersenyum ramah.

"Terima kasih," Balas Bintang, tersenyum singkat. "Raya, Daniel, aku pergu duluan ya."

Raya menghembuskan napas lega, lalu mengangguk. Suasana yang runyam dan canggung, bila Bintang terus ada disini.

Jujur, Raya masih rindu dengan Bintang. Rindu dengan segala tentang Bintang, tapi sayangnya Bintang terlambat untuk melangkah lebih dahulu. Karena sekarang, Raya lebih memilih Daniel.

"Dan, kamu nggak mau kerumah?" tanya Raya, lalu menarik lengan Daniel untuk berjalan beriringan menjauhi tempat ini.

Sedangkan Bintang sedang berusaha memperlambat langkahnya, demi mendengar percakapan antara Raya dengan Daniel dibelakangnya.

"No, kita ke tempat Bunda aja langsung. Aku kesini kan mau ketemu sama Beliau."

"Kan bisa nanti malam, Kamu nggak capek?"

Daniel menggeleng, tersenyum. "Nanti aku malah capek kalo nggak cepet-cepet kasih tau ke Bunda, buat nikahin kamu."

Deg

Hampir saja Bintang hendak menoleh kebelakang lalu meminta Daniel mengulang ucapannya, untuk sekedar memastikan pendengarannya.

Detik itu juga, lututnya melemas. Dan sekarang, Bintang tahu bahwa ia sudah kehilangan Raya.

Perempuan yang selalu mengusik otaknya, yang selalu membuatnya semangat untuk mencari tahu segala hal tentang Raya diinternet, kini telah pergi bersama dengan orang lain.

Bintang tersenyum, miris. Mungkin karena itu, Raya menolak hadiah dari nya.

"Nggak nyambung, tau!"

Dada Bintang berdesir hebat, ketika mendengar kekehan Raya. Ada perasaan tidak rela, ketika Raya tertawa bukan karena dan kepada nya. Tetapi karena orang lain, calon Suaminya.

"Eh, lucu tau kalo kita nikah. Pasangan yang sama-sama berprofesi sebagai pengacara menikah. Tuh, kan! Lucu nggak?"

"Apa, sih? Biasa aja."

"Shmily,"

"Hh? Apaan?"

"See how much, i love you."

"Hahaha.."

...

•••

"Papa!" desis Raya tidak percaya, air mata nya menetes deras. Tangan nya terulur untuk meraih jeruji besi didepannya, tangan Raya menggenggam erat batangan besi yang menjadi pembatas antara ia dan Sang Papa.

Pemandangan yang begitu menggetarkan hati Raya, gadis itu menangis sesenggukan ketika melihat seorang laki-laki tua sedang memeluk dirinya sendiri, menatap sekelilingnya lalu berteriak ketakutan.

Sesekali Pria yang disebut Papa oleh Raya itu tertawa-tawa sendirian. Namun dalam hitungan detik, kembali menangis.

Apalagi ketika Raya memanggilnya beberapa kali.

"Hei, sweety.. Jangan nangis, Papa pasti baik-baik aja." Daniel menyentuh kedua bahu Raya dari belakang, menenangkan Gadis nya yang sedang terpukul.

Raya menggeleng, "Maafin Raya, Pa.."

"Ini bukan salah kamu, Sweety. Kamu udah melakukan hal yang benar."

"Aku nggak tahu.." Raya kemudian berbalik, memeluk Daniel erat. Menumpahkan segala kesedihannya, berharap seseorang akan mengerti dengan perasaannya. "Aku nggak tahu kalau Papa adalah Pak Candra, orang yang sama dengan orang yang udah aku tuntut atas kasus nya Pak Pramana. Aku nuntut Papa kandung aku sendiri, Dan!"

Daniel meletakkan dagunya ke pucuk kepala Raya, tangannya mengelus punggung Raya lembut. "Kamu pernah bilang kalo tujuan kamu jadi pengacara, supaya kamu bisa memberikan keadilan bagi semua orang. Right?"

"Apa aku jahat, Dan?"

"Enggak, ini udah takdir. Jangan pernah salahin diri sendiri, Ray."

Raya melepaskan pelukannya, lalu kembali menatap Candra yang masih tertawa-tawa sendirian. Air mata Raya kembali tumpah, hatinya seperti dipukul oleh ribuan palu hingga tidak berbentuk lagi.

Bahkan Raya baru tahu kalau nama Papa nya adalah Candra.

Raya baru tahu tadi pagi ketika petugas kepolisian menyerahkan data Candra kepada Raya, si penuntut kepada terdakwa.

"Dan, aku nggak tahu harus bersikap gimana ke Papa.." Cicit Raya perlahan. "Setelah aku juga tahu, bahwa Papa yang menjadi alasan Mama pergi."

Kembali tangisan Raya pecah, wajahnya memerah. Dada nya sesak, ia sudah cukup lama menangis sampai matanya membengkak.

Pagi ini, Raya mulai kembali rapuh. Luka yang selalu ia timbun agar tidak terus menguak kini kembali menganga, dan semakin membuat hatinya sakit.

"Kamu nggak sendirian, aku disini."

•••

"APA YANG UDAH KAMU LAKUIN KE DIA?!"

Seorang wanita muda menangis ketakutan, sambil berpegangan pada pilar rumah didekatnya. Seluruh tubuhnya lemas, dan perutnya terasa mual melihat sesuatu didepannya.

Karin, Wanita yang masih berstatus sebagai Isteri dari seorang Ananda Candra itu menutup mulutnya, menahan suara tangisannya.

"Iblis!!" Teriak Karin. Keseimbangannya jatuh, ia terduduk begitu saja diatas lantai keramik yang dingin. "Aku udah lapor polisi, sekarang kamu harus tanggung jawab, Jahanam!"

Candra menjatuhkan Sebilah Pisau daging dari tangannya yang berlumuran darah hingga menimbulkan suara nyaring, lalu menarik rambutnya kebingungan. "A-aku.."

"Kamu udah selingkuh! Bahkan sekarang kamu kembali berulah dengan membunuh selingkuhan kamu!"

"Diam kamu!!" Candra berteriak frustasi. "Aku nggak sengaja, aku nggak sengaja bunuh Desi!"

Karin bergetar hebat ketika bayangan penikaman Desi berputar dibenaknya. Wanita itu menangis sejadi-jadinya, lalu kembali menyalahkan Candra.

"Kamu nggak waras! Kamu harus tanggung jawab!"

Candra terkejut, lalu ketakutan. Ia mendekati Karin, hingga wanita itu memcoba menghindar. Candra menggeleng, "Jangan gitu, Karin. Aku bunuh dia--demi kamu. Aku nggak mau ada dia lagi, tapi dia tetap maksa aku buat nikahin dia."

Karin benar-benar ketakutan ketika Candra semakin mendekatinya. Ia menghindar, berlari singkat--sebelum akhirnya Candra mendorongnya jatuh, tepat disamping mayat seorang wanita yang sudah kaku dengan luka tusukan diperutnya.

Candra menggeleng, lalu menatap Karin sedih. "Kamu juga harus mati kalau begitu, maafin aku.."

Baru saja Candra ingin membungkuk meraih pisau daging yang tadi sudah digunakan untuk menikam Desi, Karin sudah meraihnya lebih dahulu.

Napas Karin memburu, ia mengacungkan sebilah pisau itu kearah Candra untuk menjaga dirinya. "JANGAN MENDEKAT!"

Candra sedikit mundur begitu tahu ancaman yang ia dapatkan.

"Mamaaa! Mamaa! Buka pintunya, Maa!"

"Mamaa! Raya mau keluar!"

"Mama!"

"Papaa! Tolong Raya, Pa!"

Keheningan diantara Candra dan Karin membuat suara teriakan Raya dari dalam kamar terdengar jelas.

Seketika Candra tersenyum iblis, ia menemukan mainan baru nya. "Jatuhkan pisau itu atau saya bakal jual Raya!"

"Candra Biadab! Dia anak kamu!!"

"Aku nggak perduli!"

Detik selanjutnya adalah ketika dari luar, terdengar letupan senjata api. Para polisi berjaket kulit yang membawa pistol itu bergegas masuk dari segala pintu dirumah itu untuk mencegah pelaku kabur.

"Angkat tangan semuanya!"

Candra terkejut, tetapi ia mencoba untuk tenang. "Tangkap isteri saya itu, pak! Dia nggak waras! Dia udah bunuh Desi, dia cemburu sama Desi!"

Karin berdiri, menjatuhkan pisau dari tangannya. Dada nya mencelos ketika Candra menuduhnya seperti itu, ia menggeleng cepat. "Saya nggak salah!! Dia yang bunuh Desi!"

"Saya nggak salah! Kenapa tangan saya diborgol?!"

"Lepasin!!"

...

•••

"Bewail something?"

Raya tidak menoleh barang sedikitpun meskipun ia tahu, Daniel sedang bertanya kepadanya. Tetapi untuk menanggapi pertanyaan Daniel, Raya akhirnya memilih mengangguk singkat seraya tersenyum tipis.

Daniel menarik kursi disamping Raya, lalu duduk sambil menopang dagunya. Sesekali Daniel melirik Raya lewat ekor matanya.

"Eh, Bintang temen kamu yang waktu itu.. Ganteng ya?"

Iseng, sebenarnya Daniel cuma iseng untuk sekedar mengundang pembicaraan antara ia dan Raya. Tapi seperti nya Raya menjadi sensitif akhir-akhir ini, ia menoleh sedetik dengan tatapan judes.

Setiap kali mendengar nama Bintang, ia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Waktu dimana Bintang mengutarakan perasaannya, selalu terbayang dan sukar untuk dilupakan. Raya tahu, seharusnya ia tidak boleh terlalu sering memikirkan laki-laki lain. Sekarang ini, Daniel sudah menjadi pelengkap hidupnya.

"Diem terus, aku dicuekin." Daniel terkekeh, setengah menyindir Raya. "Oke, aku mau balik ke Austra--"

"Kamu pergi, aku ikut." Sela Raya cepat, tanpa menoleh.

"So sweet,"

"Aku.. Serius." Kali ini Raya вenar-вenar menoleh kearah lawan bicara nya. Daniel menggeser kursinya lebih dekat dengan Raya, sampai kursi kayu jati yang kedua nya duduki menempel. Raya menghela napas panjang, menyandarkan kepala nya ke bahu Daniel. Meskipun kepala Raya tidak benar-benar sampai ke bahu Daniel, hanya menempel dilengan atas Laki-laki blesteran itu. "Aku rasa, Jakarta udah bikin aku nggak nyaman. Terlalu banyak masalah yang bikin aku--Daniel, setelah ini kita balik ya?"

Tangan Daniel terulur, menyentuh pucuk kepala Raya lembut. "Sweety, Aku nggak akan bawa kamu pergi dari sini. Aku tahu, ada masalah yang belum kamu selesaikan."

"Hh?" Raya menegakkan tubuhnya, menatap Daniel dengan sebelah alis terangkat. "... Maksud kamu?"

"I know you've problem and i believe, you can accomplish that."

Raya mengerjapkan matanya, lalu menegang. Apa tadi? Daniel memang terlalu pintar untuk Raya, laki-laki itu selalu tahu Raya. Raya tidak bisa sedikitpun menyembunyikan sesuatu kepada Daniel.

Entah karena Raya yang terlalu ceroboh hingga gelagatnya begitu kentara, atau Karena Daniel yang terlalu cerdas.

"Kamu ngomong apa, sih? Aku kan udah selesaiin semua masalah nya, tentang Sidang Pak Pramana dan Papa." Jelas Raya, seraya menyelipkan sejumput anak rambut yang mengganggu kebelakang telinga nya.

"Gimana sama Bintang?" Daniel menyeringai ringan, memicingkan mata kearah Raya.

Deg

Raya menahan napas sejenak, kemudian mengalihkan mata nya untuk mengakhiri kontak mata yang terlalu berkepanjangan dengan Daniel. Raya mengatur napasnya, mencoba untuk mengendalikan detak jantung nya yang seperti semakin memompa darahnya lebih cepat.

Raya lalu tertawa kecil, menanggapi Daniel. "Kamu aneh, deh. Apaan, sih? Kok bawa-bawa Bintang?"

"Hei," Desis Daniel lembut. "Kalo ngomong lihat orangnya."

Raya menunduk, menoleh perlahan hingga kedua bola mata cokelat almond milik Daniel mengunci tatapan Raya. Sialan, Raya tidak bisa berkutik atau berpaling.

"Tadi aku nggak sengaja ketemu sama Bintang, dia menjelaskan semua nya tentang kamu."

"Semua? Tentang apa? Bintang ngomong apa? Kapan? Kok aku nggak ta--"

"--i." Daniel tertawa menyambung kata Raya. "Ya kan aku nggak terus bareng sama kamu, sweety. Aku dari tempatnya Bunda Mutia, terus kesini."

"Bintang ngomong.. apa?" bahkan Raya ragu bertanya seperti itu, ia tidak berani melihat wajah Daniel.

"Nggak banyak, nothing."

"Serius!"

"Iya, aku serius."

"Daniel!"

"Apa?"

Raya menghembuskan napas jengah, "Kamu belum jawab!"

"Jawab apa?"

"Pertanyaan aku!"

"Iya, pertanyaan yang mana?"

Siapapun tahu, Daniel sedang berpura-pura tidak tahu. Raya mendengus kesal. "Bintang ngomong apa aja sama kamu?"

"Yakin mau denger?"

Raya membungkam, Yakin apa enggak yaa?

"Katanya, Kamu cantik."

Blush. Pipi Raya merona, memanas mendengar rayuan Daniel. Bahkan perutnya seakan dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu yang beterbangan kesana kemari (Dan tertawa#plak!).

Raya kesal, seperti dipermainkan. Tapi anehnya, ia tidak bisa menahan senyumannya. Meskipun Raya tahu, Daniel sedang berbohong untuk menutupi sesuatu.

Daniel pasti tahu hal yang lebih.

"Laper jadinya."

"Baper kali." Celetuk Daniel.

"Kamu nggak marah?" tanya Raya, tiba-tiba setelah suasana antara mereka kembali hening. "Aku yakin, Bintang pasti ngomong yang aneh-aneh."

Daniel menarik pipi Raya gemas, mencibir jahil. "Sok tau. Nggak aneh, kok. Wajar-wajar aja."

"Wajar kenapa?"

"Wajar aja kalo dia suka kamu," Kata Daniel santai. "Kamu kan unik, sempurna. Dan dia iri banget pasti sama aku."

Raya memalingkan wajahnya kearah lain, menahan rona dikedua pipinya dan menahan senyuman nya. Ia lalu menoleh singkat kearah Daniel, "Apa, sih? Udah tau akhir-akhir ini aku baperan."

"Akhir-akhir ini? Padahal udah dari dulu."

"Dih, sok tau."

"Emang tau!" terakhir Daniel bangkit dari kursinya, memencet hidung Raya gemas lalu membungkuk hingga dagu nya menempel ke bahu Raya dari arah belakang. "Aku harap semua akan baik-baik aja."

•••

"Kamu ngomong apa ke Daniel?" tanya Raya kesal, bersedekap dada.

Bintang menatap Raya datar, lalu meletakkan secangkir teh madu ke meja tanpa menjawab pertanyaan Raya yang tidak penting menurutnya.

Sore ini, Raya memyempatkan diri untuk sekedar singgah ke kediaman keluarga Pramana. Maksud kedatangannya hanya sekedar bersilaturahmi juga pamit karena minggu ini, Raya akan kembali ke negara kelahiran Daniel. Sebenarnya Daniel kurang setuju dengan keputusan Raya, tetapi gadis itu terus memaksa.

"Bintang, denger aku?" tanya Raya sarkastik.

"Denger." Bintang duduk di sofa berhadapan yang menjadikan meja sebagai penengah antara ia dan Raya. "Tapi kamu juga denger aku, nggak?"

"Apa?"

"Sekarang ini didalam hati aku bilang; Aku suka Raya. Aku suka Raya. Tapi Kamu nggak mau denger, menurut kamu adil?"

Raya menelan ludah nya susah payah, menghela napas panjang dengan tatapan sulit diartikan. Gadis itu memutuskan untuk diam, sesekali matanya bergerak menyapu pandangan ke sekelilingnya. Rumah yang terlalu sepi.

"Kamu beneran mau nikah?" tanya Bintang, tersenyum miris.

Bintang menahan sesuatu yang menghujam dada nya keras-keras. Pertanyaan yang sebenarnya tidak begitu memerlukan jawaban. Pertanyaan bodoh yang hanya membuat Bintang jatuh semakin dalam.

Seperkian detik, Bintang menjadi menyesal bertanya seperti itu. Ia belum siap mendengar jawaban Raya.

"Kadang aku heran aja," Gumam Raya pelan, tapi masih bisa didengar oleh Bintang. "Kamu tuh udah tahu suka sama aku, tapi ngasih pertanyaan yang cuma bikin kamu sakit hati. Gimana kalo aku jawab, iya?"

"Yaa, terserah."

Raya bukan nya jahat, atau tidak memiliki perasaan. Hanya saja sesekali Raya harus bersikap tegas agar Bintang tidak terus terjebak di dalam zona nya, Bintang harus bangkit dan berdiri. Raya mau Bintang melupakan nya.

Akan menyakitkan bila seseorang terus mengharapkan sesuatu yang telah pergi, dan Raya tidak mau Bintang menjadi salah satunya.

"Padahal," Bintang menarik napas dalam-dalam. "Aku udah pede banget, ngiranya kalo kamu juga punya perasaan yang sama."

Bodoh, dan kamu mulai ragu buat percaya sama perkiraan kamu?

Raya meringis, "Dan sekarang kamu mulai nggak pede?"

"Enggak, belum. Aku masih pede."

"Jadi kamu masih beranggapan kalo aku juga suka kamu?"

Bintang tersenyum teduh, memamerkan sederet gigi-gigi rapi nya. "Emang boleh?"

"Boleh, silahkan."

Bintang tertawa kecil, lalu mengacak rambutnya hingga berantakan. Sesekali ia menatap kearah lain, mencoba menghindar kontak mata langsung dengan Raya.

Bukan apa-apa, Bintang hanya berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Ia tidak mau semakin terjebak didalam cinta ekspetasi nya, karena Raya tidak begitu terlalu menaruh harapan kepadanya seperti ia menaruh harapan banyak-banyak terhadap Raya.

"Kenapa kesini? Tumben? Kemana Daniel?" tanya Bintang, mengalihkan obrolan yang mulai tidak nyaman.

"Oh, iya. Pak Pramana ada nggak?"

"Ada, sih." Jawab Bintang. "Tadinya. Barusan pergi ke kantor, ngurus perusahaan yang bentar lagi bangkrut."

Bintang tertawa miris, "Jadi gini akhirnya, hidup emang kayak roda yang berputar. Sekarang kamu malah diatas dan aku sama Papa dibawah."

"Kok kamu bisa nyimpulin gitu, sih? Jangan pernah percaya kalo hidup kamu ada dibawah, terkadang kita perlu pede."

"Tau'ah, Papa kena azab kali!"

Raya melotot, menginterupsi. "Mulutnya."

"Oh iya, Maaf aku baru tahu kalo Pak Candra itu sebenernya--"

"Iya, aku nggak lagi mau bahas itu."

"Its Okay. Aku ngerti."

Bintang memperbaiki posisi duduknya, mencari yang lebih nyaman. Meski sekeras apapun ia mencari posisi duduk yang nyaman, Hatinya selalu berdebar tidak karuan setiap Raya ada didekatnya.

Kedua mata Raya terarah ke cangkir cantik berwarna putih didepannya. Kemudian ia tertarik untuk meraih nya.

"Aku kesini mau pamit aja, sih. Mau ke balik," Raya kembali meletakkan cangkir teh diatas meja.

"Balik kemana?"

"Australi," jawab Raya singkat.

Bintang terdiam memikirkan sesuatu, lalu menatap Raya penuh sesal. "Alasannya karena aku?"

Mungkin Iya.

"Ng--nggak tau," Kepala Raya menunduk dalam-dalam, setelah memperlihatkan senyuman tipisnya.

Bintang menghela napas panjang, hati nya sakit. Bahkan Raya segitu niatnya untuk pergi hanya untuk menjauhi nya.

"Aku pikir kamu gak suka aku," Sahut Bintang singkat.

"... Maksudnya?"

"Aku jadi yakin sama perkiraan aku kalo kamu emamg punya perasaan yang sama kayak aku."

Raya mengerjap, tidak mengerti. "Aku--"

"Kalo kamu emang nggak suka aku, nggak punya perasaan apapun, kamu nggak mungkin segitunya niat buat mencoba pergi. Masuk akal?" Bintang tersenyum sinis.

Sekali lagi Raya membeku ditempatnya, terpaku tanpa menggerakkan badannya. Ah, sial. Apa gelagat dan keputusannya begitu kentara?

"Sekarang impas kan?" tanya Raya setelah lama beradu dengan argumen dikepalanya. "Kamu nggak sakit sendirian, kamu nggak berjuang buat melupakan seseorang sendirian. Karena ada aku, yang akhirnya ketahuan juga suka kamu."

".. Yaa, mungkin impas. Tapi kalo aku boleh pilih, lebih baik kamu nggak suka aku. Patah hati ini cuma punya aku, kamu jangan ikut campur." Kata Bintang, tersenyum tulus.

Raya tertawa, "Andai bisa."

*END*

_Cerita didedikasikan untuk kamu yang pernah hadir meski bukan menjadi teman hidupku, Bintang._

BERSAMA BINTANG - Devi AMELIA

 Chapter 07





_*20 Tahun Kemudian.*_

Seorang gadis cantik keluar dari kereta yang telah membawa nya pulang ke Jakarta. Penampilannya cukup sederhana, dengam make up natural yang tidak terlalu kentara. Gadis itu dari tadi menjadi pusat perhatian, dia memang cantik dan manis.

Sweater merah muda coral yang dipadukan dengan celana jins putih dan sepatu flat berwarna senada dengan jaket hijau lumut nya tampak membuat gadis itu semakin sempurna. Koper yang ia bawa tidak berat, hanya berisi pakaian nya saja.

"Itu yang masuk berita itukan?"

"Mana? Eh, dia kan pengacara yang masuk koran kemarin?"

"Udah keliatan kalo dia jenius."

Gadis dengan rambut lurus terurai itu menoleh kearah sumber suara, lalu tersenyum tipis menanggapi mereka. Bahkan di stasiun saja, Semua orang sudah membicarakan nya ini-itu. Mereka semua menganggap bahwa hidup Gadis itu selalu sempurna, sehingga koran terbitan yang memuat masa lalu seorang pengacara lulusan Australia itu terbongkar dan sekarang menjadi buah bibir masyarakat.

Di Australia, nama nya juga bersinar seperti bintang. Ia sudah banyak memenangkan kasus dalam bidang apapun. Dan uniknya, Gadis ini tidak menargetkan upah yang harus klien bayar setelah memenangkan kasus. Bahkan beberapa kali ia membantu permasalahan dengan cuma-cuma.

Bahkan di siaran televisi, nama Gadis itu selalu muncul menghiasi layar televisi. Mereka semua terlihat mendukung sang pengacara itu begitu tahu bagaimana suram masa lalu nya. Sampai sekarang nama nya masih bertahan menjadi high rank, apalagi ketika siaran televisi mengusulkan akan membuat inspiration film yang menceritakan jalan kehidupan nya.

"Bunda Mutia!" Gadis berumur 26 tahun itu berseru, ketika melihat seorang wanita berumur sekitar setengah abad tampak menyapu pandangan, mungkin bermaksud mencarinya.

Bunda Mutia, wanita yang sudah berjuang keras untuknya itu tampak menyipitkan mata sembari berlari kecil mendekati seseorang yang tadi menyerukan namanya.

"Raya.."

Kedua nya berpelukan erat, mengundang banyak orang untuk tertarik menjadikan kedua nya pusat perhatian. Sesekali mereka memotret momen seorang pengacara terkenal yang sedang melepas rindu.

Ananda Maharaya, gadis yang sukses dengan bantuan beasiswa dari pemerintah itu terlihat sukacita memeluk erat Bunda Mutia. "Ya allah, Bunda.. Raya kangen banget, Kangen berat sama Bunda."

Bunda Mutia terkekeh, lalu melepaskan pelukannya. Kedua tangannya terulur, menyentuh wajah Raya lembut. "Aduh, gelieus pisan puteri nya Bunda teh.."

Raya menangkap kedua tangan Bunda Mutia yang masih mengusap wajahnya. Bunda Mutia tertegun sejenak saat Raya menarik tangan nya perlahan mendekatkan kearah bibir Raya, gadis itu mencium lama punggung tangan kanan dan kiri Bunda Mutia.

Alih-alih, Wanita yang mulai mengeriput itu menahan napasnya untuk mencegah isakan dan air matanya. Ia merasa, sangat beruntung memiliki anak asuh seperti Raya.

Dari dulu, Raya tidak berubah. Masih menjadi gadis kecil yang berkemauan keras. Bahkan ketika Bunda Mutia mendaftarkan Raya ke sekolah dasar, Raya tidak keberatan membantu Bunda Mutia untuk berjualan disekolah sekedar meringankan ekonomi panti asuhan. Saat itu donatur tidak lagi memberikan bantuan banyak, keinginam Raya untuk terus bekerja sambil sekolah muncul menggebu. Dan hasilnya, Raya berhasil menjadi Raya yang sekarang.

"Makasih, ya. Bunda udah nemenin Raya hidup beberapa tahun lalu supaya Raya nggak sendirian. Saat itu Bunda harus tahu, betapa Raya nggak ingin merasa kehilangan untuk yang kesekian kalinya."

Bunda Mutia menggeleng, "Bunda sangat beruntung punya kamu, sayang."

"Bunda, nanti temenin Raya liat rumah ya?"

Raya menarik koper nya, mengajak Bunda Mutia untuk berjalan beriringan keluar dari stasiun.

Bunda Mutia tersenyum tipis, menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Kamu hebat, udah punya rumah sendiri. Nanti Bunda kesepian lagi, deh.."

"Ih, Bunda.." Raya memanyunkan bibirnya. "Raya kan beli rumah sendiri supaya nggak ngerepotin Bunda terus. Bunda juga bisa ngajak anak-anak panti kerumah setiap hari, pintu rumah Raya selalu terbuka buat Bunda sama anak-anak panti."

Bunda Mutia tersenyum, "Oh iya, selamat ya.. Kamu udah berhasil bikin Mama kamu bangga disana. Selamat karena udah berhasil membuktikan kasus Mama kamu itu salah, Selamat karena udah membersihkan nama Mama kamu. Berita tentang kamu yang mengungkit kasus dua puluh tahun yang lalu atas Mama kamu menjadi pembicaraan dimana-mana, banyak banget dukungan buat kamu."

Raya menoleh kearah Bunda Mutia, merasakan kedua matanya benar-benar memanas. Kemudian satu persatu air mata dipipinya jatuh, tetapi Raya enggan untuk menyeka nya.

"Kok jadi nangis, sih?" Tanya Bunda Mutia.

"Kali ini bukan air mata karena sedih, Bunda. Ini air mata bahagia, aku nggak mau menghapus nya."

•••

"Assalamualaikum, Juragan Faisal!" Sapa Raya semangat, ketika langkahnya baru terhenti disebuah bangunan yang baru dibangun dengan megahnya.

Aroma cat baru menyeruak masuk kedalam penciuman Raya, bahkan aroma sisa kardus-kardus basah karena hujan berserakan. Aroma ini mengingatkan keadaan dua puluh tahun lalu.

Juragan Faisal dengan heboh menyalami Raya ketika tahu siapa yang berkunjung. Laki-laki yang dulu selalu berdiri dengan bahu kokoh itu mulai sedikit membungkuk, dimakan usia. Tapi Raya bisa melihat jiwa muda Juragan Faisal masih menggebu, mengalahkan fakta bahwa usia Juragan Faisal kini sudah mencapai 57 tahun.

"Wa'alaikum salam." Juragan Faisal menatap Raya tidak percaya, berdecak kagum. "Duh, gusti.. Raya yang dulu udah jadi Raya yang hebat!"

"Juragan Faisal gimana kabarnya?" tanya Raya, mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah, atuh. Saya baik-baik aja." Jawab Juragan Faisal. "Eh, tapi udah atuh, jangan panggil Juragan-juragan lagi. Saya ini bukan Juragan kamu lagi, gelieus.."

Raya tertawa lebar, "Udah biasa, Juragan.."

"Saya teh jadi ndak enak, gimana kalo dipanggil Abah aja?"

"Iya, Abah."

Juragan Faisal tersenyum puas, kemudian mempersilahkan Tamu istimewa nya masuk kedalam.

Bangunan ini masih belum dilapisi cat sepenuhnya. Dan belum dibersihkan, Raya menatap ke sekelilingnya.

"Sok atuh, duduk disini. Punten, nyak. Masih kotor," Juragan Faisal berbasa-basi. "Mau minum apa?"

"Enggak, Bah. Raya kesini cuma mau main aja, nggak ganggu Abah kan?"

Abah menggeleng cepat, "Ya ndak atuh, gimana sih.. Semua yang ada disini juga punya Neng Gelieus."

"Abah, ih. Ini tuh punya Abah, Raya kan cuma bantu aja. Abah inget nggak sama janji Raya dulu?"

Juragan Faisal tersenyum. Demi apapun, janji seorang anak kecil seperti Raya saat itu terdengar mustahil. Dan Juragan Faisal menanggapi janji Raya hanya sebatas motivasi. Ia tidak mengira kalau Raya sungguh-sungguh dengan janji nya.

Andai ia tahu, kalau hidup Raya sangat berpengaruh baginya. Juragan Faisal pasti akan langsung memenuhi segala kebutuhan Raya, tidak harus bekerja untuk mendapatkan upah.

"Abah, ngelamun aja." Sahut Raya.

"Neng, Abah pasti inget sama janji Eneng teh. Bahkan karena Neng Raya, nama Abah jadi piral masuk koran. Meskipun cuma jadi juragan sampah doang, sih."

"Raya nggak ngerti kenapa bisa jadi Viral, Bah."

"Kok ndak ngerti? Ya soalnya Neng Raya itu terkenal. Apa namanya, Pemes."

Raya terkekeh mendengar Juragan Faisal kesulitan mengatakan kata terakhirnya.

"Raya bukan orang penting, Bah. Raya masih sama seperti yang Abah kenal." Ucap Raya merendah.

"Eh, kamu tau nggak? Warga disini jadi gempar, setelah tahu keadaan kamu sekarang. Mereka bilang nyesel udah jahatin kamu, tapi yaudah.. Jangan dimaafin. Abah juga kesel sama mereka, sadarnya udah eks--ekspayet."

Expired, mungkin itu maksud Abah.

"Enggak papa, Bah. Justru karena mereka, Raya bisa jadi kayak gini. Cacian mereka yang bilang kalo Raya anak stres, bikin Raya kebal dan mendorong Raya buat buktiin ke mereka kalo tuduhan mereka itu salah." Jelas Raya.

"MEREKA PERNAH HINA KAMU KAYAK ANAK STRES?!"

Juragan Faisal melotot, tidak terima.

Raya menarik napasnya, lalu tersenyum singkat. "Dulu, bah. Udah nggak usah dipikirin. Yang penting mereka udah sadar dan mau mengakui kesalahanya."

"Kowe itu, ndak berubah. Baik banget sama orang," Kata Juragan Faisal, lirih.

"Kalo kita baik sama mereka, mereka juga pasti bakal baik sama kita." Ucap Raya menanggapi perkataan Juragan Faisal.

Gadis itu lalu melirik arlojinya, lalu melotot. "Yah, Bah." Sesalnya kemudian.

"Ana apa, toh?"

"Raya harus buru-buru pulang, ada urusan. Kapan-kapan Raya kesini ya, Bah."

"Oalah, nduk. Ndak apa-apa, orang penting mah suka sibuk. Hati-hati, ya?"

Raya tersenyum tipis, berdiri dari duduknya.

"Iya, hatur nuhun."

•••

"Jalan Kelapa Sawit.." Raya menepuk bahu ojek online didepannya, untuk meminta nya berhenti.

"Kenapa, mbak?" tanya nya.

"Udah, saya turun disini aja. Ini uangnya,"

Bergegas Raya memberikan selembar uang lima puluh ribu kearah laki-laki ojek online yang baru saja ia pakai jasa nya, tersenyum tipis.

"Yah, mbak.. Aku nggak ada kembalian. Ada uang pas nggak, mbak?" tanya nya seraya merogoh dompetnya untuk memastikan.

"Enggak, Mas. Nggak papa, ambil aja."

"Eh? Seriusan mbak nya? Makasih, mbak."

Raya mundur beberapa langkah saat sepeda motor ojek tadi melaju pergi, menyisakan kepulan asap abu-abu yang bau nya tidak enak. Gadis itu menghela napas, lalu mengecek Iphone nya dari saku jaket tebalnya.

Ia menekan app Email, lalu mencari roomchat nya bersama seseorang.

"Jalan kelapa sawit, didepan rumah makan.." Gumam nya, ia mengedarkan pandangannya guna memastikan. "Iya, nih. Jalannya bener."

Kemudian Raya memutuskan untuk menunggu salah satu klien nya yang tadi malam mengirim email kepada Raya. Klien nya satu ini tidak menyebutkan nama, hanya saja ia menjelaskan kasus yang menjadi masalahnya kepada Raya agar gadis itu bisa mempelajari lebih lanjut.

Kasus yang memang sering Raya dapatkan disini, korupsi atau penggelapan uang.

Demi menghabiskan rasa jenuhnya, Raya kemudian melihat app galeri. Iseng saja sebenarnya, ia melihat foto demi foto yang ada di Iphone nya. Sesekali ia tersenyum, saat melihat fotonya bersama seorang laki-laki muda sedang berdiri menghadap kamera sambil tersenyum. Raya masih ingat, Ia diminta foto bersama dengan Daniel, pengacara internasional berasal dari Australia sebagai ucapan selamat atas kemenangan kasus pertama Raya yang telah membersihkan nama Mama nya. Dan sekarang hubungan antara ia dan Daniel sudah semakin dekat, meskipun jarak memisahkan kedua nya. Daniel kini sedang mengikuti langkah Raya, ia pergi ke sebuah negara dengan kasus terbanyak. Daniel bekerja tanpa menargetkan upah, ia tertarik dengan cara Raya bekerja.

Kebahagiaan Raya semakin memuncak ketika Daniel berniat untuk menikahi nya tahun depan, setelah lebaran.

Jari Raya menggeser foto nya dan Daniel kesamping, memperlihatkan foto selanjutnya. Kali ini ia tidak tersenyum, wajah nya berubah mendung melihat hasil Screenshoot yang ia ambil dari internet. Sebuah muatan koran yang terbit dan menjadi pembicaraan.

Artikel dengan judul; Berhasil memenangkan kasus atas naa Sang Ibu, Pengacara muda akui masa lalu nya yang suram.

Raya menghembuskan napas nya panjang, lalu memutuskan untuk mematikan Iphone nya dan menyimpannya di saku jaket. Hari ini, Raya akan memfokuskan diri untuk kasus yang satu ini.

"Hei,"

Entah karena melamun atau apa, seorang laki-laki muda dengan kemeja hitam sepertiga tahu-tahu sudah ada disampingnya. Ia menaiki sepeda motor scoopy berwarna hitam mengkilap.

Raya menoleh, lalu tersenyum. Dugaan pertamanya, Pasti laki-laki itu adalah klien yang memgirim email tadi malam.

Laki-laki tegap dan tinggi itu masih berdiri, kulitnya putih dengan bibir cenderung merah alami. Hidung nya runcing, alis tebal nya menambah kesan ganteng nya.

Tapi mendadak, kepalanya berdenyut pelan. Garis-garis bayangan dan wajah laki-laki itu terlihat begitu familiar dan tidak asing lagi. Tapi Raya tidak ingat apapun. Tentu saja, mungkin karena ia sudah meninggalkan Indonesia 6 tahun lama nya setelah ia berhasil mendapatkan beasiswa ke Australia di Sekolah Menengah Atasnya.

Raya memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya, "Selamat Siang."

"Selamat Siang juga, maaf membuat Anda menunggu. Tapi lebih baik kita mencari tempat untuk membicarakan permasalahan saya, bisa?" tanya laki-laki itu sopan.

"Iya, baik. Tapi maaf, sebelumnya.. Bolehkah saya tahu nama anda? Tadi malam, anda tidak memberikan data yang lengkap."

"Oh, iya. Nama saya.. Galaksi."

•••

Keadaan rumah makan bergaya tradisional itu membuat mata Raya mengerjap beberapa kali, ia begitu takjub. Sudah lama sekali ia terjebak disebuah ruangan minimalis dan modern di Australia. Tidak bisa pungkiri, Raya juga pasti merindukan kampung halamannya.

Seorang pegawai laki-laki dengan seragam batik cokelat terang dengan Blangkon yang senada tahu-tahu sudah berdiri dimeja Raya dan Galaksi, meletakkan nampan yang berisi dua piring makanan sederhana dan dua gelas teh madu.

"Terima kasih, Kang." Ucap Galaksi singkat.

Pegawai rumah makan itu mengangguk seraya menebarkan senyuman tipis, berlalu melangkah menjauh.

Sedangkan Raya tercengang, ketika melihat makanan yang Galaksi pesan. Dua piring nasi dengan lauk yang berbeda. Dipiring milik Raya, dengan lauk ayam bakar. Sedangkan dipiring Galaksi dengan lauk tahu dan tempe goreng.

Galaksi menatap Raya intens, lalu tersenyum kecil. "Ada apa? Anda juga mau nasi dengan dua lauk yang berbeda seperti punya saya?"

Deg

"Ini, silahkan. Belum saya apa-apakan, kok." Galaksi menggeser piringnya mendekati piring Raya.

Raya mendongak, menoleh cepat kearah Galaksi. Raya seperti merasakan sebuah Deja vu, kalimat pertanyaan Galaksi terdengar tidak asing. Telinga nya sensitif. Mendengar itu, Raya seolah terlempar ke masa lalu nya.

Galaksi benar-benar misterius.

Raya beberapa kali mencoba untuk mengingat sesuatu, sampai akhirnya bayangan kejadian dua puluh tahun lalu berlarian didalam memorinya. Sekelebat bayangan hitam-putih yang samar-samar, tapi cukup membuat tubuh Raya menegang.

Kedua matanya memanas, napas nya memburu.

Kemudian, Raya menangis. Menangis tanpa suara. Bahkan ia tidak perduli kalau didepan nya sekarang, klien nya sedang duduk menatap Raya dengan pandangan sulit diartikan.

Luka dan perasaan kehilangan itu menguak, kembali menyadarkan Raya sekarang. Tanpa disadari, air mata nya terus bergulir cepat menuruni pipi nya.

Raya bangkit dari kursi kayu dingin nya, lalu berjalan memutari meja didepannya. Galaksi berdiri dari duduknya, menatap Raya tulus tanpa berkata apa-apa lagi. Mungkin semua ucapannya sudah jelas bagi Raya. Tanpa ragu, gadis itu memeluk leher Galaksi, meletakkan dagu nya ke bahu  Galaksi dengan kaki sedikit menjinjit.

Galaksi tersenyum ketika orang-orang disekitarnya menatap nya hangat, sesekali melempar senyuman ramah. Perlahan kedua tangan Galaksi terulur, membalas pelukan Raya. Sesekali tangannya mengusap rambut kepala Raya yang menjuntai sampai punggung.

Bahu Raya bergetar, suara tangisannya mulai pecah meski tertahan. Dan Galaksi mulai merasakan kemeja yang ia kenakan basah dibagian bahu. Galaksi membiarkan gadis dipelukannya menangis sepuasnya, seolah ingin memberikan Raya waktu.

"Hei, udah.. Jangan nangis." Bisik Galaksi perlahan, membuat Raya semakin mempererat pelukannya.

Tidak akan, Raya tidak akan membiarkan dia pergi lagi. Raya akan menuntut keadilan terbesarnya dari dia, Raya akan menuntut janji dimana dia tidak akan meninggalkannya.

"Raya, jangan nangis ya.." Lirih Galaksi perlahan. "Iya, deh.. Aku rela kalau kamu bilang, kamu lebih tua dari aku. Meski cuma dua bulan."

Bahu Raya semakin bergetar, ia masih enggan melepaskan pelukannya.

"Raya cantik, udah ih.." Galaksi membujuk sekali lagi. "Tapi nggak apa, deh. Nanti kamu masuk koran lagi, terus aku terkenal."

Raya mengendurkan pelukannya, menatap Galaksi yang kini setengah menunduk untuk menatap Raya yang masih sesenggukan dengan wajah sembab.

Raya mencengkram bahu Galaksi, lalu memukulnya beberapa kali. "Aku lebih tua dari kamu, tapi kamu lebih tinggi dari aku."

"Kamu tahu siapa nama aku?" Galaksi tertawa menyeringai.

".. Bin--tang?"

"Bukan," Galaksi menggeleng, terkekeh. "Aku Galaksi,"

Raya mengerjap, menaikan alisnya masih tidak mengerti. "Kamu Bintang, bukan Galaksi."

"Aku nggak mau jadi Bintang, dia udah bohongin kamu dan udah bikin kamu kecewa dua puluh tahun lalu." Kata Galaksi, seraya mengelus pucuk kepala Raya. "Dia titip salam buat kamu, katanya dia mau minta maaf karena udah biarin kamu pergi dan lupa sama janji nya."

"Bintang.." Desis Raya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu nggak lupa sama janji kamu, kamu udah menepati janji kamu sama aku. Kamu udah berusaha buat mempertahankan aku dua puluh tahun lalu, dan aku menghargai itu."

"Tapi Bintang gagal menepati janji nya,"

Raya menggeleng, air mata nya jatuh kembali. "Nggak masalah kalau seseorang gagal dalam hidup nya, nggak ada hukuman buat orang yang gagal."

"... Aku seneng waktu denger kabar kamu udah berhasil jadi pengacara yang sukses. Pas pertama kali aku lihat wajah kamu di televisi, aku dibilang stres karena aku bilang sama orang-orang kalau aku kenal kamu. Tapi aku nggak perduli. Jadi saat aku tahu kabar bahwa kamu pulang ke Jakarta, aku langsung kirim email ke kamu." Jelas Galaksi.

"Dan kamu ngaku sebagai orang lain?" Raya menatap Galaksi jengkel.

Galaksi tertawa, dan Raya suka suara tawa nya. "Enggak, aku emang Galaksi. Galaksi Bintang Pramana. Tiap aku dipanggil Bintang, aku selalu ingat kamu. Aku merasa bersalah karena udah biarin kamu pergi, tanpa aku. Jadi aku nggak mau menjadi Bintang lagi,"

"Kamu masih tetap jadi Bintang buat aku,"

Galaksi tersenyum, nama Bintang kembali membuatnya tertarik lagi. Galaksi--Bintang tersenyum, lalu tertawa. "Sekarang aku siap jadi Bintang lagi,"

•••

"Siapa dia?"

Raya menatap Bintang sekali lagi, lalu tersenyum kearah pria tua yang sedang menggenggam batang jeruji besi. Raya yakin, itu adalah Pramana. Garis-garis wajah Pramana mulai menua, dimakan usia.

Bintang menatap datar kearah Pramana, "Kalau aku bilang, Papa nggak akan percaya."

"Kamu ngomong apa, sih? Papa nyuruh kamu buat cari pengacara terbaik! Bukan ngomong nggak penting kayak gini, Bintang!" Pramana menggebrak meja, membuat Raya sedikit terkejut.

Rupanya beban dan masalah membuat Pramana menjadi sosok yang tempramen dan kasar. Rahang Pramana mengeras, lalu menopang kepalanya frustasi.

"Ini bukan waktunya kamu kembali nyalahin Papa karena udah misahin kamu sama anak yang namanya Raya itu. Papa udah mendekam lima bulan, Papa nggak bisa lagi disini. Papa mau keluar, dan setelah itu papa janji bakal ngasih tahu dimana Raya tinggal." Pramana menatap Bintang memohon.

"Nggak perlu," Tukas Bintang cepat. "Orang yang Papa maksud udah disini, didepan Papa. Dia yang bakal jadi pengacara Papa, dia Raya."

Pramana merasakan suhu udara yang ada dibumi mendadak hilang, raib entah kemana. Dada nya sesak, Pria itu memukul beberapa kali dada nya seolah berharap rasa sakit di dadanya berkurang. Pramana menegang, menatap perlahan kearah Raya yang sedang tersenyum tipis kearahnya.

Lihatlah, Raya bahkan berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Butuh beberapa detik sampai Raya memutuskan untuk memulai pembicaraannya dengan Pramana yang masih terkejut.

"Selamat siang, Pak." Sapa Raya sopan. "Gimana kabar bapak?"

".. Kamu Raya?"

"Iya." Raya mengangguk, "Saya Raya."

Didetik selanjutnya, Pramana berdiri lalu meraih kedua tangan Raya. Pria itu mencium kedua tangan Raya sembari mengeluarkan air mata nya, menangis dengan nada tertahan.

Raya terkejut, lalu menoleh kearah Bintang. Tetapi Bintang malah mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Maafkan saya, Nak. Saya udah buang kamu ke Panti Asuhan itu, seharusnya saya nggak setega itu." Pramana menangis, suaranya bergetar.

Raya menggeleng, lalu menenangkan Pramana. "Enggak, Pak. Sudah cukup, Saya nggak merasa dirugikan oleh Bapak. Justru saya mau berterima kasih sama Bapak, saya menjadi seperti ini karena Bapak yang udah kirim saya ke Panti itu."

"Saya menyesal,"

Bintang menatap Pramana lamat-lamat. Entah kenapa, melihat sang Papa menangis seperti itu membuat Bintang menjadi luluh. Rasanya sudah cukup ia mendiami Pramana selama bertahun-tahun, sudah saatnya ia mulai menerima Pramana lagi.

Tidak bisa dipungkiri, Pramana adalah Papa kandungnya.

"Pa, udah.. Jangan kayak gini." Sahut Bintang, menyentuh bahu Pramana.

Pramana menoleh, terisak perlahan. "Maafin papa.."

"Iya, Pa. Aku udah maafin Papa,"

Hubungan antara ayah-anak itu mulai membaik, disaksikan oleh Raya. Gadis itu tersenyum lega ketika Pramana memeluk Bintang, sesekali berkata lirih mengungkapkan penyesalan.

"Udah, Pa." Kata Bintang. "Sekarang waktunya Papa bangkit lagi, Papa bakal bebas dan tuduhan itu bakal terungkap."

"Makasih, Bintang. Kamu udah tetep ada disamping Papa, meskipun kamu selalu terlihat acuh."

"Bintang cuma nggak mau, Papa hidup sendirian terus kesepian." Ungkap Bintag tulus. Kemudian ia menoleh kearah Raya. "Karena Bintang udah pernah bikin seseorang hidup kesepian karena sendiri."

Pramana membeku, ia jelas tahu siapa yang dimaksud Bintang.

BERSAMA BINTANG - Devi AMELIA

Chapter 06







"Biar aku aja yang bawa, ih!"

"Raya aja!"

"Aku aja!" Bintang menarik karung goni tersebut. "Aku kan cowok!"

"Raya yang lebih tua."

Fix. Bintang mendadak kesal mendengar alasan Raya yang tidak ada hubungannya sama sekali. Bintang tidak suka saja mendengar fakta bahwa Raya memang lebih tua dua bulan dari nya.

Raya tertawa melihat Bintang yang diam saja. Jelas Bintang bungkam, karena merasa terpojok. "Becanda, lebih tua dua bulan."

"Sini aku bawain aja!" Sungut Bintang ketus. "Kakak.."

Bintang memanggul karung goni yang sudah penuh separuh ke punggungnya, berjalan memdahului Raya yang masih tertawa keras.

Kemudian suara tawa Raya meredup, lalu menghilang.

"Bintang! Bintang!"

Bintang tidak menyahut, pura-pura marah saja supaya Raya menjadi merasa bersalah lalu mengejarnya. Itu pasti akan lebih seru.

"Bintaang!"

Senyuman tercetak jelas dibibir Bintang, anak laki-laki itu lalu menoleh kebelakang untuk menghadap kearah Raya yang dari tadi meneriaki nama nya.

Deg

Dada Bintang berdegup kencang, nafas nya naik-turun dengan bibir bergetar. ".. Raya?"

Mata nya mengerjap, lalu memandang ke sekelilingnya untuk mencari keberadaan Raya. Perasaan nya menjadi kelabu, gelisah tidak tahu apa sebab nya. Membayangkan bagaimana ia harus hidup sendiri tanpa Raya, Bintang semakin cemas.

Tetapi tetap saja, Raya menghilang. Ia tidak bisa menemukan gadis kecil itu dipandangannya.

Bahkan Bintang tidak bisa menggerakkan langkahnya. Ia terlalu takut untuk mengambil arah tanpa seorang teman, Raya.

".. Ray--"

"HUA!"

Bintang terlonjak ditempatnya, bahkan karung goni dipunggung nya terjatuh. Para pejalan kaki yang berlalu lalang sedikit menoleh singkat kearah Raya dan Bintang, lalu kembali acuh.

Bintang memang tidak menjerit atau berteriak, dia hanya menahan napas karena kaget.

Nafas Bintang kembali normal, ia menatap kearah Raya kesal. "Raya!"

Raya menutup mulutnya, menahan tawa yang berlebihan. "Nyariin Raya, ciye!"

Baru saja Bintang ingin menyanggah, Raya sudah berlari menjauh sambil tertawa-tawa lepas meninggalkan Bintang yang sudah kesal setengah mati.

"Rayaa!"

•••

"Nah, ini dia kesayangan Juragan.." Juragan Faisal menyambut kedatangan Raya yang ikut tersenyum, sedangkan Bintang sedikit membungkuk tampak kesusahan sambil memikul karung goni yang sudah penuh. Bintang berjalan mengekori Raya yang sudah berhenti didepannya.

Bintang meletakkan sekarung sampah yang bisa didaur ulang kembali ke tanah seraya menyeka peluh di pelipisnya. Bintang menjepit pangkal hidung runcing nya dengan kedua jemari, enggan mencium aroma busuk disekitar sini.

"Anak kesayangan Juragan, yang belakang mah bukan." Juragan Faisal melirik geli kearah Bintang. "Kenapa? Baunya ndak enak?"

"Iya, busuk banget." keluh Bintang. Kayak muka Om.

"Juragan, dipangil sama nyonya pertama dirumah!" Lapor Amir yang baru saja tergopoh sampai, sesekali mengatur nafas.

"Urang?" tanya Juragan Faisal dengan wajah memucat. "Waduh, kumaha ini teh?"

"Om, mana upah nya?" tanya Bintang tidak sabar.

"Juragan kenapa, sih?" tanya Raya penasaran.

"Ndak, isteri Juragan teh lagi Bunting. Jadi rada rewel.." Jawab Juragan Faisal. "Ini uang nya, Hatur Nuhun nyak.."

Raya menenggadahkan tangannya, lalu menghitung upahnya.

"Kok lima belas ribu, Om?" tanya Bintang sarkastik.

"Itungannya gitu," Kata Juragan Faisal. "Udah bener atuh."

"Gimana?"

Juragan Faisal menggelengkan kepalanya, merasa dipojokkan. Lalu ia memberikan uang tambahan, "Nih, lima ribu."

"Makasih, Juragan. Maaf," Raya nyengir lalu menatap Bintang kesal.

•••

"Kamu jangan gitu lagi, ya?"

Bintang menendang kerikil dijalanan, lalu menoleh kearah Raya. "Gitu gimana?"

"Tadi, Juragan Faisal. Dia itu baik banget, loh."

"Ngeselin aja muka nya, kayak ikan lele kumisnya." Celetuk Bintang asal.

Raya tertawa lebar, "jahat ih."

"Jadi mau ikan Lele," Bintang terlihat memikirkan sesuatu. "kita beli yuk!"

"Kalo kita beli ikan Lele dua bungkus, yang ada nanti uang kita habis."

Bintang menunduk lesu, ia menggenggam erat uang receh dua puluh ribu di tangannya.

Raya menyentuh bahu Bintang, lalu tersenyum semangat. "Yaudah, yuk beli!"

"Enggak, deh." Bintang menggeleng, lalu merangkul bahu Raya erat. "Aku mau ikan tempe aja sama tahu."

Raya tertegun. Menatap dalam-dalam wajah Bintang. Ia tahu, Bintang ingin sekali ikan lele, tapi ia mencoba untuk menahan keinginannya. Karena Bintang tidak mau merepotkan Raya.

"Kita beli satu aja lele nya," Usul Raya, yang disambut dengan mata berbinar oleh Bintang.

"Wah, iya! Kayak kemarin. Iya kan?"

"Iya," Raya mengangguk singkat. "Yang sampe duluan menang!!" teriak Raya saat ia sudah menjauh beberapa langkah.

"Ish, CURAAANG!"

•••

Brak.

Raya terpental saat dia menoleh kebelakang untuk melihat Bintang yang masih berlari mengejarnya. Raya memang ceroboh, ia sampai tidak tahu kalau didepannya ada seorang pria yang sedang menelpon.

Akibatnya handphone pria itu jatuh, dengan layar retak. Berantakan.

Raya membulatkan mata, kaget.

"Raya? Kamu nggak papa?" Bintang berjongkok, sembari menyentuh bahu Raya dari belakang.

Raya meringis lalu menggeleng, mendongak menatap Bintang yang terlihat khawatir.

"Bin--tang?"

Deg.

Bukan hanya Bintang yang mendongak untuk menatap pria didepannya. Raya juga ikut memdongak, entah kenapa perasaan Raya mulai cemas.

Rasa Kehilangan itu berjalan semakin dekat kearahnya.

Bintang berdiri, lalu tersenyum merekah. Bocah itu menjerit sambil memeluk pria itu erat. "Papaa!"

Raya setengah terkejut. Pria bersetelan jas dan pemilik sepatu mengkilap itu adalah Papa Bintang. Berarti benar, Bintang memang anak dari orang-orang kalangan atas.

"Sayang, kamu tuh kemana aja selama ini? Terus kamu ngapain aja? Papa cariin kamu terus. Maafin Papa, ya? Udah ngasih pilihan Mama yang salah buat kamu." Pria yang disebut Papa oleh Bintang berjongkok untuk menyamai tingginya. Lalu kedua matanya beralih kearah Raya yang masih terduduj diposisi jatuhnya. "Terus.. Ini siapa?"

Bintang membalikkan badan, lalu membantu Raya berdiri. "Dia Raya, temen nya aku."

"Temen kamu?" tanya nya.

"Iya, Pa. Aku ikut dia selama ini." Jelas Bintang. "Pa, Mama ninggalin aku gitu aja disini. Bahkan aku sampe jatuh ke selokan berjam-jam, untung aja ada Raya."

Raya tersenyum manis, "Raya temennya Bintang, Pak."

"Ah, iya. Terima kasih ya, Nak. Kamu udah nolongin anak saya," Ucap Pramana, Papa Bintang. "Orang tua kamu kemana?"

Raya menatap Bintang yang juga menatapnya, lalu menunduk. "Mama.. Meninggal, Papa.. Nggak tau."

Pramana menaikan alisnya, tidak percaya. "Yakin kamu? Kamu tinggal sendirian?"

"Enggak," Raya menggeleng singkat. "Raya tinggal sama Bintang."

Bintang tersenyum lebar, lalu merangkul Raya erat. Begitupun dengan Raya, ia merangkul pinggang Bintang. Feeling nya tidak enak, rasanya sesuatu yang buruk akan terjadi saat ini.

Tapi Raya tahu, selama ada Bintang, semua pasti bakal baik-baik saja. Bintang sudah bisa diandalkan.

Ah, andai dari awal Raya tahu. Seharusnya ia tidak mengajak lomba lari tadi. Seharusnya Raya tahu, malam ini adalah terakhir kali ia melihat sosok Bintang. Malam ini, cerita antara dia dan Bintang harus berakhir sampai disini.

"Sayang, ayo kita pulang." Pramana menegakkan tubuhnya setelah meraih ponselnya diatas aspal. "Kita anterin temen kamu pulang dulu, ya.."

Raya mengatur napas nya, perasaan kehilangan itu sudah tiba. Dan Raya sama sekali belum siap untuk sendiri lagi. Kedua mata Raya memanas, lehernya sakit. Bintang menatap Raya yang sudah menahan air matanya, Bintang tahu semua akan berakhir seperti ini.

"Pa, Raya tinggal sendirian. Aku mau ajak Raya tinggal sama-sama, boleh?"

Bintang menggenggam tangan kanan Pramana, pria itu menaikan alis tidak mengerti lalu tertawa kecil sambil mengacak rambut putera nya.

Tapi Raya tahu, itu bukan jawaban yang baik.

"Nggak bisa, sayang." Tolak Pramana halus.

"Kenapa enggak bisa?"

"Nggak semudah itu, ngajak Raya tinggal bareng kita. Apa kata publik nanti? Mereka pasti bakal memuat kabar hal buruk tentang Papa dengan hadirnya Raya," jelas Pramana.

Bintang menggeleng tegas, "Kita hidup bukan buat mereka terkesan, Pa. Aku mau sama Raya,"

"Bintang---"

"Aku mau tinggal sama Raya, Pa!"

Cukup sudah, Pembelaan Bintang atas nama nya sudah cukup.

"Bintang nggak mau Raya sendirian lagi," Ucap Bintang seraya menekankan tiap kata nya.

Pramana menghela napas panjang, lalu beralih menatap Raya yang sedang menunduk.

Bintang terlihat keukeuh mempertahankan Raya, padahal sebelum nya Bintang tidak pernah perduli dengan orang lain.

Prmana bukannya jahat, tapi ia harus menjaga image nya didepan publik. Perusahaan pusat nya yang ada di jakarta juga sedang membutuhkan dana bantuan, ia tidak mau menghambat ada nya dana bantuan tersebut bila ada kabar aneh-aneh yang memuat dirinya.

Pramana ingin masa depan Bintang lebih terjamin. Itu adalah satu-satunya cita-cita seorang Ayah.

"Oke, kalau itu maunya kamu." Pramana tersenyum singkat.

Bintang tersenyum lebar, lalu memeluk Pramana. Kemudian merangkul Raya senang, sangat erat bahkan ia lupa kalau ditangannya kini masih tergenggam uang receh dua puluh ribuan.

Tentu saja Raya senang, tapi perasaan nya masih belum stabil. Perasaan kehilangan itu masih bertahan dan tidak pergi, ia hanya mundur beberapa langkah.

Raya tahu, keputusan Pramana akan membawanya jauh dengan Bintang.

Raya memutuskan untuk merangkul Bintang lebih erat, tanpa senyuman lebar bahagia. Ia malah menangis, Raya begitu yakin bahwa setelah ini ia tidak akan melihat Bintang lagi.

•••

Kondisi mobil malam ini sangat sunyi, karena tokoh yang dari tadi membuat keriuhan sudah terlelap tidur. Bintang nyenyak tidur dikursi depan samping Pramana.

Kini hanya tinggal Raya yang ada dijok belakang, gadis kecil itu merasa risih saat Pramana meliriknya lewat kaca depan. Tapu wajar saja, mungkin Pramana lebih risih saat tahu seorang gembel duduk diatas mobil mahal nya. Bahkan dirinya terlihat begitu mencolok disini, terlalu kotor untuk berada dimobil ini.

Terlihat Raya meremas ujung kaus kusutnya, jelas saja gadis itu sangat kaku dan gugup.

"Saya nggak akan membiarkan kamu hidup sendirian, Raya." ucap Pramana yang memecah keheningan. "Karena saya sudah berjanji kepada Bintang."

Dada Raya naik turun, saat Pramana mengajaknya berbicara. "I-iya, terima kasih."

Seharusnya Raya lega ketika mendengar itu, tapi entahlah. Perasaan kehilangan itu, mulai maju perlahan untuk meraihnya. Siap membawa nya pergi dari Bintang.

"Semoga kamu betah, ya.." Pramana menghentikan mobilnya, lalu mematikan mesin mobilnya. 

Raya memandangi sekitar luar mobil, tempat yang cukup asing baginya.

Melihat Pramana keluar dari mobil, Raya tertegun. Apalagi ketika Pramana membuka pintu belakang, tersenyum manis sambil menyodorkan tangannya.

"Ayo keluar," Ajak Pramana lembut.

Awalnya ragu, ia sangat takut bila pergi tanpa Bintang. Raya bahkan sempat berharap kalau Bintang bisa bangun dari tidurnya, lalu meyakinkan Raya bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi semua itu tidak terjadi.

Raya menerima uluran tangan Pramana, lalu keluar dari mobil.

"Kamu akan tinggal disana, nggak akan sendirian." Pramana menunjuk sebuah bangunan yang cukup tua, dengan papan bertuliskan sebuah Panti Asuhan Muara Kasih yang ditempel besar-besar.

Hati Raya teriris, Gadis itu menatap Pramana dengan raut muka kecewa. Raya ingin sekali menolak, tetapi ia tidak punya cukup keberanian.

Pramana menariknya lembut ke arah bangunan itu. Raya malah menoleh kebelakang, tepatnya kearah mobil Pramana. Disana masih ada Bintang, yang tidur dengan tenang.

"Maafin saya, tapi saya terpaksa."Sesal Pramana. "Seenggaknya disini, kehidupan kamu akan lebih terjamin."

Raya tidak berkata apa-apa, air matanya jatuh bergulir lebih cepat. Sebagai jawaban, betapa ia sangat kecewa dengan keputusan Pramana.

Air matanya turun lebih deras. Setelah ini tidak akan lagi ada Bintang dihidupnya. Raya mencoba mengendalikan napasnya, dada nya вenar-вenar sesak.

"Nak, saya tahu kamu anak baik. Saya harap kamu mengerti." kata Pramana lembut.

"Tapi.. Raya mau sama Bintang," Suara Raya memgecil, bergetar hebat.

"Iya, Sebulan sekali saya pasti mengajak Bintang kemari. Saya Janji,"

Raya tidak diberikan kesempatan untuk memilih. Gadis itu mengangguk pelan, sambil menangis tanpa suara. Pramana mengacak rambut Raya, "Bintang beruntung mengenal kamu,"

Bahkan ketika Pramana mengetuk pintu dan bercakap-cakap dengan Bunda Mutia, pemilik yayasan panti asuhan itu, kedua mata Raya fokus menatap kearah mobil Pramana.

Bintang masih disana, dan ia sudah berjanji tidak akan meninggalkannya. Tapi Bintang sudah menepati janji nya meskipun gagal, Bintang sudah berusaha mempertahankan Raya meski Pramana melarangnya.

Kini, Raya bimbang. Akan kah ia harus percaya dengan janji Pramana? Untuk kali ini, Raya berharap Pramana tidak berbohong.

BERSAMA BINTANG - Devi AMELIA

 Chapter 05







"Eh, kamu udah cuci tangan belum?" tanya Raya ketika melihat Bintang sudah membuka bungkusan nasi miliknya diatas dipan kamar dengan cepat.

Bintang menyengir, lalu mengusap tengkuknya sendiri. "Oh, iya."

Raya mencipratkan sisa air dari tangannya kearah Bintang sambil tertawa lebar. "Jorok banget, sih."

"Lupa. Eh, cuci tangan nya dimana?" tanya Bintang seraya menyapu pandangan ke sekelilingnya, mengamati secara detail keadaan rumah Raya yang menurut Bintang bahkan lebih bagus gudang dirumahnya.

Jujur saja, Sebenarnya Bintang risih melihat keadaan rumah Raya. Tetapi dia sudah berjanji tidak akan lagi bersikap egois dan merepotkan Raya seperti tadi. Bintang akan berusaha untuk tidak memprotes kebaikan Raya lagi.

Raya melompat keatas dipan kamar, lalu menunjuk kearah keran air yang ada didekat tumpukan kertas bekas dan botol plastik. "Itu, tuh.."

Kemudian Raya membuka bungkusan nasi miliknya sendiri, dan menunggu Bintang selesai mencuci tangan agar bisa makan bersama.

Alasan mereka makan diatas kasur berdipan itu adalah, karena tempat itu yang setidaknya mendekati kata layak dibanding tempat sudut rumah Raya lainnya. Lagipula, Bintang juga berjanji tidak akan berantakan saat makan. Dan Raya pasti akan memercayai segala ucapan Bintang.

"Cepet naik, terus makan." Pinta Raya seraya menepuk tempat disampingnya.

Bintang naik keatas Dipan, lalu duduk bersila ditempat samping Raya.

"Baca doa," Raya mengingatkan, sambil mengangkat tangan diikuti oleh Bintang yang sepertinya sudah fasih berdoa sebelum makan.

Tetapi setelah berdoa, Bintang malah tidak bergeming sama sekali. Anak cowok berkulit putih kemerahan itu malah fokus kearah Raya yang sudah menyuapkan nasi nya entah yang keberapa kali.

Merasa diperhatikan, Raya yang asyik makan akhirnya menoleh kearah Bintang.

"Kenapa?" tanya Raya bingung, seraya menelan sisa-sisa nasi dimulutnya. "Nggak enak, ya?"

"Enggak, bukan itu."

"Karena kamu terbiasa makan pakai sendok?"

Bintang menggelengkan kepalanya cepat, tersenyum sumringah. "Enggak, kok."

"Terus kenapa?"

"Kenapa.. lauk kita beda?" tanya Bintang.

Raya menunduk, melihat nasi bungkus miliknya yang sudah tinggal separuh lalu bergantian kearah nasi bungkus milik Bintang yang ada dipangkuan anak itu.

"Kenapa lauk aku ayam goreng, lauk kamu tempe sama tahu?" lanjut Bintang lagi.

"Kamu juga mau lauk dua macam, ya?" tanya Raya setelah lama berpikir. "Kamu mau tempe goreng punya Raya nggak? Belum Raya makan sama sekali, kok."

Raya mengambil sepotong kecil tempe goreng dari miliknya lalu memberikannya ke bungkusan milik Bintang.

Tapi kemudian Bintang menggeleng lalu mengembalikan potongan tempe goreng ke tempatnya semula. "Enggak, Raya. Aku mau nya pakai lauk yang sama kayak kamu."

"... Bintang--"

"Kamu sengaja ya, beliin aku yang harga nya lebih mahal?"

Raya tidak bisa menjawab apa-apa. Hanya tersenyum lebar. "Kan Bintang teman Raya,"

"Raya, kamu kenapa sih terlalu baik sama aku? Kan aku bukan siapa-siapanya kamu,"

"Soalnya, Raya nggak mau kesepian lagi. Raya mau ngasih apapun ke Bintang, semua nya. Asal Raya nggak kesepian lagi," Jawab Raya dengan suara mengecil.

Bintang tahu, ia hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Tapi rasanya, berada di lingkungan luar tanpa pengawasan orang tua menjadikan Bintang lebih merasa menjadi dewasa. Seperti Raya.

"Makanya.. Bintang jangan pergi, ya?" pinta Raya memohon. "Raya tahu, Bintang pasti nggak betah tinggal sama Raya. Bintang past--"

"Enggak, kok." Sela Bintang cepat. "Aku nggak akan pergi, aku seneng tinggal disini sama kamu."

Dan Raya bersumpah, ketakutan nya akan kesepian didalam hatinya perlahan mulai memudar. Entah kenapa, Raya sangat percaya dengan apa yang diucapkan Bintang.

Mama nya benar, sebuah bintang memang selalu membuat kesedihan menjadi ketenangan.

"Kita makan sama-sama aja, yuk!" Bintang berseru senang memecah keheningan, seraya menumpahkan bungkusan nasi miliknya ke bungkusan nasi Raya. Mereka makan berdua dengan semangat, tanpa ada perbedaan lauk lagi.

•••

"Happy birthday to me, Happy birthday to me, Happy birthday, happy birthday, happy birthday to me.."

Raya menyeka cepat ujung mata nya yang berair. Gadis kecil itu masih berada diposisi duduk yang sama, menatap langit malam hari ini. Entah kenapa, tiba-tiba hari ini beberapa bintang bersinar terang diatas sana. Dan jumlahnya lebih banyak daripada kemarin.

Geli, kalau Raya pikir semua itu ada pengaruhnya dari ulang tahun nya yang ke-enam hari ini.

".. Raya?" sahut Bintang yang tiba-tiba saja keluar dari rumah, mengosok sebelah mata nya untuk mengusir kantuk. "Kok disini?"

"Kamu kenapa bangun?"

"Denger suara kamu nyanyi,"

Raya tertawa lebar, lalu menggeser duduknya. "Ya allah, maafin Raya ya. Jadi kebangun deh gara-gara suara jelek Raya."

Bintang mengeliat, lalu duduk didekat Raya sesekali menguap.

"Hari ini kamu ulang tahun, ya?" tanya Bintang.

Raya mengangguk, tersenyum tipis. "Iya."

"Wah, kalo aku masih dua bulan depan ulang tahun nya."

"Raya lebih tua dari Bintang, dong. Adik Bintang yang paling baik.." Raya berceloteh.

Bintang terlihat kesal, "Tapi masih tinggian aku!"

"Tua'an aku."

"Iya, deh. Terserah aja. Happy birthday, Raya!" Ucap Bintang, lalu menepuk bahu Raya singkat. "Sekarang aku nggak bawa kado, tapi kapan-kapan kalo semisal aku udah balik ke rumah Mama sama Papa, aku bakal kasih kado yang paling bagus buat kamu."

"Hh?" Raya menatap Bintang terkejut. "Kamu mau pulang? Ninggalin Raya?"

Bintang mengusap tengkuknya sendiri, ia salah bicara.

"B-bukan, maksud nya.. Ah, kan kata aku kalo misalnya."

"Tetep aja, Bintang bakal ninggalin Raya kalo udah ketemu sama orang tua Bintang?" tanya Raya dengan suara pelan, mata nya yang bulat menjadi memerah.

Bintang diam, ia semakin salah bicara.

Raya langsung memeluk Bintang erat, seolah tidak mau melepaskan Bintang lagi. Nafas Raya berkejaran, air mata nya mengalir deras. Padahal baru saja ia mencoba untuk memercayai Bintang.

"Katanya nggak akan pergi, ninggalin Raya!"

"Iya, Raya.." Bintang menginterupsi. "Bintang bakal ajak Raya sekalian tinggal sama Bintang."

Raya menegakkan tubuhnya, menyeka air matanya cepat. Lalu tersenyum sumringah penuh harap, "Serius? Janji ya?"

"Iya, janji."

Dan Raya merasa, kalau sebentar lagi hidupnya akan terasa lebih cerah. Tentu saja karena janji Bintang. Raya tidak pernah sadar, bahwa itu hanyalah sebuah janji. Janji seorang anak kecil yang Bintang sendiri saja tidak tahu, mampu atau tidak ia mewujudkan janjinya.

Tapi Bintang akan berusaha mewujudkan janjinya, karena Bintang sayang Raya.

"Raya, warga sini kok kayaknya aneh ya? Sinis gitu." Sahut Bintang tiba-tiba, mengganti topik pembicaraan. "Masa tadi ada ibu-ibu liatin kamu terus, udah gitu bisik-bisik. Aku sempet denger, mereka bilang kamu anak stres."

Raya menahan napasnya, dada nya begitu sesak setelah mendengar ucapan Bintang. Tapi Raya hanya mengulum senyum, sambil terkekeh. Meskipun air mata nya mengalir deras enggan untuk berbohong, bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Nyesel. Bintang menjadi merasa tidak enak sudah bertanya seperti itu.

"Raya, kenapa?" tanya nya.

Dan malam itu, adalah malam terpanjang untuk Bintang. Dimana telinga nya terbuka lebar demi untuk mendengar cerita Raya, latar belakang Raya dulu sampai kejahatan warga yang telah membakar 'mama' nya.

Bintang miris saat mendengar bahwa Mama asli Raya telah tidak ada, meninggal di sebuah tempat menggerikan, penjara. Beliau adalah korban ketidak adilan, atas dugaan pembunuhan seseorang yang sampai sekarang Raya sendiri tidak tahu siapa. Yang Raya tahu, orang itu pasti yang membuat Mama nya harus pergi.

Malam semakin larut, dan tangisan Raya masih terdengar sama. Bintang merangkul Raya, air mata Bintang menetes juga. Ia tidak tahu alasan ia ikut menangis, mungkin karena melihat Raya sedang terluka.

Air mata Raya, adalah kesedihan terbesar Bintang. Ia berjanji tidak akan meninggalkan Raya, sampai kapan pun.

BERSAMA BINTANG - Devi AMELIA

Chapter 4






Kebahagiaan bagi Raya memang sederhana, bisa melihat orang lain bahagia dan tertawa disituasi terperih. Seperti kebahagiaan Beni, Tio, Edo dan Fikri yang terlihat bahagia dengan sebungkus nasi murah seharga lima ribu rupiah tanpa berpikir panjang, tentang bagaimana cara mereka menyambung hidup besok atau lusa.

Mungkin bagi kebanyakan orang-orang diluaran sana, uang lima ribu rupiah bukan arti apa-apa. Tetapi bagi Raya, nilai itu cukup besar. Raya harus berjalan, berpetualang mencari sampah sesekali mengenalkan diri kepada dunia, bahwa ia adalah calon sosok yang bisa sangat berpengaruh bagi negara ini. Raya yakin, ia akan menggenggam negara ini dengan mudah.

"T-tolong..,"

Raya menghentikan langkahnya, saat kedua telinganya mendengar suara seperti rintihan dari jarak dekat. Karung bekas beras dipunggungnya, ia letakkan ditanah. Kepala Raya memutar 180°, untuk mencari sumber suara yang mengganggu pendengarannya.

Tapi ia tidak melihat sesuatu yang mengganjal dijalan umum ini. Hanya suara bising kepadatan kendaraan yang saling meraung-meraung sesekali membunyikan lengkingan bel kendaraan masing-masing.

Tadi itu apa? Batin Raya bingung.

"Tol..ong.."

Kali ini Raya melangkah maju dengan berani, mengikuti arah suara. Kepalanya tertoleh kesekeliling, mengamati keadaan jalan yang semakin bising.

Langkah Raya semakin dekat, dan suara rintihan itu semakin jelas ditelinga nya. Dan semakin kesini, Raya yakin kalau ada sesuatu didalam selokan yang sudah mengering akibat kemarau panjang dijakarta ini.

Raya tertegun, melihat seorang anak laki-laki seumurannya sedang terjatuh didalam selokan kering itu. Selokan yang cukup tinggi, lebih dari sebatas pinggul orang dewasa itu membuat kepala anak itu tidak kelihatan sama sekali.

Raya meletakkan asal karung yang hampir penuh itu keaspal, lalu berjongkok. "Hei, ngapain disitu?! Ayo naik, Raya bantu!"

Anak laki-laki itu menoleh keatas, lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Aku nggak bisa sampe ke luar."

"Ya udah, sini pegangan sama tangan Raya!"

Perlahan, sangat perlahan dengan tangan gemetaran. Kedua pasang tangan dengan warna kulit yang mencolok kontras tersebut berkaitan, saling menggenggam.

Raya menarik tangan lembut berkulit putih yang ia genggam erat dengan susah payah, sesekali menghela napas berat. "Iih, berat banget sih kamuu!"

Dan, selesai.

Anak laki-laki yang lebih tinggi dari Raya itu tengah membungkuk dengan napas memburu setelah kedua sepatu kets mahalnya menginjak aspal. Raya mengamati anak didepannya intens, imut, babyface.

"Hai, nama kamu siapa?" tanya Raya ramah, sambil melambaikan tangannya senang. "Raya suka teman baru!"

Anak laki-laki yang masih mengatur nafasnya itu menatap Raya dari bawah sampai ke puncak rambut awut-awutan gadis kecil itu.

Bibir tipis merah anak itu melengkung tertarik keatas, "Bintang, nama aku Bintang."

Raya kembali tertegun, setelah mendengar nama Bintang.

"Hei," Bahkan suara Bintang terdengar begitu lembut ditelinga Raya. "Kamu kenapa? Kok diem aja?"

Raya menggeleng, tersenyum tipis. "Raya suka nama kamu,"

Bintang menaikan alis tebal nya, tidak mengerti. Tapi kemudian ia lebih memilih untuk tidak mempermasalahkannya, "Makasih ya, udah nolongin aku."

"Iya, kamu tadi jatuh?" tanya Raya. "Ada yang sakit?"

Nafas Bintang tertahan begitu Raya berjongkok, tangan mungil Raya terulur untuk menyentuh kaki Bintang yang terbalut dengan jins hitam yang sedikit kotor karena tanah.

Bintang melangkah mundur, mencegah Raya yang sibuk mengusap kedua kakinya. "Enggak, nggak apa-apa."

Raya mendongak, lalu menegakkan tubuhnya sambil tersenyum. "Ooh, gitu ya?"

"Tapi makasih, ya?" Ucapnya sekali lagi. "Tadi aku udah putus asa banget, bahkan orang-orang yang tadi tahu kalo aku jatoh ke selokan aja nggak perduli. Mereka ninggalin aku gitu aja."

Raya meringis, "Kamu mau kemana? Mau Raya antar?"

Bintang mendadak terdiam, ia memandang ke sekelilingnya dengan guratan wajah panik.

"Kamu kenapa?" tanya Raya.

"Aku.. Nggak tahu mau kemana." Jawab Bintang dengan nafas tercekat. "Tadi aku kesini sama Mama, terus.."

Dada Raya terasa penuh dan sesak melihat kedua mata Bintang yang hitam legam berkaca-kaca, tapi kemudian anak itu mengusap wajahnya kasar seolah tidak mau Raya melihat betapa mudahnya ia menangis.

Bintang merasa sedih dan terpukul. Suaranya mengecil, "Mama ninggalin aku, disini.."

•••

"Yakin kamu mau ikut Raya?" tanya Raya ragu, sekali lagi seraya menatap Bintang yang sudah melepaskan rompi kotak-kotak dan sepatu nya.

Bintang mengangguk saja, mengiyakan lalu meraih sebuah kaus tipis yang warna nya sudah kabur antara hitam dan abu-abu. Sekedar info, kaus itu adalah kaus yang paling bagus diantara kaus-kaus yang Raya punya. Kaus polos tanpa tambalan sedikitpun, yang selalu Raya letakkan disebuah kardus kolong dipan. Meskipun baunya tidak seharum dengan kemeja putih milik Bintang, Tetapi Bintang juga tidak keberatan menggenakannya.

Kaus itu cukup besar, bahkan terlihat sedikit longgar ditubuh Bintang yang tinggi dan tegap untuk anak seusianya.

"Itu baju paling bagus yang Raya punya." Kata Raya seraya tersenyum tipis, begitu melihat Bintang menggenakan kaus tipis dengan warna nya yang sudah tidak kelihatan lagi.

Bintang tersenyum lebar, "Iya, makasih ya udah ngasih yang terbaik."

Bagi Bintang, pemberian Raya jauh lebih berarti daripada sepatu dan rompi miliknya yang dibelikan Mama tiri nya seminggu lalu di Paris. Ini bukan soal materi, tapi tentang siapa yang berani memberikan sesuatu hal terbaik untuk orang lain.

Memiliki sepuluh kemeja keren dari sekian ribu setelan yang Mama nya punya, tidak ada apa-apa nya dibanding dengan selembar kaus tipis terbaik dari satu-satunya yang Raya punya.

Bintang cukup tahu itu. Dan lagi, Bintang tahu Raya berbeda dari lusinan anak jalanan yang sering ia lihat dilintasan lampu merah.

Raya baik, dan wajahnya juga tidak seperti anak jalanan. Sisa-sisa kecantikan yang tertutupi oleh debu itu masih bisa untuk sekedar Bintang nikmati.

"Nanti kalo Bintang capek, bilang sama Raya ya!" Kata Raya seraya mengambil karung dari tumpukan sampah kertas disudut rumah.

"Yee, aku nggak akan capek. Aku nggak akan kalah sama anak cewek," Sungut Bintang.

Raya tertawa, "Iya, deh. Bintang kan kuat!"

"Udah, yuk pergi." Ajak Bintang tidak sabar.

Aneh, Bintang menjadi merasa beruntung bertemu dengan Raya. Bintang merasa, hidupnya lebih sangat berarti disini. Anak laki-laki itu yakin, berpetualang dengan Raya pasti lebih menyenangkan dan seru dibanding harus bermain playstation atau menjadi alasan Mama tirinya belanja di mall ternama.

"Bintang nggak mau makan dulu?"

"Kamu sendiri?"

Raya menggeleng, "Abis kerja aja, deh."

"Barengan aja,"

•••

"Kita capek-capek mulung dari pagi sampe sore cuma dapet dua puluh ribu, om?" tanya Bintang tidak yakin. Bahkan ia bisa merasakan telapak kakinya yang memerah karena terlalu lelah menyusuri jalanan. Tetapi dia tidak mengeluhkan kepada Raya, malu saja.

Juragan Faisal mengerutkan dahi, berkacak pinggang."Piye, toh? Lah wong udah Juragan kasih bonus masih protes ae,"

"Apa yang bonus?" tanya Bintang tidak mau kalah."Jangan-jangan Om ini nipu kami, ya?"

"Bintang, Juragan Faisal ini bener. Dia nggak nipu kita. Tuh, ini kita dikasih bonus." Raya menarik lembut kaus bagian lengan Bintang supaya menghadapnya lalu menunjukkan uang lembaran kusut berwarna oranye, lima ribu rupiah.

Bintang semakin menganga, tidak percaya.

"Jadi sebenernya kita dapet uang cuma lima belas ribu? Yang bener aja!" Ujar Bintang menolak untuk percaya.

Bahkan menurut Bintang upah itu sangat kecil dibanding uang saku nya per-hari. Seharusnya minimal Bintang bisa mendapatkan uang senilai yang sama seperti uang sakunya sehari, lima puluh ribu rupiah.

"Ya terus, kamu ini maunya berapa?" tanya Juragan Faisal.

"Minimal lima puluh ribu, Om."

"Kau ni macam mana pula? Ndak tau diuntung!" Celetuk Damar, laki-laki remaja yang tengah membereskan tumpukan kardus itu menyindir Bintang sinis.

"Bintang, nggak apa-apa. Uang dua puluh ribu ini nggak kecil. Lagian kamu boleh pakai semua nya, beli yang kamu suka." Kata Raya seraya menyodorkan uang receh dua puluh ribu rupiah kearah Bintang yang masih diam saja.

"Kowe mungut bocah edan ini kemana toh, Ya? Sombong pisan," Juragan Faisal mengelus dada nya.

"Maaf, juragan. Kami pulang dulu,"

Raya menarik Bintang yang terlihat ogah-ogahan meninggalkan tempat itu. Bintang menurut saja saat kaus nya ditarik semakin menjauh.

Raya tidak habis pikir, Bintang seperti nya bukan anak dari kalangan bawah sepertinya. Bahkan saat pertama kali melihat penampilannya, Raya juga yakin itu.

"Kita mau kemana?" tanya Bintang dongkol, saat kaus nya masih ditarik oleh Raya.

"Raya mau ajak kamu ke pasar malam, supaya kamu nggak kesel lagi."

Bintang terkekeh geli, lalu menarik lengan Raya."Kamu becanda? Kita nggak punya uang buat kesana. Bahkan kita belum makan sejak siang tadi."

"Kita nggak harus bayar buat kepasar malam." Jawab Raya. "Kita nggak harus beli sesuatu di pasar malam."

"Terus kita ngapain disana? Liatin orang-orang lagi asyik main sama beli makanan?"

Bintang menggelengkan kepala nya cepat. "Mendingan kita pulang,"

Raya menarik pergelangan tangan Bintang lembut, lalu membuka telapak tangan Bintang yang terasa lembut di jemarinya.

"Ini buat Bintang," Raya meletakkan uang receh ditelapak tangan Bintang yang merah. "Bintang bisa beli apa aja yang Bintang suka,"

Bintang tertegun, lama kemudian menatap Raya. Untuk yang kedua kali nya, Bintang merasa bahwa Raya benar-benar tulus memberikan satu-satu nya hal terbaik untuk nya. Padahal sedari tadi yang bekerja dari pagi hanya Raya, sedangkan Bintang hanya berjalan saja menemani Raya yang kesana-kemari mencari sampah kertas dan plastik sambil menggendong karung yang berat.

Bintang sadar, ia telah melakukan hal yang salah. Ia telah membuat Raya semakin repot karena tingkahnya.

"Bintang?" Sahut Raya sambil tertawa. "Kenapa melamun?"

Bintang menggeleng, "Bener uangnya buat Bintang semua?"

"Iya, buat Bintang."

"Tapi kan dari tadi yang kerja kamu, bukan aku."

"Enggak," Sanggah Raya cepat. "Kita berdua."

Bintang tersenyum tipis, lalu menarik Raya pergi yang membuat gadis kecil itu menaikkan alis. Pasalnya jalan menuju pasar malam bukan lah jalan yang Bintang ambil sekarang.

"Kita mau kemana?" tanya Raya seraya berusaha menyamai langkah Bintang.

"Warung,"

BERSAMA BINTANG - Devi AMELIA

 Chapter 3






Kota Jakarta dijalan raya umum sama seperti keadaan biasanya, ramai, macet dan panas. Tidak sedikit orang-orang pekendara yang akhirnya membunyikan bel kendaraan masing-masing dengan nyaring sesekali mengumpat kesal. Tetapi suara nyaring bel kendaraan yang saling bersahutan di Ibu Kota tersebut tidak berpengaruh sama sekali. Beberapa hanya menoleh sedetik, lalu kembali fokus.

Kemacetan dan lampu lalu lintas yang sering menunjukkan angka besar berwarna merah itu membuat sekumpulan anak-anak kecil kumuh yang ada dipinggiran jalan raya memulai aksi nya dengan melakukan apa saja; membersihkan kaca mobil, menjual air dan tisu, mengamen dan pekerjaan khas anak jalanan yang biasa mereka kerjakan.

Hal itu membuat pengguna jalan raya semakin depresi dan stres, apalagi kepada para pengamen cilik yang asyik seolah acuh menanggapi gerutuan pengendara. Kadangkala, orang-orang memberi bukan dari hati yang ikhlas. Tapi supaya mereka tidak terus mengganggu dan berisik.

Itu tidak benar, bahkan ada beberapa yang malah mencaci tanpa memberikan sekeping rupiah pun.

Mereka bukannya tidak tahu, mereka sangat sadar melakukan nya. Hanya saja mereka sedang tidak perduli.

Dipinggir ruko-ruko yang sudah bobrok, Raya memaksa kaki nya yang sudah mati rasa untuk tetap melangkah. Sekarung sampah yang memiliki nilai jual bertengger dibahunya. Tanpa ampun, beban karung itu membuat Raya sedikit membungkukkan badannya.

Ini sudah sore menjelang malam, biasanya Raya sudah sampai kerumah. Tetapi ini lain, Raya malah enggan cepat-cepat pulang, saat sadar bahwa kini ia tinggal sendirian. Setiap ia membuka pintu dan mencuci kaki, ia selalu sedih melihat dipan kamar nya yang kini terlihat lebih luas tanpa ada patung boneka kayu yang ia sebut sebagai Mama nya.

Raya bahkan bingung, ia tidak bisa hidup sendirian. Tetangga nya saja sudah tidak ada yang perduli lagi dengannya. Bahkan untuk membeli sesuatu diwarung biasa nya seperti beras saja, Raya tidak diperbolehkan oleh mereka. Ia tahu, Raya tidak boleh menyerah.

Raya memgamati jalanan yang ramai, ia melihat beberapa anak yang sedang duduk diemperan ruko tidak terawat sambil menenggadahkan tangannya. Raya menahan nafas, begitu melihat seorang pejalan kaki yang dimintai uang oleh salah seorang pengemis itu marah lalu menendang anak laki-laki kurus kering itu.

Raya tertegun, ia tidak melihat seorangpun yang bersimpati dengan anak laki-laki malang tersebut. Mereka seolah sudah tidak memiliki hati, bahkan ketika pria dewasa yang menendang pengemis kecil itu meludah sebelum pergi.

Anak bertubuh kurus itu menatap wadah plastik tempat uangnya yang kosong dengan tatapan sedih, lalu kembali ke posisinya dengan tangan menenggadah.

Entah apa yang Raya pikirkan, gadis kecil itu malah berlari cepat dari tempat itu. Kaki kecilnya mengelak dari beberapa pejalan kaki yang sesekali memyumpah serapahkan Raya ketika gadis itu tidak sengaja menabraknya.

Bahkab Raya tidak meminta maaf saat pria berkemeja rapih yang sedang berjalan sembari memainkan ponsel terjatuh karena ia tabrak. Raya mendesis, manusia seperti mereka tidak perlu dihormati. Mereka yang selalu menuntut suara keadilan tetapi tidak pernah memberikan keadilan sekecil apapun kepada orang bawahan yang meratap akan kemanusiaan.

Raya terus berlari hingga ia membelokkan langkahnya kedalam gang sempit. Tercium nya bau sampah yang sudah menjadi bagian hidupnya, langkah Raya dipercepat ketika pandangan nya melihat sebuah tempat bangunan seperti pos kecil yang penuh dengan tumpukan botol, kertas dan kardus bekas. Ditengahnya ada sebuah alat timbangan besi berkarat.

"Nduk, piye toh kerjaan? Lancar?"

Baru saja Raya sampai, ia sudah disapa ramah oleh Juragan Faisal. Pria yang terkenal ramah tetapi perhitungan itu memiliki tiga orang isteri, dan memiliki dua anak tiap ketiga isterinya. Wajar saja, ditempat kumuh itu, Juragan Faisal memang terlihat paling lumayan dengan usaha pengepulan barang bekas.

Raya tersenyum. Satu-satunya orang yang bisa mengerti Raya adalah Juragan Faisal, pria itu bahkan sering memberi tips untuk Raya. Meski tidak banyak, dan hanya ketika Raya berhasil mengumpulkan barang-barang banyak.

Raya menurunkan karung nya dari pundak, lalu menggeretnya keatas timbangan besi. "Baik-baik aja, Juragan. Tadi Raya ngumpulinnya banyak banget, dari pagi sampe sore."

"Oalah, nduk. Kok tumben?" tanya nya akrab, lalu mulai menimbang beban karung milik Raya dengan teliti.

"Ndak apa-apa, Juragan. Supaya Raya punya banyak uang, terus bisa sekolah. Nanti kalau Raya udah gede, Raya janji bakal bangunin Juragan gedungan yang bagus ya biar nggak bau sampah terus disini." Celoteh Raya semangat.

Juragan Faisal tertawa, memangut. "Muga-muga, ya.. Juragan doain supaya kamu sukses nanti gedenya."

Raya tidak menjawab, hanya mengangguk sedikit. Ia mengamati Juragan Faisal yang sedang mengatur timbangan nya.

Pria itu berdecak kagum, lalu memanggil anak buahnya yang lain. "Mir, Amir! Cepet kesini bentar!"

Laki-laki bertubuh jakung yang merasa dipanggil menoleh dari tempat nya yang tidak jauh, "Ana apa, toh? Saya mau dikasih bonus, ya?"

"Bonus, ndasmu!" Gerutu Juragan Faisal. "Cepetan kesini!"

Amir berlari kecil mendekati Juragan Faisal sebelum pria itu memarahinya habis lalu memotong upahnya seperti minggu kemarin.

"Tuh, angkat punya bocah ini kedalam." Perintah Juragan Faisal, seraya mengeluarkan sebuah amplop putih dari saku celana nya.

"Iya, Juragan." Alih-alih Amir memikul karung milik Raya kebahunya lalu menatap Juragan Faisal dengan mata berbinar. "Buat saya itu, teh?"

Juragan Faisal mendelik, "Saya pot--"

"Iya, iya, juragan!" Amir ngacir dari tempat itu.

Raya tertawa geli, bahagia memang sesederhana itu. Ditempat kumuh penuh sampah itu, Raya baru menemukan sebuah arti keluarga.

Juragan Faisal menyodorkan lembaran uang lima belas ribu kearah Raya, "Ini upah mu, nduk."

"Makasih, juragan." Raya menerima uang itu dengan sukacita, memamerkan senyuman manisnya.

Kemudian Juragan Faisal mengulurkan selembar uang sepuluh ribu rupiah kearah Raya, tersenyum hangat. "Tuh, bonus nya. Tetep rajin, ya. Terus kalo udah gede nanti, beneran buatin Juragan gedongan, ya!"

"Kok gede banget, Juragan? biasanya bonusnya kan lima ribu?" tanya Raya bingung.

"Ndak apa, lima ribu nya itu buat nabung biar Raya bisa beli buku."

"Beneran, juragan?" Raya tersenyum lebar.

"Iya, tapi besok tetep rajin ya!"

"Iya, Juragan! Raya pergi dulu, ya? Daah!"

•••

"Kamu ngapain beli nasi 5 bungkus? Buat siapa aja?" Iseng, Teh Winda bertanya sambil memasukkan sepotong tempe kecil dan sambal kedalam kertas mika pembungkus nasi dengan cekatan.

"Buat mereka, Teh!" Tunjuk Raya semangat dengan gerakan dagu nya.

"Mereka siapa?"

Kali ini Raya menunjuk kearah emperan toko yang dipenuhi anak-anak pengemis dengan tangan kanan nya, "Yang ada disana, Teh."

"Duh, gimana sih kamu? Ngapain juga kamu repot-repot ngasih makan mereka, buat diri sendiri aja susah!" Omel Teh Winda, seraya menghembuskan napas kasar. "Teteh, tuh kasian sama kamu. Mendingan uangnya disimpen. Kerja keras mulung dari pagi, emangnya nggak capek?"

"Capek, Raya capek!" Jawab Raya ceria. "Tapi Raya seneng!"

Teh Winda menyambar sebuah plastik tipis dari laci atas lalu memasukan satu persatu bungkusan nasi kedalam plastik transparan itu. "Emangnya dapet bonus berapa dari juragan, heh?"

"Banyak, sih." Jawab Raya. "Tapi kalaupun Raya nggak dapet bonus nggak apa-apa. Raya ngasih makan ke mereka bukan karena Raya lagi banyak duit, tapi karena Raya peduli."

Teh Winda mencibir Raya, "Alah, sok kamu. Yaudah, nih! Udah Teteh tambahin tahu juga buat kamu. Teteh juga ngasih kamu lauk tambahan bukan karena dagangan Teteh masih banyak karena nggak laku, ya. Tapi karena Teteh peduli."

Raya tertawa, "Iya, iya. Berapa, teh?"

"Masih sama, lima ribuan. Jadi dua puluh lima ribu." Jawab nya. "Ada nggak duitnya? Kalo enggak, nggak apa-apa biar nasi nya nggak jadi aja."

"Nggak, kok. Ini Raya ada, makasih ya!"

•••

"Eh, ini beneran buat aku?" tanya seorang anak laki-laki bertubuh kurus kering, yang Raya lihat tadi dengan wajah berseri gembira.

Raya mengangguk, tersenyum tipis. "Raya masih punya lagi."

"Makasih, Raya!" Ucap nya tanpa ragu, sambil menerima sebungkus nasi yang masih hangat.

"Nama kamu siapa?" tanya Raya.

"Beni,"

Raya lalu berjalan mendekati tiga anak laki-laki yang umurnya lebih tua darinya, lalu membagikan bungkusan nasi dari kantung plastik ditangannya.

Mereka menatap Raya bingung, meskipun tangan-tangan kusam mereka menengadah, menerima pemberian Raya tanpa pikir panjang.

Raya berjongkok, ikut duduk melingkar. "Benii! Ayo makan sama-sama disini!"

Raya melambaikan tangannya, membuat Beni sedikit terkejut ketika namanya dipanggil. Itulah Raya, gadis kecil yang mudah berdapatasi dilingkungan baru atau teman baru.

Beni ragu-ragu mendekati Raya, lalu duduk disamping Raya dengan kaku.

"Nah, yuk makan sama-sama!" Raya memandu mereka, sambil membuka karet gelang yang menjadi penahan bungkusan nasi tersebut. Disusul mereka yang kemudian terlihat semangat membuka bungkusan nasi dari Raya. "Eh, baca doa dulu!"

Keempat teman barunya itu menghentikan gerakannya, saat Raya berteriak menahan keinginan mereka untuk menyantap makanan didepannya. Beberapa menggaruk tengkuknya, lalu meringis.

Tentu saja, ini kali pertama mereka membaca doa sebelum makan. Dan mereka belum bisa berdoa.

Raya mengangkat kedua tangannya, memejamkan mata dengan bibir berkomat-kamit. Tidak lama, gadis kecil itu mengusapkan telapak tangannya ke wajah sambil berkata 'Aamiin'.

Keempat teman baru nya saling menoleh, lalu ikut menenggadahkan kedua tangannya. Mereka serempak mengikuti cara Raya berdoa, meskipun mereka tidak tahu apa yang Raya komat-kamitkan tadi. Mereka hanya menggerakkan bibir saja, tanpa benar-benar mengatakan apa-apa dalam hati.

"Aamiin," Mereka semua tertawa, lalu mulai memasukkan sejumput nasi beserta potongan kecil tahu kedalam mulut dengan gerakan cepat, sampai nasi berceceran dimana-mana.

"Ih, Beni jorok! Kalo nasi nya udah jatoh jangan diambil lagi!" Kata Raya, membuat semua mata mengarah ke Beni yang malah sedang menyengir kuda.

Fikri, Anak laki-laki bertubuh jakung yang paling tinggi diantara mereka tampak tertawa melihat Beni. "Lu tuh kalo makan jan malu-maluin ngapa sih, Ben. Sampe kececeran diaspal, noh!"

"Eh, Kamu juga kececeran." Beni bersuara tidak mau kalah. "Tio sama Edi juga,"

"Eh, jangan dibuang-buang nasi nya. Kasian nanti nangis, loh!" Sungut Raya menengahi.

Fikri, Tio dan Edo saling melempar tatapan aneh. Kemudian tertawa, "Masa iya nasi bisa nangis,"

"Kata Mama Raya, nanti nasi nya bakal nuntut kamu di Akhirat. Makanya jangan dibuang-buang," Jelas Raya, lalu menggigit ujung lancip potongan tempe yang sudah dilumuri sambal.

Mereka semua memangut-mangut, ber-ooh ringan.

"Berarti bener, kan? Biar nggak nangis, nasinya Beni makan meskipun udah kotor." Ujar Beni bangga.

"Nggak, tau. Nasi yang kotor juga nggak boleh dimakan." Sanggah Raya cepat.

Hidup sendirian dikondisi tercekik seperti ini lah yang menjadi alasan Raya tumbuh dewasa lebih cepat. Didetik yang sama, ada puluhan anak yang bahkan lebih tua daripada Raya, tetapi masih sedang asyik bermain ditengah-tengah keluarganya.

Raya tidak pernah menyesali itu, ia sangat mensyukuri apapun kehidupannya. Sebab diluaran sana mungkin banyak yang sedang mengemudikan lamborgini, memakai setelan jas dan gaun mewah dan sebagainya. Tapi Raya yakin, masih terhitung diantara mereka yang perduli satu antara lainnya.

Beni mengangkat alisnya, "Kenapa?"

"Nanti sakit peruuut!"

Light Me Up (part 4)- Roselyn NorthGod

Matahari pagi Paris menyorot memaksa masuk ke dalam kamar hotel yang Sehun tumpangi untuk seminggu. Walaupun kenyataannya Mas Sehun tidak ta...